Mohon tunggu...
Akbar Wahyudiyanto
Akbar Wahyudiyanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Nama: Akbar Wahyudiyanto NIM: 42321010102 Dosen: Prof. Dr Apollo, M.Si.Ak, CA, CIBV, CIBV, CIBG Desain Komunikasi Visual - Universitas Mercu Buana

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Teori Panopticon dan Kejahatan Struktural

1 Juni 2023   04:38 Diperbarui: 1 Juni 2023   04:42 282
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jeremy Bentham, seorang filsuf, penulis, dan reformis sosial Inggris, lahir pada tanggal 15 Februari 1748 di London, Inggris. Ia berasal dari keluarga yang berkecukupan, dan memiliki pendidikan yang sangat baik. Bentham belajar di Westminster School dan kemudian melanjutkan pendidikan di Queen's College, University of Oxford, di mana ia menyelesaikan gelar sarjana hukum pada tahun 1763.

Bentham merupakan salah satu tokoh terkemuka dalam gerakan utilitarianisme, yang menekankan pada prinsip-prinsip kemanfaatan dan kebahagiaan sebanyak mungkin bagi sebanyak mungkin orang. Ia percaya bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang memberikan kebahagiaan terbesar bagi jumlah orang yang paling banyak. Pemikiran utilitarianisme ini menjadi dasar pemikirannya dalam mengembangkan konsep Panopticon.

Konsep Panopticon, yang dikemukakan oleh Bentham pada tahun 1785, adalah sebuah desain arsitektur penjara yang memiliki pusat pengawasan yang efektif. Ide dasarnya adalah membangun sebuah struktur yang berbentuk lingkaran dengan sel-sel penjara menghadap ke arah pusat, di mana para penghuni sel tidak dapat melihat pengawas yang berada di pusat, tetapi pengawas dapat mengawasi setiap tindakan mereka. Tujuan dari Panopticon adalah menciptakan pengawasan yang terus-menerus, sehingga para narapidana selalu merasa terawasi dan terkontrol.

Selain sebagai pemikir sosial, Bentham juga aktif dalam berbagai isu sosial dan politik pada zamannya. Ia terlibat dalam perjuangan untuk reformasi hukum, termasuk perubahan dalam sistem hukum pidana dan reformasi penjara. Bentham mendorong penghapusan hukuman mati, menggunakan hukuman yang lebih manusiawi, dan memperjuangkan hak asasi manusia.

Jeremy Bentham meninggal pada tanggal 6 Juni 1832 di London, tetapi warisannya dalam pemikiran sosial terus berlanjut. Konsep Panopticon yang dikembangkannya telah menjadi sumber inspirasi dalam berbagai bidang, termasuk filsafat, sosiologi, psikologi, dan ilmu sosial lainnya. Pemikiran dan kontribusinya telah memberikan dampak yang signifikan terhadap pemahaman kita tentang kekuasaan, pengawasan, dan perilaku sosial dalam masyarakat modern.

Konsep Panopticon merupakan salah satu kontribusi terpenting dari Jeremy Bentham dalam bidang pemikiran sosial. Panopticon adalah suatu desain arsitektur yang dirancang untuk menciptakan pengawasan yang efektif dan mempengaruhi perilaku individu. Ide dasarnya adalah menciptakan suatu struktur fisik yang memungkinkan pengawas mengawasi orang-orang yang ada di dalamnya tanpa mereka menyadari kapan dan di mana mereka sedang diamati.

Prinsip dasar Panopticon

Panopticon mengusung prinsip-prinsip utama yang menjadi dasar konsepnya. Pertama, terdapat sentralisasi pengawasan di pusat struktur yang memungkinkan pengawas melihat semua orang di dalamnya. Kedua, pengawasan yang dilakukan bersifat tersembunyi, sehingga para narapidana atau individu yang sedang diamati tidak dapat mengetahui kapan mereka sedang diawasi. Ketiga, tujuan utama Panopticon adalah menciptakan pengawasan yang mempengaruhi perilaku individu, menghasilkan ketaatan dan disiplin.

Struktur dan fungsi Panopticon

Dalam desain Panopticon, terdapat sebuah menara pengawas di tengah struktur dengan sel-sel penjara atau ruang-ruang individu mengelilingi menara tersebut. Setiap sel atau ruang individu memiliki jendela atau celah yang menghadap ke arah pusat, sehingga penghuni sel tidak dapat melihat langsung pengawas, tetapi pengawas dapat melihat mereka dengan jelas. Pengawas berada dalam posisi yang berkuasa, sementara individu-individu yang diamati berada dalam posisi yang terawasi dan tidak tahu kapan mereka sedang diawasi.

Fungsi utama Panopticon adalah menciptakan pengawasan yang berkesinambungan, mempengaruhi perilaku individu dengan membuat mereka merasa selalu terpantau. Dalam konteks penjara, Panopticon bertujuan untuk menciptakan disiplin dan ketaatan pada para narapidana, karena mereka tidak pernah tahu kapan pengawasan terjadi. Konsep Panopticon juga dapat diterapkan dalam berbagai bidang lain, seperti institusi pendidikan, tempat kerja, atau bahkan masyarakat luas, dengan tujuan menghasilkan kontrol dan pemantauan yang efektif terhadap individu-individu.

Melalui konsep Panopticon, Bentham menyoroti kekuasaan dan pengawasan sebagai instrumen yang efektif dalam mengendalikan perilaku individu. Pemikiran ini telah memengaruhi pemahaman kita tentang kekuasaan, pengawasan, dan kontrol dalam masyarakat modern. Namun, konsep Panopticon juga telah menjadi subjek kritik dan debat dalam hal privasi, kebebasan, dan etika pengawasan yang berlebihan.

Secara harfiah, Panopticon dapat diartikan sebagai suatu bentuk arsitektur penjara yang memiliki pusat pengawasan yang memungkinkan pengawas melihat semua orang yang ada di dalamnya tanpa mereka menyadari kapan dan di mana mereka sedang diamati. Konsep ini tidak hanya terbatas pada konteks penjara, tetapi juga dapat diterapkan dalam berbagai bidang sosial.

Konsep dasar Panopticon adalah menciptakan pengawasan yang terus-menerus dan mempengaruhi perilaku individu melalui rasa terawasi dan potensial diawasi. Bentham percaya bahwa dengan adanya pengawasan yang efektif dan tidak terlihat, individu akan merasa selalu dipantau dan cenderung berperilaku dengan lebih disiplin dan taat terhadap norma yang ada.

Pada konsep Panopticon, Bentham mengusulkan desain fisik berbentuk lingkaran atau segi banyak dengan menara pengawas di tengahnya. Di sekitar menara tersebut, terdapat sel-sel penjara atau ruang individu yang menghadap ke arah pusat. Jendela atau celah pada setiap sel memungkinkan pengawas melihat ke dalam dengan jelas, sementara individu yang diamati tidak dapat melihat pengawas dengan mudah.

Tujuan utama Panopticon adalah menciptakan pengawasan yang efektif, menghasilkan ketaatan, dan disiplin pada individu-individu yang diamati. Melalui pengawasan yang berkesinambungan, individu cenderung untuk mengatur perilaku mereka sendiri karena mereka menyadari bahwa setiap tindakan mereka dapat terpantau. Konsep ini mengandalkan rasa ketidakpastian dan kekhawatiran individu akan potensi pengawasan yang dapat memengaruhi perilaku mereka.

Konsep Panopticon yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham didasarkan pada beberapa prinsip dasar yaitu:

Sentralisasi pengawasan

Prinsip pertama dari Panopticon adalah adanya sentralisasi pengawasan di pusat struktur. Dalam desain Panopticon, terdapat sebuah menara pengawas yang ditempatkan di tengah-tengah, sehingga pengawas dapat melihat semua orang yang berada di sekitarnya. Dengan sentralisasi ini, pengawas memiliki kekuasaan dan kontrol penuh atas individu-individu yang diamati.

Pengawasan yang tersembunyi

Prinsip kedua adalah pengawasan yang dilakukan secara tersembunyi. Para narapidana atau individu yang sedang diamati tidak dapat mengetahui kapan mereka sedang diawasi oleh pengawas. Hal ini menciptakan ketidakpastian dan ketidaktersediaan informasi mengenai waktu dan lokasi pengawasan, sehingga mereka selalu merasa potensial diawasi.

Pengaruh terhadap perilaku

Fungsi utama dari Panopticon adalah mempengaruhi perilaku individu melalui pengawasan yang berkesinambungan. Dengan merasa selalu terawasi dan potensial diawasi, individu-individu cenderung untuk berperilaku dengan lebih disiplin dan taat terhadap aturan yang ada. Mereka sadar bahwa setiap tindakan mereka dapat terpantau, sehingga ada tekanan internal untuk mematuhi norma dan menghindari konsekuensi negatif.

Efek ketaatan dan disiplin

Dalam konteks penjara, Panopticon bertujuan untuk menciptakan disiplin dan ketaatan pada para narapidana. Dengan pengawasan yang efektif dan terus-menerus, diharapkan perilaku mereka dapat dikendalikan dan diubah sesuai dengan tujuan rehabilitasi atau penghukuman yang diinginkan. Prinsip ini juga dapat diterapkan dalam konteks lain, seperti institusi pendidikan, tempat kerja, atau bahkan masyarakat luas, untuk mencapai kontrol sosial dan pemantauan yang lebih efektif.

Dengan prinsip-prinsip ini, Panopticon memberikan gambaran tentang kekuasaan dan pengawasan yang dapat mempengaruhi individu secara signifikan. Konsep ini memiliki dampak yang luas dalam pemahaman kita tentang kontrol sosial, privasi, dan keterlibatan individu dalam masyarakat modern. Namun, perlu dicatat bahwa konsep Panopticon juga menuai kritik terkait etika pengawasan yang berlebihan dan penghormatan terhadap privasi serta kebebasan individu.

Dalam konteks penjara, Panopticon bertujuan untuk mencapai kontrol yang lebih baik terhadap narapidana. Namun, konsep ini juga dapat diterapkan dalam institusi pendidikan, tempat kerja, atau bahkan masyarakat luas untuk mencapai kontrol sosial yang efektif.

Pemikiran Panopticon oleh Jeremy Bentham telah memberikan kontribusi besar dalam pemahaman kita tentang pengawasan, kekuasaan, dan kontrol dalam masyarakat modern. Namun, konsep ini juga menuai kritik terkait etika pengawasan yang berlebihan, privasi individu, dan kebebasan pribadi.

Pemikiran Panopticon yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham memiliki potensi aplikasi yang luas dalam berbagai bidang. Konsep pengawasan yang efektif dan pengaruh terhadap perilaku individu yang menjadi dasar Panopticon dapat diterapkan dalam konteks berikut:

Penjara dan sistem pemasyarakatan

Salah satu bentuk aplikasi yang paling terkenal dari pemikiran Panopticon adalah dalam desain penjara dan sistem pemasyarakatan. Dengan mengadopsi prinsip Panopticon, penjara dapat menciptakan lingkungan yang menghasilkan pengawasan yang terus-menerus terhadap para narapidana. Hal ini diharapkan dapat mempengaruhi perilaku mereka, mencapai disiplin, dan mengurangi tingkat kejahatan di dalam penjara.

Institusi pendidikan

Konsep Panopticon juga dapat diterapkan dalam institusi pendidikan. Dalam konteks ini, guru atau pengajar berperan sebagai pengawas yang mengawasi perilaku dan kinerja siswa. Melalui pengawasan yang efektif, siswa akan merasa terawasi dan cenderung untuk berperilaku dengan lebih disiplin, meningkatkan ketaatan terhadap aturan, dan memperbaiki prestasi akademik.

Tempat kerja

Pemikiran Panopticon dapat diaplikasikan dalam lingkungan kerja untuk mencapai pengawasan dan pengaruh terhadap perilaku karyawan. Misalnya, penggunaan kamera pengawas di area kerja atau sistem pemantauan kinerja dapat menciptakan rasa terawasi dan potensi pengawasan yang dapat mempengaruhi karyawan untuk bekerja dengan lebih efisien dan mematuhi kebijakan perusahaan.

Pengawasan publik dan keamanan

Pemikiran Panopticon juga memiliki implikasi dalam konteks pengawasan publik dan keamanan. Misalnya, penggunaan kamera pengawas di ruang publik atau fasilitas umum dapat menciptakan pengawasan yang terus-menerus, memberikan rasa aman kepada masyarakat, dan dapat berpotensi mencegah tindakan kejahatan.

Pengaruh dalam media sosial dan teknologi digital

Dalam era media sosial dan teknologi digital, pemikiran Panopticon juga dapat diterapkan dalam konteks pengawasan dan pengaruh terhadap perilaku online. Perusahaan teknologi dan platform media sosial dapat memanfaatkan algoritma dan analisis data untuk menciptakan pengawasan yang efektif terhadap pengguna, mengatur perilaku online, dan memengaruhi pola interaksi dan preferensi pengguna.

Bentuk-bentuk aplikasi pemikiran Panopticon ini mencerminkan pengaruh konsep pengawasan yang efektif dan pengaruh terhadap perilaku individu yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham. Namun, perlu diingat bahwa implementasi Panopticon juga menimbulkan berbagai pertanyaan etis terkait privasi, kebebasan individu, dan penggunaan kekuasaan.Pengawasan yang berlebihan dan invasif dapat mengancam privasi individu dan membatasi kebebasan serta otonomi mereka. Selain itu, penyalahgunaan kekuasaan dalam sistem Panopticon juga dapat mengarah pada penindasan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Karena itu, dalam menerapkan pemikiran Panopticon, penting untuk mempertimbangkan keseimbangan antara pengawasan yang diperlukan untuk menjaga ketertiban dan keamanan dengan penghormatan terhadap privasi, kebebasan, dan martabat individu. Pengaturan yang tepat, transparansi, dan mekanisme perlindungan hak individu perlu diperhatikan agar tidak menimbulkan penyalahgunaan kekuasaan.

Selain itu, pemikiran Panopticon juga telah menjadi subjek kritik dan debat dalam studi sosial dan politik. Beberapa kritikus berpendapat bahwa Panopticon menciptakan masyarakat yang terpolarisasi, di mana kekuasaan dan pengawasan terpusat pada segelintir orang atau lembaga, sementara individu-individu lain menjadi objek pengawasan dan kontrol. Kritik ini menyoroti pentingnya mempertimbangkan struktur kekuasaan yang adil dan memastikan partisipasi serta representasi yang seimbang dalam sistem pengawasan.

Konsep Panopticon yang dikembangkan oleh Jeremy Bentham memiliki potensi aplikasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat modern. Berikut ini adalah beberapa contoh penggunaan Panopticon dalam konteks tersebut

 Teknologi pengawasan

Dalam era teknologi yang maju, Panopticon dapat diterapkan dalam bentuk sistem pengawasan seperti kamera pengawas (CCTV) yang terpasang di tempat-tempat umum, gedung-gedung, atau jalanan. Sistem ini dapat memberikan pengawasan yang terus-menerus dan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam hal kepatuhan terhadap aturan, pengurangan tindakan kriminal, atau pengendalian keramaian.


Media sosial dan platform digital

Media sosial dan platform digital juga menerapkan prinsip Panopticon dalam hal pengawasan dan pengaruh terhadap perilaku pengguna. Misalnya, algoritma platform media sosial dapat memantau aktivitas pengguna, menganalisis preferensi mereka, dan memberikan konten yang sesuai dengan kepentingan dan perilaku mereka. Hal ini bertujuan untuk mempengaruhi perilaku online dan menciptakan iklim yang kondusif bagi bisnis dan iklan.

Keamanan dan anti-terorisme

Konsep Panopticon juga diterapkan dalam upaya keamanan dan anti-terorisme. Misalnya, sistem pemantauan di bandara, stasiun kereta api, atau pusat perbelanjaan dapat menciptakan pengawasan yang terus-menerus terhadap individu dan mengidentifikasi perilaku yang mencurigakan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan keamanan dan mencegah potensi ancaman terorisme.

Tempat kerja dan manajemen karyawan

Dalam konteks tempat kerja, pemikiran Panopticon dapat diterapkan dalam pengawasan dan manajemen karyawan. Misalnya, penggunaan sistem pemantauan kinerja, pengawasan elektronik, atau penggunaan alat pelacak (tracking device) dapat memberikan pengawasan yang efektif terhadap perilaku dan kinerja karyawan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, kepatuhan terhadap kebijakan perusahaan, dan efisiensi dalam lingkungan kerja.

Pendidikan dan sekolah

Dalam konteks pendidikan, konsep Panopticon dapat diterapkan dalam pengawasan dan manajemen siswa di sekolah. Misalnya, penggunaan CCTV di area sekolah, pengawasan elektronik, atau sistem pemantauan perilaku dapat memberikan pengawasan yang terus-menerus terhadap perilaku siswa. Tujuannya adalah untuk menciptakan lingkungan belajar yang aman, disiplin, dan meningkatkan efektivitas pengajaran.

Dalam contoh-contoh ini, penggunaan konsep Panopticon bertujuan untuk menciptakan pengawasan yang efektif, memengaruhi perilaku, dan meningkatkan keamanan atau kedisiplinan dalam masyarakat modern. Namun, perlunya memperhatikan dan menyeimbangkan aspek etis, privasi, dan kebebasan individu tetap menjadi pertimbangan penting dalam penerapan konsep Panopticon. Perlindungan privasi individu, transparansi pengawasan, serta pengaturan yang adil dan proporsional dalam penggunaan teknologi pengawasan harus diperhatikan untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan pelanggaran hak asasi manusia.

Selain itu, perlu juga diingat bahwa penggunaan Panopticon dalam masyarakat modern sering kali memunculkan debat dan kontroversi. Beberapa kritikus mengkhawatirkan pengaruh terhadap kebebasan individu, peningkatan pengawasan yang berlebihan, dan potensi diskriminasi atau profilasi yang dapat terjadi. Oleh karena itu, penting bagi masyarakat dan pembuat kebijakan untuk secara kritis mengevaluasi dan mempertimbangkan dampak serta implikasi etis dari penggunaan Panopticon dalam masyarakat modern.

Dalam kesimpulannya, pemikiran Panopticon oleh Jeremy Bentham memberikan konsep yang relevan dalam konteks pengawasan dan pengaruh terhadap perilaku individu dalam masyarakat modern. Penggunaan Panopticon dapat ditemukan dalam teknologi pengawasan, media sosial, keamanan, tempat kerja, dan pendidikan. Namun, penting untuk selalu menjaga keseimbangan antara pengawasan yang diperlukan dengan perlindungan privasi, kebebasan individu, dan aspek etis yang melibatkan penggunaan kekuasaan dalam pengawasan masyarakat modern.

---

Anthony Giddens adalah seorang sosiolog dan teoretikus sosial yang lahir pada tanggal 18 Januari 1938 di London, Inggris. Ia dikenal sebagai salah satu tokoh terkemuka dalam bidang sosiologi kontemporer dan telah memberikan kontribusi signifikan dalam memahami perubahan sosial, struktur sosial, dan modernitas.

Giddens menyelesaikan pendidikan sarjana di University of Hull pada tahun 1959, di mana ia belajar sosiologi dan psikologi. Setelah itu, ia melanjutkan studi pascasarjana di London School of Economics (LSE), di mana ia memperoleh gelar PhD pada tahun 1961. Selama di LSE, Giddens belajar di bawah bimbingan sejumlah sosiolog terkemuka, termasuk Peter Worsley dan John Rex.

Pada tahun 1962, Giddens bergabung dengan fakultas sosiologi di University of Leicester sebagai dosen. Ia kemudian menjadi profesor sosiologi di University of Cambridge pada tahun 1986. Giddens juga menjabat sebagai Direktur London School of Economics dari tahun 1997 hingga 2003.

Salah satu kontribusi terbesar Giddens dalam bidang sosiologi adalah konsep modernitas. Dalam karyanya yang terkenal, "The Consequences of Modernity" (1990), ia mengembangkan konsep modernitas refleksif yang menjelaskan perubahan sosial, pengaruh globalisasi, dan konsekuensi dari modernitas dalam masyarakat kontemporer.

Giddens juga dikenal dengan teori strukturasi, yang menggabungkan pandangan strukturalisme dan agensi dalam memahami interaksi sosial. Teori strukturasi Giddens berargumen bahwa struktur sosial dan tindakan individu saling berkaitan dan saling membentuk satu sama lain. Konsep ini mempengaruhi pemikiran dalam berbagai disiplin ilmu sosial, termasuk sosiologi, antropologi, dan studi budaya.

Selama karirnya, Giddens telah menulis banyak buku yang mempengaruhi perkembangan sosiologi kontemporer, termasuk "Central Problems in Social Theory" (1979), "The Constitution of Society" (1984), "Modernidad e Identidad del Yo: El Yo y la Sociedad en la Época Contemporánea" (1994), dan "Sociology" (2006). Karya-karyanya telah diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan menjadi acuan penting dalam studi sosial.

Anthony Giddens telah menerima penghargaan dan pengakuan internasional atas kontribusinya dalam bidang sosiologi. Ia dianggap sebagai salah satu pemikir terkemuka dalam sosiologi kontemporer dan terus berkontribusi dalam pemikiran sosial dan politik melalui karya-karyanya yang inovatif.

Kejahatan struktural adalah sebuah konsep yang dikembangkan oleh Anthony Giddens, seorang sosiolog terkenal, untuk menjelaskan jenis kejahatan yang terjadi sebagai hasil dari struktur sosial, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan yang ada dalam masyarakat. Konsep ini menyoroti bahwa kejahatan tidak hanya disebabkan oleh individu yang melanggar hukum, tetapi juga oleh faktor-faktor struktural yang mempengaruhi perilaku individu.

Berikut ini adalah beberapa poin yang menjelaskan konsep kejahatan struktural:

Struktur sosial

Kejahatan struktural menekankan bahwa struktur sosial, seperti ketidaksetaraan ekonomi, ketidakadilan sosial, dan konflik kepentingan, dapat menciptakan kondisi yang mendorong munculnya kejahatan. Misalnya, kemiskinan, ketidakadilan dalam distribusi kekayaan, dan akses terbatas terhadap sumber daya dapat menciptakan situasi di mana individu terjebak dalam kejahatan ekonomi.

Ketidaksetaraan dan marginalisasi

Konsep kejahatan struktural mengakui bahwa kelompok-kelompok yang berada dalam posisi marginal, seperti masyarakat miskin, minoritas etnis, atau kelompok dengan akses terbatas terhadap pendidikan dan pekerjaan, lebih rentan terhadap kejahatan. Ketidaksetaraan sosial dapat menciptakan ketidakadilan dan frustrasi yang berkontribusi terhadap tindakan kriminal.

Kebijakan publik dan sistem hukum

Giddens juga menyoroti bahwa kebijakan publik dan sistem hukum dapat mempengaruhi tingkat kejahatan dalam masyarakat. Misalnya, ketidakadilan dalam sistem hukum, kegagalan dalam memberikan kesempatan dan perlindungan kepada kelompok-kelompok tertentu, atau kebijakan yang tidak memperbaiki struktur sosial yang tidak adil, dapat memperburuk masalah kejahatan struktural.

Kejahatan korporasi

Salah satu aspek yang penting dalam konsep kejahatan struktural adalah kejahatan korporasi. Kejahatan ini terjadi ketika perusahaan atau lembaga melanggar hukum atau bertindak tidak etis dalam kegiatan bisnis mereka. Misalnya, penipuan keuangan, pencemaran lingkungan, atau praktik pekerjaan yang merugikan karyawan adalah contoh kejahatan korporasi yang dihasilkan dari struktur kekuasaan dan kepentingan ekonomi.

Pemahaman tentang kejahatan struktural membawa implikasi penting dalam upaya pencegahan dan penanganan kejahatan. Pendekatan yang berfokus pada perbaikan struktur sosial, pengurangan ketidaksetaraan, peningkatan akses terhadap pendidikan dan pekerjaan, serta kebijakan publik yang adil dan berkeadilan, dapat membantu mengurangi terjadinya kejahatan struktural dalam masyarakat.

Selain itu, konsep kejahatan struktural juga menyoroti pentingnya analisis kritis terhadap sistem sosial dan ekonomi yang ada. Hal ini mengarah pada perlunya perubahan struktural yang lebih luas untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kejahatan. Upaya seperti mengurangi ketimpangan ekonomi, meningkatkan kesempatan pendidikan dan pekerjaan, dan memperkuat sistem hukum yang adil dan transparan, dapat membantu mencegah kejahatan struktural dan mempromosikan keadilan sosial.

Pemahaman tentang konsep kejahatan struktural membantu kita melihat bahwa kejahatan tidak hanya persoalan individu atau kelompok kecil, tetapi juga sebagai hasil dari struktur sosial yang mempengaruhi perilaku dan kesempatan individu dalam masyarakat. Dengan melihat kejahatan sebagai fenomena yang terkait erat dengan ketidaksetaraan dan ketidakadilan struktural, kita dapat mengambil langkah-langkah yang lebih holistik dan berkelanjutan untuk mencegah dan mengurangi kejahatan dalam masyarakat kita.

Faktor-faktor yang mempengaruhi kejahatan struktural dapat sangat bervariasi, tetapi pada umumnya melibatkan kombinasi dari faktor sosial, ekonomi, dan politik yang menciptakan lingkungan yang memungkinkan terjadinya kejahatan. Berikut ini adalah beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kejahatan struktural:

Ketidaksetaraan sosial dan ekonomi:

Ketidaksetaraan dalam distribusi kekayaan, pendapatan, dan kesempatan dapat menciptakan frustrasi dan ketidakadilan yang mendorong individu atau kelompok tertentu untuk terlibat dalam kejahatan. Ketidaksetaraan sosial juga dapat menciptakan konflik antara kelompok-kelompok yang berbeda, yang dapat memicu kejahatan.

Marginalisasi dan ketidakadilan sosial

Ketidakadilan sosial, termasuk diskriminasi, penindasan, dan peminggiran kelompok tertentu, dapat menjadi faktor yang mempengaruhi kejahatan struktural. Kelompok yang merasa terpinggirkan dan tidak diakui dalam masyarakat cenderung mengalami kesulitan akses terhadap sumber daya dan peluang, sehingga mungkin lebih rentan terlibat dalam kejahatan.

Korupsi dan kelemahan institusi

Kelemahan dalam sistem hukum, birokrasi yang korup, dan kurangnya akuntabilitas institusi dapat menciptakan lingkungan yang memfasilitasi kejahatan struktural. Ketidakadilan dalam penegakan hukum, korupsi di kalangan pemerintah atau perusahaan, serta kerentanan terhadap manipulasi oleh kelompok-kelompok yang berkepentingan, dapat memberikan insentif bagi individu untuk melakukan kejahatan.

Krisis ekonomi dan ketidakstabilan sosial

Krisis ekonomi, ketidakstabilan sosial, atau perubahan sosial yang cepat dapat memicu peningkatan kejahatan struktural. Ketika individu atau kelompok merasa terancam secara ekonomi atau sosial, mereka mungkin terdorong untuk mencari cara-cara yang tidak legal atau tidak etis untuk memperoleh keuntungan atau memenuhi kebutuhan mereka.

Pengaruh budaya dan lingkungan

Faktor budaya dan lingkungan juga dapat mempengaruhi terjadinya kejahatan struktural. Misalnya, budaya yang mempromosikan kekerasan, pemikiran rasialis atau seksis, atau lingkungan fisik yang terabaikan atau terpinggirkan dapat menciptakan kondisi yang memfasilitasi kejahatan.

Penting untuk dicatat bahwa faktor-faktor ini tidak berdiri sendiri, tetapi seringkali saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Kejahatan struktural sering kali merupakan hasil dari kompleksitas hubungan sosial, ekonomi, politik, dan budaya dalam suatu masyarakat. Oleh karena itu, pendekatan yang efektif dalam mengurangi kejahatan struktural harus melibatkan perubahan struktural yang lebih luas dan upaya kolaboratif antara pemerintah, masyarakat.

Implikasi dan Relevansi Pengaplikasian Pemikiran Panopticon dan Kejahatan Struktural

Penegakan hukum dan sistem keadilan pidana

Pengaplikasian pemikiran Panopticon dapat membantu meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan sistem keadilan pidana dengan menerapkan pengawasan yang lebih intensif terhadap pelaku kejahatan. Pemahaman tentang kejahatan struktural juga memungkinkan penegakan hukum untuk mengenali akar penyebab kejahatan dan mengadopsi pendekatan yang lebih holistik dalam penanganannya.

Pencegahan kejahatan

Pengaplikasian pemikiran Panopticon dan pemahaman tentang kejahatan struktural dapat membantu dalam merancang strategi pencegahan kejahatan yang lebih efektif. Dengan mengenali faktor-faktor struktural yang mempengaruhi terjadinya kejahatan, upaya pencegahan dapat difokuskan pada perubahan sosial dan struktural yang bertujuan mengurangi ketimpangan dan ketidakadilan.

Perbaikan sistem penjara dan rehabilitasi

Konsep Panopticon dapat memberikan wawasan dalam merancang sistem penjara yang lebih efektif, di mana pengawasan dan pemantauan yang cermat dapat diterapkan untuk mencegah kejahatan di dalam penjara. Pemahaman tentang kejahatan struktural juga menekankan pentingnya pendekatan rehabilitasi yang lebih luas dalam sistem penjara untuk mengatasi akar penyebab kejahatan.

Perubahan sosial dan keadilan

Pengaplikasian pemikiran Panopticon dan pemahaman tentang kejahatan struktural mengajukan perlunya perubahan sosial yang lebih luas untuk mencapai keadilan sosial. Dengan mengenali faktor-faktor struktural yang menciptakan ketidaksetaraan dan ketidakadilan, masyarakat dapat bekerja sama dalam memperjuangkan perubahan kebijakan publik, redistribusi kekayaan, dan pemastian akses yang adil.

Kesadaran masyarakat dan partisipasi aktif

Pemikiran Panopticon dan kejahatan struktural mendorong kesadaran masyarakat tentang peran mereka dalam mencegah kejahatan dan mempromosikan keadilan sosial. Dengan memahami implikasi dari kedua pemikiran ini, masyarakat dapat terlibat secara aktif dalam advokasi, pendidikan, dan partisipasi dalam upaya membangun masyarakat yang lebih aman dan adil.

Kajian sosial dan ilmu pengetahuan

Pemikiran Panopticon dan konsep kejahatan struktural memiliki implikasi yang signifikan dalam bidang kajian sosial dan ilmu pengetahuan. Kedua pemikiran ini dapat menjadi landasan untuk penelitian lebih lanjut dan pengembangan teori yang lebih mendalam tentang kejahatan, struktur sosial, keadilan, dan pengendalian sosial.

Pengaplikasian pemikiran Panopticon dan kejahatan struktural memiliki relevansi yang kuat dalam konteks masyarakat modern. Implikasi dan relevansi pengaplikasian pemikiran Panopticon dan kejahatan struktural melibatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang dinamika sosial, pencegahan kejahatan, dan perbaikan sistem sosial. Dengan menerapkan konsep-konsep ini, beberapa hal penting dapat dicapai:

Meningkatkan efektivitas sistem hukum

Dengan memahami konsep Panopticon dan kejahatan struktural, sistem hukum dapat memperbaiki strategi penegakan hukum dan sistem keadilan pidana. Ini termasuk penggunaan teknologi pengawasan yang lebih canggih, pemantauan yang lebih ketat terhadap tahanan, dan pengenalan metode rehabilitasi yang lebih holistik.

Mencegah kejahatan dengan pendekatan holistik

Pemikiran Panopticon dan kejahatan struktural menekankan perlunya pendekatan pencegahan kejahatan yang holistik. Ini melibatkan tidak hanya menghukum pelaku kejahatan, tetapi juga mengidentifikasi dan mengatasi faktor-faktor struktural yang mempengaruhi terjadinya kejahatan. Dengan mengurangi ketimpangan sosial, ketidakadilan, dan marginalisasi, upaya pencegahan dapat lebih efektif.

Mengubah sistem penjara dan meningkatkan rehabilitasi

Pengaplikasian pemikiran Panopticon dan pemahaman tentang kejahatan struktural dapat memperbaiki sistem penjara dengan fokus pada rehabilitasi yang efektif. Ini mencakup pendekatan yang lebih luas dalam mendukung reintegrasi sosial para narapidana, memastikan akses terhadap layanan pendidikan dan pelatihan, dan mengurangi stigmatisasi terhadap mantan narapidana.

Mengubah struktur sosial menuju keadilan

Konsep Panopticon dan kejahatan struktural memberikan pemahaman tentang pentingnya perubahan struktur sosial untuk mencapai keadilan. Hal ini melibatkan penghapusan ketimpangan ekonomi, pemberdayaan kelompok marginal, dan implementasi kebijakan publik yang lebih adil dan inklusif.

Menggalang kesadaran dan partisipasi masyarakat

Pengaplikasian pemikiran Panopticon dan kejahatan struktural dapat menggalang kesadaran masyarakat tentang pentingnya peran mereka dalam mencegah kejahatan dan mempromosikan keadilan sosial. Dengan meningkatkan kesadaran akan akar penyebab kejahatan, masyarakat dapat berpartisipasi secara aktif dalam mendukung perubahan sosial dan advokasi kebijakan yang lebih adil.

Memperkaya penelitian dan kajian sosial

Pemikiran Panopticon dan kejahatan struktural memberikan landasan yang kuat untuk penelitian lebih lanjut dalam bidang kajian sosial dan ilmu pengetahuan. Konsep-konsep ini dapat menginspirasi pengembangan teori baru, pendekatan metodologis yang lebih holistik, dan pemahaman yang lebih baik tentang kompleksitas kejahatan dan struktur sosial.

Cctv di stasiun kereta api

Di banyak stasiun kereta api di Indonesia, CCTV dipasang sebagai alat pengawasan untuk memantau aktivitas penumpang dan keamanan di area stasiun. CCTV ditempatkan secara strategis di berbagai titik di stasiun, mencakup area peron, pintu masuk, dan ruang tunggu. Keberadaan CCTV memberikan efek pemantauan konstan, di mana penumpang dan pengunjung stasiun menyadari bahwa aktivitas mereka dapat terpantau.

Sistem pengawasan CCTV juga umum diterapkan di terminal bus sebagai upaya untuk meningkatkan keamanan dan mengontrol aktivitas penumpang serta kendaraan. CCTV dipasang di berbagai lokasi di terminal bus, termasuk area tunggu, pintu masuk, dan area parkir. Prinsip Panopticon tercermin dalam pemantauan terus-menerus yang dilakukan oleh petugas di pusat pengendali atau ruang keamanan.

Penerapan CCTV di stasiun kereta api dan terminal bus meningkatkan tingkat keamanan dengan memberikan pemantauan konstan terhadap aktivitas yang terjadi. Keberadaan CCTV dapat membantu dalam mendeteksi dan mencegah tindakan kriminal atau insiden keamanan lainnya.

Kesadaran akan pemantauan yang konstan dapat mendorong penumpang dan pengunjung untuk mematuhi aturan dan perilaku yang diharapkan. Potensi pelanggaran atau tindakan melawan hukum dapat menurun karena adanya kesadaran bahwa aktivitas mereka terlihat oleh petugas pengawas.

Sistem pengawasan yang diterapkan melalui CCTV dapat memberikan bukti visual yang berharga dalam penyelidikan kriminal, memfasilitasi identifikasi pelaku dan mengumpulkan bukti yang kuat.

Kejahatan narkotika di Indonesia

Teori kejahatan struktural oleh Anthony Giddens menekankan bahwa kejahatan adalah hasil dari ketidakseimbangan sosial dan ketidakadilan struktural yang dihadapi oleh individu. Salah satu contoh studi kasus yang relevan dengan teori ini adalah penyebaran kejahatan narkotika di Indonesia.

Ketimpangan pendapatan yang signifikan di Indonesia dapat mempengaruhi masyarakat dengan cara yang berbeda. Beberapa individu dan kelompok mungkin terjebak dalam kemiskinan dan merasa terpinggirkan secara ekonomi. Untuk mencapai kehidupan yang lebih baik, mereka mungkin mencari jalan pintas dengan terlibat dalam perdagangan narkotika yang ilegal.

Ketidakadilan dalam akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja dapat menyebabkan frustrasi dan ketidakpuasan sosial. Hal ini dapat mengarah pada peningkatan angka pengangguran dan kesempatan terbatas untuk memperbaiki kualitas hidup. Dalam situasi ini, individu yang putus asa mungkin tergoda untuk terlibat dalam kejahatan narkotika sebagai cara untuk mencapai kesejahteraan ekonomi.

Korupsi di berbagai tingkatan dalam sistem penegakan hukum di Indonesia memberikan kesempatan bagi sindikat narkotika untuk beroperasi tanpa hambatan. Hal ini menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perdagangan narkotika yang luas dan memfasilitasi distribusi dan penyebaran narkotika yang merusak masyarakat.

Beberapa aspek budaya, seperti perayaan dan glamorasi gaya hidup yang konsumtif, juga dapat mempengaruhi penyebaran narkotika. Keterlibatan individu dalam aktivitas yang melibatkan narkotika sering kali diasosiasikan dengan gaya hidup yang dianggap "keren" atau "menarik" oleh sebagian masyarakat.

Teori kejahatan struktural oleh Anthony Giddens juga dapat diterapkan untuk memahami fenomena kejahatan pencurian kendaraan di perkotaan Indonesia. Perkotaan Indonesia seringkali menghadapi kesenjangan ekonomi yang signifikan. Beberapa wilayah perkotaan memiliki tingkat kemiskinan yang tinggi, sementara sebagian lainnya merupakan pusat kekayaan dan konsumsi yang mencolok. Ketimpangan ekonomi yang tinggi dapat memicu ketidakpuasan sosial, kebutuhan untuk memenuhi kebutuhan hidup yang sulit, serta perasaan tidak adil dan putus asa. Hal ini dapat mendorong individu tertentu untuk terlibat dalam kejahatan pencurian kendaraan sebagai sumber pendapatan tambahan atau sebagai cara untuk memperbaiki keadaan ekonomi mereka.

Keberadaan lapangan kerja yang terbatas di perkotaan dapat menyebabkan tingginya tingkat pengangguran. Pengangguran dan ketidakstabilan ekonomi yang dialami sebagian penduduk perkotaan dapat mempengaruhi motivasi mereka untuk terlibat dalam kejahatan pencurian kendaraan sebagai sumber penghasilan.

Beberapa daerah perkotaan di Indonesia memiliki infrastruktur yang rentan, seperti kurangnya pencahayaan jalan yang memadai, keamanan yang lemah, dan kurangnya pengawasan polisi. Keadaan ini memberikan peluang bagi para pelaku kejahatan untuk melancarkan aksinya dengan lebih mudah dan kurang terdeteksi. Selain itu, adanya kemacetan lalu lintas di perkotaan juga menciptakan situasi yang menguntungkan bagi pencuri kendaraan, karena pemilik kendaraan cenderung meninggalkan kendaraan mereka tanpa pengawasan yang ketat.

Kejahatan pencurian kendaraan seringkali terkait dengan perdagangan ilegal suku cadang. Ada pasar gelap yang aktif di mana suku cadang kendaraan hasil curian dijual dengan harga murah. Kehadiran pasar gelap ini memberikan insentif ekonomi bagi para pelaku kejahatan untuk terus melakukan pencurian kendaraan.

Fox, S. (1989). The Panopticon: From Bentham’s Obsession to the Revolution in Managements Learning. Human Relations, 42(8), 717–739.

https://doi.org/10.1177/001872678904200804

Sewell, William H. (1992). A Theory of Structure: Duality, Agency, and Transformation. American Journal of Sociology 98.

http://www.jstor.org/stable/2781191

Jones, Matthew & Karsten, Helena. (2008). Review: Giddens's Structuration Theory and Information Systems Research. MIS Quarterly. 32.

https://www.researchgate.net/publication/31597829_Review_Giddens's_Structuration_Theory_and_Information_Systems_Research

Azhari, Muhammad Yusya, and Kristiyadi. (2008). Telah Closed Circuit Television dalam Konsepsi Panopticon dan Bewijsvoering pada E-Tilang.

https://jurnal.uns.ac.id/verstek/article/view/63944

Rismanda, C., & Ginting, R. (2018). Faktor-Faktor Penyebab Tindak Pidana Penyalahgunaan Narkotika di Kota Surakarta. 7(1).

https://jurnal.uns.ac.id/recidive/article/download/40579/26739

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun