Tak terasa, usia Kompasiana akan mencapai 16 tahun. Sebuah perjalanan panjang yang tak hanya mengantarkan kita pada kesempatan untuk menulis, tetapi juga ruang aktualisasi diri yang relevan dan bermakna.Â
Kompasiana bukan sekadar platform berbagi cerita, tetapi juga sebuah komunitas yang menjembatani beragam pengalaman perjalanan hidup. Tempat dimana kita dapat saling bertukar ide dan pandangan. Sekaligus memberikan warisan literasi yang bisa dinikmati bersama-sama.
Kompasiana tak hanya menjadi saksi bagi perjalanan tulisan-tulisan kita, tetapi juga menjadi bagian dari kisah-kisah pribadi yang tak jarang membawa kenangan manis maupun pahit.Â
Terkait kabar meninggalnya Ibu Marissa Haque baru-baru ini, saya tak pernah menyangka bahwa beliau juga sempat berinteraksi di Kompasiana.Â
Hal ini menunjukkan betapa kuatnya ikatan emosional yang terjalin disini, bahwa tokoh-tokoh besar atau para figur inspiratif pun pernah menginjakkan langkah digitalnya di Kompasiana.Â
Meskipun banyak dari kita yang sempat rehat karena kesibukan masing-masing. Ada yang sudah menghilang selama bertahun-tahun, namun selalu ada panggilan untuk kembali. Rasanya seperti pulang ke rumah, dimana ide-ide yang sudah lama terpendam akhirnya bisa dituangkan kembali ke dalam tulisan.Â
Kini sebagai seorang guru, saya merasa penting untuk menyuarakan pendapat mengenai isu pendidikan yang hingga kini masih menjadi tantangan besar bagi bangsa kita. Pendidikan adalah fondasi bagi masa depan, namun masalah-masalah di dalamnya masih belum tuntas diselesaikan.Â
Melalui Kompasiana, saya mencoba memberanikan diri berbagi solusi, meskipun saya sadar bukanlah seorang ahli. Itulah keindahan dari platform ini, setiap orang bebas menyampaikan opini, selama itu bermakna dan berkontribusi positif bagi pembaca dan ekosistem digital.
Kompasiana memberi ruang bagi kita semua, tanpa memandang latar belakang profesi atau keahlian. Di sini, kita tak hanya menulis tetapi juga belajar dari satu sama lain.Â
Terkadang, tulisan yang sederhana bisa memantik diskusi yang dalam dan membuka perspektif baru.Â
Dengan tagline "Opini Bermakna," Kompasiana mengingatkan kita bahwa setiap pendapat yang dibagikan di sini memiliki nilai dan dapat memberi dampak.
Apa yang kita tulis mencerminkan siapa kita ---apa yang kita percayai, dan bagaimana kita melihat dunia.Â
Di sinilah kita terus bertumbuh, baik sebagai Kompasianer maupun individu yang peduli terhadap lingkungan sosial dan masyarakat.
Dan akhirnya, 16 tahun Kompasiana telah menjadi lebih dari sekadar platform blogging biasa, melainkan benar-benar menjadi "beyond blogging".Â
Jejak digital yang kita tinggalkan menjadi warisan literasi yang akan abadi. Di sini, kita bisa menulis untuk masa depan, untuk generasi yang mungkin belum kita temui, tetapi akan membaca apa yang kita tinggalkan.Â
Terima kasih, selamat ultah Kompasiana, telah menjadi rumah bagi pikiran dan hati kami.
Kertas Papirus yang Datang dari Benua Australia
Kompasiana bukanlah sekadar tempat untuk menulis. Kita tidak hanya memposting artikel lalu berlalu begitu saja. Lebih dari itu, Kompasiana adalah ruang untuk kita membangun komunitas, menganyam jejaring, menemukan teman, sahabat, bahkan ada yang sudah dianggap seperti keluarga.Â
Persahabatan yang lahir diantara para Kompasianer seringkali melampaui batas-batas kata, dan lambat laun terasa begitu akrab, seolah kita telah lama mengenal satu sama lain.Â
Ini adalah sebuah rumah bersama. Dan rasa saling peduli tumbuh secara alami.
Selama lebih dari satu dekade, saya telah berkenalan dengan beberapa Kompasianer. Meskipun waktu berjalan begitu cepat, nama dan wajah mereka tetap lekat di ingatan saya. Ada ikatan emosional yang kuat, meski terkadang kami telah jarang berkomunikasi secara intens.Â
Dari banyaknya kisah yang lahir di Kompasiana, ada satu yang sungguh menyentuh hati. Tentang Opa Tjiptadinata Effendi, sosok yang begitu dihormati di komunitas ini.Â
Suatu hari, tanpa saya duga, Opa yang kala itu belum begitu saya kenal, tiba-tiba mengirimkan sebuah lukisan Cleopatra yang diukir di daun papirus langsung dari Australia.Â
Saya tidak pernah meminta apapun, bahkan tak terbayang akan menerima sesuatu dari beliau. Namun, dengan tulus Opa menawarkan, tanpa saya mengeluarkan biaya sepeserpun, padahal saya tahu biayanya sangat besar jika dirupiahkan.
Tindakan Opa bukan sekadar soal barang yang dikirim, melainkan tentang usaha dan ketulusan hatinya. Apalagi, beliau sudah lansia, tapi sungguh terasa effort-nya.Â
Saat lukisan itu tiba di tangan saya, ada perasaan haru yang mendalam. Saya merasa bahwa Opa memberikan lebih dari sekadar hadiah; beliau memberi sepotong kebaikan kemurahan hati.
Opa juga pernah mengirimkan saya buku karyanya. Saya tak pernah meminta apapun darinya, tapi justru opa lah yang berinisiatif. Itu yang membuktikan bahwa Kompasiana bukan hanya sekedar tempat untuk menulis. Tetapi juga tempat hati kita terhubung, melampaui jarak, waktu, dan batas-batas geografis.
.....(Tarik nafas dulu, lalu hembuskan)..... Kompasiana telah memberi kita ruang untuk bertumbuh bersama, mengenal lebih dalam satu sama lain, dan saling mendukung tanpa pamrih.Â
Di sini, kita bukan hanya menulis artikel, tetapi juga menemukan saudara dalam sebuah perjalanan kehidupan.Â
Sebuah perjalanan yang tak hanya dibangun oleh kata-kata, tetapi juga oleh cinta, kehangatan, dan kebaikan. Insya Allah..
Teruslah Menulis, Hingga Akhirnya...
Tak terasa, 16 tahun telah dilalui, dan selama itu, Kompasiana menjadi Rumah Gadang bagi kita ---pengibaratan yang diutarakan oleh Opa Tjiptadinata Effendi disini.Â
Tempat bagi kita mencurahkan isi hati, berbagi pengalaman, dan melepaskan keluh-kesah.Â
Di setiap tulisan/artikel yang kita buat, ada jejak emosional, harapan, dan keyakinan yang kita titipkan.Â
Mungkin awalnya kita hanya ingin menyuarakan opini atau pendapat, menumpahkan isi hati yang terbendung, tapi siapa sangka tulisan itu akan menjadi lebih dari sekadar cerita?Â
Ia menjadi saksi bisu perjalanan hidup kita, sebuah warisan yang mungkin kelak akan tetap dibaca, meski kita sudah tiada.
Setiap huruf yang kita ukir di Kompasiana bukan hanya untuk diri sendiri, tapi juga untuk orang lain.Â
Kita berharap, apa yang kita utarakan bisa memberikan secercah manfaat bagi yang membaca.Â
Mungkin, ada pelajaran yang bisa dipetik, ada inspirasi yang bisa menggerakkan hati orang lain.Â
Bagi kita, Kompasiana adalah tempat yang aman karena kita bisa menuliskan apapun yang kita rasakan. Namun, bagi pembaca, tulisan kita bisa jadi lebih dari itu; mungkin mereka menemukan kekuatan, semangat, atau bahkan penghiburan.
Tak ada yang tahu kapan kita akan berhenti menulis, atau kapan kita akan mengucapkan kata-kata terakhir kita di Kompasiana.Â
Waktu terus berjalan, dan kita pun semakin larut dalam kehidupan masing-masing.Â
Tapi tulisan? Ia akan abadi, meski penulisnya mungkin sudah tak ada lagi.Â
Kita menulis bukan hanya untuk hari ini, tapi untuk masa depan, untuk meninggalkan sesuatu yang bermakna, sesuatu yang bisa dikenang oleh orang-orang yang mungkin belum pernah kita temui ---memberi dampak.
Ketika kita menyadari bahwa suatu hari nanti, kita mungkin tak akan lagi bisa menulis. Meskipun kita tidak tahu kapan akhir itu akan datang, kita bisa mempercayakan bahwa selama kita masih bisa menulis, kita akan menorehkan yang terbaik.Â
Kita akan terus berbagi, terus menuliskan kisah, seolah-olah setiap tulisan tidak bisa dengan begitu saja menemukan kata akhir. Sehingga kita akan menulis sambungan atau lanjutannya.
Setiap tulisan yang kita tinggalkan di Kompasiana adalah bagian dari diri kita, bagian dari hati dan jiwa yang kita bagikan kepada dunia.Â
Selama kita masih bisa mengetik, mari terus menulis. Karena kita tak pernah tahu kapan waktu kita habis, kapan tulisan terakhir itu akan terukir.Â
Ketika kita sudah tidak lagi mampu bercerita, tulisan itulah yang akan berbicara untuk kita.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi
Untuk ultah ke-16 Kompasiana
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H