Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mencegah Bahaya "Tone Deaf", Apakah yang Bisa Kita Lakukan?

28 Agustus 2024   14:39 Diperbarui: 28 Agustus 2024   23:13 491
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (foto Akbar Pitopang)

Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi di era digital, istilah "tone deaf" menjadi sorotan. Istilah ini kembali mencuat ketika beberapa tindakan anak pejabat dianggap tidak peka terhadap situasi kritis di tanah air. "Tone deaf" bukan hanya sebuah frasa, tetapi juga representasi dari sikap yang kurang empati dan gagal membaca perasaan orang lain. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi di zaman yang serba cepat ini, dampaknya terasa semakin signifikan.

Di media sosial, perilaku "tone deaf" bisa dengan cepat menjadi viral dan menuai kritik. Ini menunjukkan betapa pentingnya kita untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. 

Ketidakpekaan ini, meski mungkin tidak disengaja, bisa menyinggung banyak orang dan menimbulkan reaksi negatif. Dalam dunia yang terhubung media sosial seperti sekarang, satu komentar atau tindakan yang tidak tepat bisa tersebar luas dalam hitungan detik menimbulkan dampak yang jauh lebih besar daripada yang dibayangkan.

Pada dasarnya, "tone deaf" adalah cerminan dari kurangnya kepedulian sosial. Di tengah kehidupan modern yang kerap mendorong sikap individualisme, kepedulian sosial justru menjadi semakin penting. 

Sikap yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitar dapat merusak harmoni dalam masyarakat. Inilah yang membuat kita perlu menyeimbangkan kebutuhan pribadi dengan kepedulian terhadap orang lain.

Kepedulian sosial bukan sekadar sebuah nilai kuno yang ketinggalan zaman, melainkan fondasi bagi kehidupan yang lebih bermakna dan berkelanjutan. 

Ketika kita peka terhadap perasaan orang lain, kita tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. Sikap ini juga membantu menghindarkan kita dari konflik yang mungkin timbul karena ketidaksepahaman.

Tantangan modernitas memang bisa membuat kita cenderung bersikap individualis. Namun, ini bukanlah alasan untuk melupakan esensi kepedulian terhadap sesama. 

Dalam konteks kehidupan sosial yang semakin kompleks, kemampuan untuk membaca situasi dan berempati menjadi keterampilan yang sangat berharga. Kita harus berusaha untuk selalu peka dan tidak mengabaikan perasaan orang lain, terutama dalam situasi yang penuh dengan sensitivitas.

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk terus mengingat bahwa kehidupan sosial tidak hanya tentang "aku", tetapi juga tentang "kita". 

Menghindari sikap "tone deaf" berarti kita berupaya menciptakan dunia yang lebih harmonis dan saling mendukung. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat dengan setiap individu merasa dihargai dan dipahami.

Ilustrasi. (KOMPAS/HERYUNANTO)
Ilustrasi. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Menghindari "Flexing" dalam Berekspresi

Di era digital ini, media sosial telah menjadi panggung besar bagi banyak orang untuk menampilkan pencapaian dan kehidupan mereka. Namun, di balik fenomena ini, ada sisi gelap yang tak jarang muncul yaitu kecenderungan "tone deaf" yang didorong oleh kebutuhan atau "haus" akan validasi. 

Banyak orang tanpa sadar terjerumus dalam perilaku "flexing", yaitu pamer tanpa mempertimbangkan perasaan sekitarnya. Ketika dunia maya menjadi ajang pembuktian diri, batasan antara self-reward dan pamer bisa menjadi sangat tipis.

"Flexing" seringkali terjadi karena dorongan untuk mendapatkan pengakuan. Namun, tindakan pamer ini bisa berujung pada ketidakpekaan terhadap situasi yang dialami oleh orang lain. 

Misalnya, di saat banyak orang sedang berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, memamerkan kemewahan tanpa mempertimbangkan konteks sosial bisa memicu perasaan tidak nyaman bahkan kecemburuan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada baiknya kita berhati-hati dalam berbagi prestasi atau kebahagiaan. Self-reward memang penting sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri, tetapi bukan berarti kita harus memamerkannya di hadapan publik begitu saja. 

Memang, kita ingin merayakan keberhasilan, tetapi melakukannya dengan cara yang peka terhadap perasaan orang lain adalah hal yang jauh lebih bermartabat.

Untuk menghindari sikap "tone deaf", penting bagi kita untuk selalu mempertimbangkan bagaimana unggahan kita. Alih-alih fokus pada pamer pencapaian diri, kita bisa memanfaatkan media sosial untuk berbagi hal-hal yang lebih bermakna dan inspiratif. 

Misalnya, berbagi kisah perjuangan di balik kesuksesan, atau memberikan dukungan kepada mereka yang sedang berjuang, maka dapat memberikan dampak positif yang lebih luas.

Kita harus selalu ingat bahwa apa yang kita lakukan atau katakan memiliki pengaruh yang lebih besar. Dengan memilih untuk tidak pamer dan lebih peduli terhadap perasaan orang lain, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan harmonis ---baik di di media sosial maupun yang terpenting adalah di kehidupan nyata. 

Prestasi sejati bukanlah tentang seberapa banyak pengakuan yang kita dapatkan, melainkan tentang bagaimana kita menggunakan pencapaian kita untuk memberikan dampak positif bagi orang lain.

Ilustrasi. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)
Ilustrasi. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Bagaimana Pentingnya Teladan dalam Keluarga

Dalam dunia yang semakin individualistis, peran keluarga sebagai benteng utama dalam menanamkan nilai-nilai kepedulian sosial tidak bisa diabaikan. Orangtua memiliki tanggung jawab besar dalam membentuk karakter anak agar lebih peka dan peduli terhadap sesama. 

Di tengah maraknya fenomena "tone deaf", penting untuk merenungkan bagaimana nilai-nilai dasar ini dibangun sejak dini dalam lingkungan rumah terlebih dahulu.

Sikap "tone deaf" bisa berakar dari kurangnya kasih sayang dan kepedulian di lingkungan keluarga. Ketika anak tumbuh tanpa mendapatkan perhatian yang cukup, mereka mungkin sulit mengembangkan empati dan kepekaan sosial. 

Inilah mengapa orangtua harus lebih aktif dalam menumbuhkan rasa kepedulian pada anak. Dimulai dari hal-hal sederhana seperti mengajarkan anak untuk peduli terhadap perasaan orang lain dan memahami konsekuensi dari tindakan mereka.

Mengajarkan kepedulian bukan hanya tentang kata-kata, tetapi juga tentang contoh nyata. Anak-anak belajar memahami lewat apa yang mereka lihat dan alami di rumah. Oleh karena itu, orangtua perlu menjadi teladan dalam bersikap peduli, baik dalam interaksi sehari-hari di keluarga maupun dalam tindakan yang lebih luas di masyarakat. 

Dengan demikian, anak akan tumbuh dengan nilai-nilai kepedulian yang kuat, yang akan mereka bawa hingga dewasa.

Selain itu, penting bagi keluarga untuk menciptakan lingkungan yang penuh kasih sayang dan dukungan. Ketika anak merasa dicintai dan dihargai, mereka akan lebih mudah untuk mengembangkan sikap empati dan memahami perasaan orang lain. 

Lingkungan yang penuh kasih sayang ini juga memberikan rasa aman bagi anak untuk mengekspresikan diri mereka tanpa takut dihakimi. Yang pada gilirannya akan mendorong mereka untuk menjadi pribadi yang lebih peka dan peduli.

Memang pencegahan sikap "tone deaf" dimulai dari keluarga. Dengan menanamkan nilai-nilai kepedulian sejak dini, kita dapat membangun generasi yang lebih empatik dan bertanggung jawab. 

Keluarga adalah fondasi utama dalam menciptakan masyarakat yang lebih harmonis dan saling peduli, dan setiap orangtua memiliki peran penting dalam proses ini. 

Kita jadikan rumah sebagai tempat pertama dan utama untuk menumbuhkan jiwa kepedulian sosial pada anak-anak kita.

Ilustrasi. (foto Akbar Pitopang)
Ilustrasi. (foto Akbar Pitopang)

Peran Pendidikan Membangun Generasi Peduli

Untuk mencegah maraknya fenomena "tone deaf", peran dunia pendidikan menjadi semakin krusial dalam membangun generasi yang peka dan peduli terhadap sesama. 

Sekolah, sebagai lingkungan kedua setelah keluarga, memiliki tanggung jawab besar dalam menanamkan nilai-nilai kepedulian sosial dan rasa peka sejak dini. 

Guru, sebagai penggerak pendidikan, berperan penting dalam membimbing siswa untuk mengembangkan empati dan kepekaan terhadap orang lain.

Di dalam kelas, kami sebagai guru berupaya menanamkan kepekaan sosial melalui berbagai kegiatan dan interaksi. Misalnya, melalui diskusi, kerja kelompok, dan kegiatan sosial lainnya yang melibatkan siswa serta warga sekolah.

Kami mengajarkan anak didik untuk saling menghargai perbedaan dan memahami perasaan orang lain. Harapannya, nilai-nilai positif yang ditanamkan sejak kecil ini akan menjadi fondasi yang kuat sejak detik itu juga hingga saat mereka dewasa nanti. 

Pendidikan bukan hanya tentang ilmu pengetahuan, tetapi juga tentang memanusiakan manusia. 

Kita adalah makhluk sosial ---atau yang dikenal sebagai zoon politicon--- yang tidak bisa hidup sendiri tanpa bantuan atau kepedulian dari orang lain. 

Mengajarkan kepekaan sosial di sekolah berarti membantu siswa memahami bahwa setiap tindakan memiliki dampak, dan bahwa mereka harus selalu mempertimbangkan perasaan serta kebutuhan orang lain dalam setiap langkah yang diambil.

Guru dan sekolah berperan memandu perjalanan siswa, menunjukkan bahwa kepekaan bukan sekadar kemampuan, tetapi juga bentuk perhatian dan penghormatan terhadap sesama manusia. 

Kami menanamkan kesadaran kepada anak didik bahwa setiap orang memiliki perasaan yang harus dijaga, dan bahwa menjaga perasaan orang lain adalah bentuk nyata dari kepedulian sosial.

Dengan menanamkan nilai-nilai kepedulian sosial di sekolah, kita sedang membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga peka secara emosional. 

Generasi yang akan membawa perubahan positif bagi masyarakat, menjadikan dunia tempat yang lebih baik untuk semua orang. Aamiin..

Mari kita semua berusaha untuk lebih peka dan peduli terhadap perasaan orang lain, karena dengan begitu, kita bukan hanya menciptakan lingkungan yang lebih baik, tetapi juga menjaga keberlanjutan kehidupan sosial kita di masa depan.

Semoga ini bermanfaat.

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun