SELAYANG PANDANG
Dalam dunia usaha secara umum entitas bisnis memiliki dua cara untuk mendapatkan suntikan dana guna mengakselerasi kegiatan bisnisnya yakni, bisa melalui sistem hutang atau Initial Public Offering ( IPO ) alias mengajak masyarakat secara luas / publik ( baik individu atau badan ) untuk menjadi pemodal. Konsekuensi daripada kedua sistem pembiayaan tersebut memiliki dampak terhadap perusahaan ( entitas ) dalam memenuhi kewajibannya. Jika berbasis hutang maka kewajibannya adalah berupa pembayaran pokok hutang beserta bunganya. Sedangkan yang berbasis IPO kewajiban perusahaan adalah bentuk bagi hasil yang tertuang dalam SHU ( Sisa Hasil Usaha ) atau juga biasa disebut deviden. Selanjutnya masyarakat yang berpartisipasi sebagai investor ini akan diberikan hak kepimilikan perusahaan yang disebut dengan saham. Proses jual beli saham ini dilakukan di pasar sekunder atau juga bisa disebut pasar modal yang dalam perjalana, pengawasan, dan reguliasinya dilakukan oleh BAPEPAM (Badan Pengawasan Pasar Modal ) dan OJK ( Ototritas Jasa Keungan ).
Dalam praktiknya perilaku pemegang saham terbagi menjadi dua, ada yang dalam jangka pendek ada yang jangka panjang. Pada jangka pendek pemegang saham akan mencari keuntungan dari selisih jual-beli sahamnya. Ketika pemegang saham menjual kepemilikan sahamnya lebih tinggi daripada saat dia membelinya maka dia mendapat keuntungan ( capital gain ). Sebaliknya saat dia menjual kembali sahamnya dengan harga di bawah saat dia membelinya maka dia menanggung kerugian ( capital loss ). Pemegang saham jangka pendek ini biasa disebut trader alias pedagang, dimana mereka memperjualbelikan kepemilikan sahamnya dalam waktu yang relatif cepat ( bisa dalam hitungan jam, harian, biasanya kurang dari setahun ). Sebaliknya perilaku pemegang saham jangka panjang lebih mengedepankan bagi hasil atas prestasi kinerja perusahaan. Itulah kenapa, cara bermain kedua perilaku ini berbeda. Jika para pemegang saham jangka pendek ( trader ) umumnya lebih sering menggunakan analisa teknikal sebaliknya pemegang saham jangka panjang ( investor ) menggunakan analisa fundamental yang cenderung lebih rasional, hati - hati dan futuristik.
JENIS - JENIS PERUSAHAAN PENERBIT SAHAM
Dari segi perusahaan ( emiten ) yang menerbitkan saham, terbagi menjadi dua yakni emiten konvensional dan syariah. Emiten ( perusahaan ) konvensional umumnya menjalankan roda bisnis perusahaanya di berbagai bidang sektor usaha yang legal secara hukum positif ( UUD, KUHP, dan sebagainya ) sedangkan emiten syariah mereka menjalankan roda bisnis perusahaanya secara legal dalam hukum positif juga dengan menerapkan prinsip-prinsip syariah ( tidak melakukan riba, menjual barang haram dalam agama Islam, dan sejenisnya ).
SAHAM SYARIAH
Dalam tulisan ini saya hanya berfokus pada emiten syariah saja. OJK selaku regulator atas berjalannya kegiatan di pasar sekunder/modal membuat regulasi dan definisi terkait apa itu saham syariah yang termaktub dalam peraturan OJK ( POJK) Nomor 35/POJK.04/2017 tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Dalam peraturan tersebut OJK memberikan batasan terkait saham/efek syariah sekaligus menjadi tahapan dasar untuk menscreening sebuah perusahaan disebut syariah atau tidak yakni,
1. Tidak melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan prnisip syariah ( seperti jasa keungan ribawi, perdagngan yang dilarang menurut syariah, transaksi yang mengandung unsur spekulatif/ghoror dan transaksi yang mengandung unsur suap/riswah ).
2. Setidaknya, perusahan( emiten ) memiliki rasio-rasio keungan sebagai berikut,
A. total utang yang berbasis bunga dibandingkan dengan total aset tidak lebih dari 45%
B. otal pendapatan bunga dan pendapatan tidak halal lainnya dibandingkan dengan total pendapatan usaha (revenue) dan pendapatan lain-lain tidak lebih dari 10%
Nah, dipoin kedua inilah yang akan menjadi pembahasan kita.
SAHAM SYARIAH VS SAHAM YANG DISYARIAHKAN
Menariknya, saya melihat bahwa tidak semua emiten yang menerbitkan efek/saham betul-betul syariah 100% itulah mengapa saya menyebutukan ada saham yang betul - betul syariah dan yang disyariahkan, mengapa bisa begitu?
Saham syariah berasal dari perusahaan/emiten yang memang sedari awal akta pendirian perusahaan tersebut memang betul-betul dilandaskan atas sistem syariah. Umumnya, perusahaan ini bergerak di bidang keuangan seperti BRI Syariah, BSI ( Bank Syariah Indonesia ) yang praktiknya dikontrol oleh Dewan Pengawas Syariah ( DPS ). Selanjutnya, untuk perusahaan yang "disyariahkan" tidak dituntut harus berbentuk perusahaan syariah sedari awal. Prinsipnya jika dua kriteria OJK ini mereka terpenuhi maka dalam jangka waktu tertentu mereka masih dikategorikan sebagai saham syariah.
Saat ini semua perusahaan/emiten baik yang syariah maupun yang "disyariahkan" terindeks dalam Jakarta Islamic Indesx ( JII ), dimana daftar perusahaan tersebut dapat berubah - ubah sepanjang waktu. Jadi, perusahaan yang periode ini masuk ke daftar perusahaan syariah, boleh jadi diperiode yang mendatang dikeluarkan ( delisting ) dari daftar tersebut. OJK secara berkala merilis 30 saham syariah setiap 6 bulan sekali. Kasus yang umum terjadi ialah ketika mereka tidak lulus di bagian kedua tentang rasio keuangan. Boleh jadi, perusahaan tersebut benar bergerak sesuai prinsip syariah, namun secara akumulatif mereka juga menerima pendapatan-pendapatan non-halal yang prosentasenya melebih dari batas nilai wajar darurat yang telah ditetapkan. Perlu diketahui, bahwa sejatinya motif sebuah perusahaan bisnis ialah mencari keuntungan ( Porfit oriented ) yang dalam hal ini berupaya untuk mencatatkan laba yang baik dalam laporan keungan. Namun, prinsip seperti itu tidak sepenuhnya ditolerir dalam prinsip Islam yang tentu harus ada pertimbangan dari sisi kesyariahannya.
SIKAP
Hal ini tentu akan menimbulkan efek dilematis tersendiri bagi Anda yang berpegang teguh pada prinsip syariah. Boleh jadi saat perusahaan tersebut masih terdaftar sebagai efek syariah kita bisa membeli dan menyimpannya. Bagaimana, saat efek tersebut dikeluarkan ( delisting ) dari daftar syariah? Tentu saja saham tersebut tidak dibenarkan sebagai saham syariah, walaupun diperiode yang akan datang bisa jadi perusahaan tersebut kembai masuk sebagai saham syariah. Namun dalam rentang itu, perusahaan dikeluarkan dari saham syariah, jika Anda berperilaku sebagai trader tentu saja Anda sedang memperjual belikan saham yang tidak syariah. Begitu juga Anda yang bermain sebagai investor, sama saja Anda memperoleh imbal bagi hasil dari perusahaan yang tidak menjalankan prinsip syariah.
Maka, sikap terbaik sebagai seorang Muslim adalah menerapkan prinsip kehati - hatian ( mutawarik ) dalam hal seperti ini. Jangan hanya berdalih prinsip untung, sisi - sisi kesyariahan di abaikan. Perhatikan sabda Rosulullah
لَيَأْتِيَنَّ عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يُبَالِي الْمَرْءُ بِمَا أَخَذَ الْمَالَ أَمِنْ حَلَالٍ أَمْ مِنْ حَرَامٍ
"Akan datang suatu masa pada umat manusia, mereka tidak lagi peduli dengan cara untuk mendapatkan harta, apakah melalui cara yang halal ataukah dengan cara yang haram."
HR. Bukhori no.2059
Jika ditanya, apakah dibolehkan melakukan investasi atau trading di instrumen saham? Maka sejauh kapasitas keilmuan saya, saya katakan boleh! Dengan catatan selagi instrumen saham yang dijalankan adalah dari perusahaan yang setidaknya terdaftar dalam indeks saham syariah. Jika pada suatu periode perusahaan yang Anda miliki dikeluarkan dari saham syariah, ya sebaiknya segera saja Anda jual jangan dipertahankan. Karena sejatinya jika terus dipertahankan itu sama saja Anda mempertahankan barang yang haram.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI