Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Jelang Hari Guru Nasional, Guru Memang "Dari Planet Lain"

22 November 2024   13:29 Diperbarui: 24 November 2024   12:44 736
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilutrasi pendidikan. Perjalanan guru yang tak biasa, sebuah dedikasi tanpa tepi. (KOMPAS/LASTI KURNIA)

Di tengah gemerlap profesi yang menjanjikan materi melimpah, dunia pendidikan masih menyimpan cerita-cerita unik yang menginspirasi. Salah satunya datang dari mereka yang memilih jalan menjadi guru, meskipun tahu risiko finansialnya. Apa yang membuat seseorang meninggalkan zona nyaman dan melangkah ke dunia yang penuh tantangan? Jawabannya bisa jadi sederhana, namun sekaligus kompleks yakni "panggilan jiwa".

Indonesia sejatinya masih kekurangan guru. Jumlah tenaga pengajar yang memadai tidak sebanding dengan jumlah siswa yang terus meningkat setiap tahunnya. Namun, realitas ini seringkali luput dari perhatian banyak pihak. 

Kekurangan ini tidak hanya terjadi di pelosok, tetapi juga di kota-kota besar. Masalahnya bukan hanya soal jumlah, tetapi juga kualitas.

Memilih jurusan pendidikan di bangku kuliah seakan menjadi langkah yang jarang dilakukan anak muda masa kini. Di saat teman-temannya sibuk mengincar jurusan favorit dengan prospek karir mentereng.

"Serius mau jadi guru?" adalah pertanyaan yang seringkali terdengar.

Menjadi guru di Indonesia bukanlah pekerjaan yang mudah. Rekrutmen guru kerap kali dinilai carut-marut. Banyak lulusan pendidikan harus memulai karir mereka sebagai guru honorer. Gaji yang mereka terima seringkali tak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar, tetapi mereka tetap bertahan.

Fenomena ini menyimpan kisah-kisah inspiratif. Ada rekan guru yang sempat bekerja di perbankan dengan gaji yang tentu lebih dari cukup. Namun, dia memilih resign dan menjadi guru SD dengan status honorer. Jika dihitung, gajinya saat ini bahkan tidak sampai seperempat dari penghasilannya dulu. Mengapa dia melakukan itu? Sebab, menjadi guru adalah panggilan jiwa, "katanya".

Kisah ini membuat saya berpikir, mungkinkah mereka ini datang dari "planet lain"?

Di dunia yang begitu materialistis, mereka memilih jalan sunyi untuk mendidik generasi masa depan. Tidak ada tepuk tangan meriah atau sorotan lampu gemerlap, tetapi mereka tetap melangkah dengan penuh keyakinan.

Guru (honorer) adalah pahlawan tanpa tanda jasa dalam arti yang sesungguhnya. Di tengah keterbatasan, mereka tetap mengabdikan diri untuk anak-anak bangsa. Meski harus merangkap pekerjaan lain (baca: penghasilan tambahan) untuk menyambung hidup, mereka memprioritaskan tugas utama sebagai pendidik.

Di desa-desa terpencil, guru honorer seringkali harus berjalan kaki berkilo meter jauhnya hanya untuk mencapai sekolah. kondisi jalan yang dilewati bukanlah jalan aspal, melainkan jalan tanah berlumpur yang licin saat hujan turun. Tapi, mereka melakukannya sambil "tersenyum".

Apa yang membuat mereka begitu kuat? Mungkin jawabannya ada pada cinta. Cinta pada profesi, pada anak-anak didik mereka, dan pada masa depan bangsa. 

Guru percaya bahwa pendidikan adalah kunci perubahan. Dan berperan sebagai guru adalah bagian penting dari perubahan itu.

Namun, menjadi guru tidak hanya tentang ketulusan. Profesi ini menuntut dedikasi yang tinggi. Seorang guru harus terus belajar agar tetap relevan dengan perkembangan zaman. 

Mereka harus mampu memahami teknologi, mendekati generasi Z dan Alpha dengan cara yang kreatif. Serta menyampaikan materi yang tidak hanya informatif tetapi juga inspiratif.

Dalam era digital, guru menghadapi tantangan baru. Mereka tidak hanya bersaing dengan buku teks, tetapi juga dengan YouTube, TikTok, dan media sosial serta konten digital lainnya. 

Anak-anak zaman sekarang lebih akrab dengan gawai dibandingkan buku (pelajaran). Sehingga ini menuntut guru berpikir "out of the box" dalam menciptakan pengalaman belajar yang menyenangkan.

Meski begitu, menjadi guru tetaplah profesi yang penuh makna. Ada kebahagiaan yang tidak bisa diukur dengan uang ketika melihat siswa berhasil. Atau, ketika mendengar mereka berkata, "terima kasih, Pak Guru".

Dalam sebuah wawancara, seorang guru honorer berkata, "saya mungkin tidak punya banyak uang, tetapi setiap hari saya melihat masa depan bangsa di depan mata saya. Itu cukup untuk membuat saya terus bertahan".

Kata-kata itu begitu menggugah. Guru adalah perwujudan dari memberi tanpa berharap imbalan, mendidik tanpa pamrih, dan menginspirasi tanpa mengharap pujian.

Namun, disisi lain, kita tidak bisa terus menerus membiarkan guru berjuang sendirian. Pemerintah perlu lebih serius dalam memperbaiki sistem rekrutmen dan kesejahteraan guru. Tanpa dukungan yang memadai, akan sulit bagi Indonesia untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas layaknya negara-negara lain.

Dunia pendidikan adalah tentang apa yang kita tanam hari ini maka akan kita tuai di masa mendatang. Oleh karena itu, sudah seharusnya profesi guru mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak, termasuk masyarakat dan pemerintah.

Seringnya penghargaan terhadap guru baru terasa setelah mereka purnabakti atau bahkan setelah tiada. Padahal, mereka adalah fondasi dari semua profesi lainnya. Tidak ada dokter, insinyur, atau pengacara yang lahir tanpa sentuhan seorang guru.

Kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap profesi guru. Mereka bukan sekadar "pekerja," tetapi pembentuk masa depan. Dengan memberikan penghargaan yang layak, kita turut berkontribusi pada kemajuan bangsa.

Meskipun begitu, penghargaan terbesar bagi seorang guru terkadang bukan datang dari gaji atau gelar. Tetapi dari kesuksesan anak didik. Melihat murid-murid berhasil menjadi individu yang bermanfaat bagi masyarakat adalah kebahagiaan yang tidak bisa digantikan oleh apapun.

Guru "dari planet lain" ini mengingatkan kita bahwa dunia ini tidak hanya tentang angka-angka di rekening, tetapi juga tentang nilai-nilai yang kita tanamkan dalam kehidupan.

Guru dan atau profesi pendidik adalah pilar-pilar yang seringkali tidak terlihat tetapi sangat penting bagi berdirinya sebuah bangsa. Dengan mendukung guru, kita mendukung masa depan kita sendiri.

Dalam perjalanan hidup, kita semua pernah bertemu dengan sosok guru yang menginspirasi. Mereka yang tidak hanya mengajarkan pelajaran, tetapi juga memberikan "pelajaran hidup".

Kehadiran guru adalah lentera yang menerangi jalan gelap. Mereka mungkin tidak sempurna, tetapi kehadiran mereka adalah berkah bagi dunia.

Jadi, ketika kita bertanya, "Mengapa masih ada yang mau menjadi guru?" Jawabannya cukup sederhana, karena mereka percaya "the power of mendidik". 

Dan dunia ini membutuhkan lebih banyak guru-guru seperti mereka, yang datang "dari planet lain"...

Untuk Hari Guru Nasional 2024: guru hebat, Indonesia kuat!

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun