Mohon tunggu...
Akbarmawlana
Akbarmawlana Mohon Tunggu... Full Time Blogger - menerapkan ruang publik agar bermanfaat

Penulis merupakan mahasiswa sosiologi

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pengajaran Premanisme Mulai Terbentuk Saat Pendidikan di Sekolah

26 Juni 2020   13:31 Diperbarui: 6 Juli 2020   12:55 239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Kebiasaan saya saat berada di rumah untuk mengisi rasa kebosanan dengan menonton acara di televisi. Kebetulan kemarin lusa pada saat menghidupkan televisi maka chanel yang keluar pertama kali tentang acara berita. 

Dalam berita tersebut, memberitakan tentang penangkapan John Kei dan anak buahnya. Hal ini sontak membuat saya bertanya siapakah John Kei itu ?

Inisiatif saya untuk menjawab rasa penasaran tersebut, maka cara yang digunakan saya adalah membrowsing, sebagai jalan satu-satunya. Ternyata setelah diusut melalui berbagai berita media online, John Kei merupakan tokoh preman yang dikenal, khususnya di Jakarta. 

Lalu, alasan penangkapan kembali Jhon Kei setelah bebas dari masa hukuman pada Desember 2019 (Bella,2020), isebabkan aksi penyerangan oleh anak buahnya terhadap kelompok Nus Kei.

Ternyata peradaban premanisme di Indonesia masih belum tuntas juga. Masih banyak kelompok-kelompok preman yang masih dapat ditemukan, bahkan lebih parahnya lagi setelah diberi tuntutan hukuman tidak dapat membuat efek jerah para preman ini. 

Masih ada aksi premanisme yang terjadi pasca keluar dari penjara, meskipun ada juga beberapa preman yang insyaf setelah keluar dari masa hukuman

Tetapi, jika kita lihat kenapa para kelompok preman ini akan ada terus dan seakan tidak pernah berhenti keberadaan aksinya? Dengan sederhana pertanyaan itu bisa kita jawab dengan konsep stratifikasi dan materi. Pertama, adanya stratifikasi merupakan konsep yang tidak dapat dipisahkan dalam hidup manusia. 

Hampir di berbagai lini kehidupan, akan terbentuk stratifikasi. Hal ini sama dengan preman, bahwa aksi mereka akan tetap ada sebab ada hasrat untuk menempati stratifikasi terkuat, demi mendapatkan sebuah nilai pengakuan dari orang lain.

Kedua, faktor materi juga akan selalu berdampingan pada kehidupan setiap orang. Tentu materi yang sangat dibutuhkan adalah uang. Bahkan ada ujaran " Tanpa uang kita mau jadi apa di dunia". Ujaran itu bukan suatu isapan belaka, sebenarnya kehidupan kita di dunia sudah terkonsep dengan uang, uang, dan uang.

Adanya alasan materi itu yang menyebabkan terjadinya pembentukan preman. Mereka bekerja sebagai preman bukan sekadar bekerja, melainkan juga mendapatkan imbalan berupa uang. Maka,, tidak mengherankan jika eksistensi preman akan tetap ada, selama pergerakan kehidupan kita selalu di monopoli dengan uang, dan stabilitas perekonomian yang tidak bisa dicapai dengan baik.

Namun, di sini rasa skeptis saya muncul, apakah benar keberadaan aksi preman hanya sebatas di ruang lingkup pemenuhan ekonomi dan pencapain stratifikasi ? Ternyata kemunculan aksi premanisme bukan hanya dilihat dari kacamata sempit. 

Banyak faktor yang bisa menyebabkannya, salah satu faktor yang bisa dikatakan luput dari analisis orang lain mengenai faktor kemunculan premanisme berasal dari pendidikan formal saat di sekolah. 

Seperti diketahui pada umumnya, bahwa sekolah sendiri merupakan unit sentral yang mempunyai peranan vital untuk membentuk kepribadian dari diri individu.

Sebelumnya, kita harus memahami terlebih dahulu mengenai definisi dari premanisme. Premanisme adalah sebutan untuk orang yang melakukan pengambilan keuntungan dengan memeras kelompok lain (Nugroho et al., 2017). Dalam pengertian tersebut bisa diambil garis kesimpulan, bahwa premanisme merupakan tindakan untuk memeras hak orang lain.

Dengan pengertian semacam itu, cukup jelas jika aksi premanisme sering kali terjadi saat berada di sekolah tanpa disadari. Banyak aksi pemerasan terhadap kelompok lain yang dilakukan oleh pihak sekolah. Contoh kasus yang sering kita temukan saat SMA, yaitu memeras jurusan IPS dengan melakukan pengucilan. Pengucilan ini sering kali masih terjadi di berbagai sekolah SMA, baik swasta atau negeri.

Hal ini juga dialami oleh teman saya, yang bersekolah di salah satu SMA negeri favorit. Di mana ia merupakan anak jurusan IPS, yang mengeluh jika kelas IPS hanya diberi jatah 2 kelas. Dan berbeda jauh dengan jumlah kelas IPA yang memiliki jatah lebih banyak.

Yang biasanya menjadi alasan klasik proses diskriminasi jurusan IPS yaitu, pihak sekolah lebih menganggap jurusan IPA lebih memiliki nilai lebih menguntungkan untuk dikembangkan. 

Keuntungan ini jika kita lihat dengan kacamata sederhana, akan menemukan jawaban atas peristiwa diskriminasi ini. Jika sekolah memiliki jurusan IPA lebih banyak, dan berefek pada jumlah murid semakin banyak yang dapat berprestasi di bidang SAINS, maka ini akan mendongkrak nama sekolah lebih baik di mata masyarakat, sebab perlombaan SAINS dianggap lebih keren oleh kebanyakan orang.

Tidak berhenti di situ saja, proses pemerasan sekolah juga terjadi pada saat membangun infrastruktur sekolah. Kebanyakan infrastruktur yang dibangun oleh sekolah tidak berkonsepkan ramah disabilitas. Bisa kita lihat berapa persentase sekolah yang ramah disabilitas? Mungkin, tidak sampai mencapai setengah dari jumlah sekolah yang ada di Indonesia. Hal ini terjadi saat sekolah hanya sekadar memikirkan pembangunan infrastruktur yang mewah.

Ini terjadi oleh adanya suatu kultur yang menyimpang di kehidupan masyarakat kita, dengan memberikan penilain sekolah yang mewah merupakan indikator bahwa sekolah itu maju. Nilai budaya ini memberikan peluang bagi sekolah untuk berlomba membuat infrastruktur mewah agar mendapatkan murid banyak, dan ketika jumlah murid banyak bisa membantu keuangan sekolah.

Teringat dengan kondisi pendidikan di tempat kelahiran saya, banyak ditemukan sekolah yang tidak ramah disabilitas. Kebanyakan sekolah tidak ada fasilitas yang bisa menunjang pendidikan bagi kaum disabilitas, seperti contoh membangun kelas bertingkat, tetapi tidak ada jalur khusus disabilitas. Ini merupakan proses marginalisasi terhadap disabilitas.

Sehingga berangkat dari dua kasus sederhana di atas, ini memberikan indikator bahwa premanisme sudah tercipta sejak di bangku sekolah. Banyak sekolah merampas hak orang lain, tanpa mereka sadari ini menjadi suatu keputusan yang akan berdampak fatal. 

Apabila melihat pembentukan karakter manusia dengan konsep nurture, yang menganggap pengalaman dari stimulus lingkungan luar akan mempengaruhi pembentukan sikap dari seseorang.

Ketika pendidikan di sekolah masih terus saja melakukan aksi perampasan hak orang lain. Tanpa disadari itu menjadi salah satu stimulus untuk membentuk karakter seseorang bersikap premanisme. 

Sikap premanisme yang dilakukan sekolah akan begitu mudahnya direkam dalam otak, dan kemudian akan tertanam dalam jiwa peserta didiknya. Biasanya akan terbentuk konstruksi pemikiran semacam ini " Dulu waktu aku sekolah, banyak sikap sekolah yang memeras peserta didik, kenapa aku tidak bisa melakukannya juga ?"

Maka, ini menjadi jawaban lain tentang mengapa aksi premanisme sulit untuk dihentikan. Sebab, proses pembentukan pendidikan juga menjadi hal fundamental untuk membangun karakter individu. 

Karena, sistem kehidupan manusia dapat diibaratkan seperti organ tubuh, ketika ada bagian yang rusak maka berdampak pada kerusakan organ lain. Sama dengan kasus premanisme dapat terjadi jika fungsi bagian pendidikan berjalan dengan tidak baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun