Fenomena guru yang berutang kerapkali bukan semata karena minimnya pendapatan, tapi juga karena banyaknya godaan kredit dan atau cicilan yang datang tanpa henti.Â
Dalam keseharian, guru berhadapan dengan berbagai tawaran menarik, mulai dari kredit tanpa bunga hingga cicilan dengan tenor panjang.Â
Penawaran-penawaran ini sering disampaikan dengan bahasa marketing yang menggoda, membuat guru yang awalnya tidak berniat berhutang akhirnya tergoda untuk ikut serta.Â
Iming-iming kemudahan ini terkadang begitu sulit ditolak, apalagi saat kebutuhan sudah mendesak.
Di sekolah-sekolah, tak jarang ada penjual yang datang, menawarkan berbagai produk dengan pendekatan ramah, seolah hanya untuk "cuci mata". Namun, ketika produk yang ditawarkan ternyata sangat diperlukan ---seperti peralatan dapur atau kebutuhan rumah tangga--- guru merasa terjebak dalam situasi di mana mereka harus membeli, meski itu artinya berutang.Â
Skema cicilan yang tampaknya ringan membuat keputusan berutang semakin mudah, bahkan tanpa mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang.
Godaan semacam ini diperparah dengan kurangnya kesadaran meski pemahaman finansial sudah memadai. Banyak guru sebenarnya sudah cukup memahami risiko yang mengintai di balik kemudahan kredit yang ditawarkan.Â
Terjebak dalam ilusi "tanpa bunga" atau cicilan ringan yang sebenarnya dapat membebani keuangan dalam jangka panjang. Di tengah tuntutan hidup yang semakin berat, pilihan berhutang menjadi jebakan yang sulit dilepaskan.
Ketika pemasukan tidak mencukupi, godaan kredit menjadi semakin sulit dihindari. Lalu membuat banyak guru akhirnya terperangkap dalam jerat hutang yang berkepanjangan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa guru tidak hanya membutuhkan perhatian dalam hal profesionalisme, tetapi juga dalam hal kesejahteraan finansial. Tanpa edukasi keuangan yang memadai dan upaya peningkatan gaji yang signifikan, godaan kredit akan terus mengintai, dan banyak guru akan terus terjebak dalam lingkaran utang yang tak berujung.