Oleh Akhmad Bumi
---Husain, pernah bertanya kepada Ali ra, ayahnya: "Apakah engkau mencintai Tuhan?" Ali menjawab, "Ya". Lalu Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai kakek dari Ibu?" Ali menjawab,"Ya". Husain bertanya lagi: "Apakah engkau mencintai Ibuku?" Ali menjawab,"Ya". Husain kembali bertanya: "Apakah engkau mencintaiku?" Ali menjawab, "Ya". Terakhir, Husain yang masih polos itu bertanya, "Ayahku, bagaimana engkau menyatukan begitu banyak cinta di hatimu?" Ali kemudian menjelaskan: "Anakku, pertanyaanmu hebat! Cintaku pada kakek dari ibumu (Nabi Saw.), ibumu (Fatimah ra) dan kepada kamu sendiri adalah wujud cinta kepada-Nya (Tuhan)".
Sesungguhnya cinta kepada sesama adalah cabang-cabang cinta kepada-Nya. Rabi'ah, seorang sufi perempuan dari Bahsrah, saat berziarah ke makam Rasul Saw, mengatakan: "Maafkan aku ya Rasul, bukan aku tidak mencintaimu tapi hatiku telah tertutup untuk mencintai yang lain, karena telah penuh cintaku pada Tuhan".
Cinta itu harus menutup dari segala hal kecuali yang dicintainya. Bukan berarti Rabi'ah tidak cinta kepada Rasul, tapi kata-kata yang bermakna simbolis mengandung arti bahwa cinta kepada Tuhan adalah bentuk integrasi dari semua bentuk cinta termasuk cinta kepada Rasul dan manusia lain.
Cinta kepada Tuhan tidak mengharapkan pahala atau menghindarkan siksa, tapi semata melaksanakan kehendak Tuhan, dan melakukan apa yang bisa menyenangkan-Nya, olehnya---lewat cinta, Ia di agungkan.
Dalam konsep cinta, dikenal ada kerelaan (ridha), ada kerinduan (syauq), ada keakraban (uns). Hanya kepada hamba yang mencintai-Nya dengan cara seperti itu, Tuhan akan menyibakkan diri-Nya dengan segala keindahannya yang sempurna.
"Oh Tuhan, jika aku menyembahmu karena takut akan api neraka, bakarlah aku didalamnya. Dan jika aku menyembahmu karena berharap surga, campakanlah aku dari sana; Tapi jika aku menyembahmu karena Engkau semata, maka jangan lah engkau sembunyikan keindahan-Mu yang abadi", Rabi'ah dalam doanya.
Al-Ghazali mengatakan, cinta kepada Tuhan itu puncak dari seluruh maqam spiritual, ia menduduki derajat tertinggi. Setelah di raih, tidak ada lagi maqam lain kecuali buah dari mahabbah itu, seperti; sabar, taubat, zuhud, dan lain-lain, yang nanti akan berujung pada mahabatullah (cinta ketuhanan).
Bayazid Bustami menjelaskan: "Cinta itu melepaskan apa yang dimiliki seseorang kepada kekasih-Nya (Tuhan) meskipun ia besar; dan menganggap besar apa yang diperoleh kekasih, meskipun itu sedikit."
Ini ciri bahwa pecinta itu selalu bersyukur dan menerima terhadap apa-apa yang di berikan Tuhan. Ia akan selalu ridha terhadap Tuhan walaupun cobaan berat menimpanya. Cinta dalam matsnawi adalah kerinduan manusia pada pengalaman mistikal primordial di hari "alastu" semisal kerinduan seruling untuk bersatu kembali pada rumpun bambu yang merupakan asal muasal ia tercipta.
Hidup di dunia merupakan perpisahan yang sangat pilu bagi para pecinta, mereka rindu kepada Rabbnya seperti seseorang yang merindukan kampung halaman, kampung asal-usulnya. Jiwa para pecinta selalu dipenuhi keinginan untuk melihat-Nya dan itu merupakan cita-cita hidup.