Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencegah Bahaya "Tone Deaf", Apakah yang Bisa Kita Lakukan?

28 Agustus 2024   14:39 Diperbarui: 28 Agustus 2024   14:42 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Dalam menghadapi tantangan ini, penting bagi kita untuk terus mengingat bahwa kehidupan sosial tidak hanya tentang "aku", tetapi juga tentang "kita". 

Menghindari sikap "tone deaf" berarti kita berupaya menciptakan dunia yang lebih harmonis dan saling mendukung. Dengan demikian, kita dapat membangun masyarakat dengan setiap individu merasa dihargai dan dipahami.

Ilustrasi. (KOMPAS/HERYUNANTO)
Ilustrasi. (KOMPAS/HERYUNANTO)

Menghindari "Flexing" dalam Berekspresi

Di era digital ini, media sosial telah menjadi panggung besar bagi banyak orang untuk menampilkan pencapaian dan kehidupan mereka. Namun, di balik fenomena ini, ada sisi gelap yang tak jarang muncul yaitu kecenderungan "tone deaf" yang didorong oleh kebutuhan atau "haus" akan validasi. 

Banyak orang tanpa sadar terjerumus dalam perilaku "flexing", yaitu pamer tanpa mempertimbangkan perasaan sekitarnya. Ketika dunia maya menjadi ajang pembuktian diri, batasan antara self-reward dan pamer bisa menjadi sangat tipis.

"Flexing" seringkali terjadi karena dorongan untuk mendapatkan pengakuan. Namun, tindakan pamer ini bisa berujung pada ketidakpekaan terhadap situasi yang dialami oleh orang lain. 

Misalnya, di saat banyak orang sedang berjuang menghadapi kesulitan ekonomi, memamerkan kemewahan tanpa mempertimbangkan konteks sosial bisa memicu perasaan tidak nyaman bahkan kecemburuan sosial.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada baiknya kita berhati-hati dalam berbagi prestasi atau kebahagiaan. Self-reward memang penting sebagai bentuk apresiasi terhadap diri sendiri, tetapi bukan berarti kita harus memamerkannya di hadapan publik begitu saja. 

Memang, kita ingin merayakan keberhasilan, tetapi melakukannya dengan cara yang peka terhadap perasaan orang lain adalah hal yang jauh lebih bermartabat.

Untuk menghindari sikap "tone deaf", penting bagi kita untuk selalu mempertimbangkan bagaimana unggahan kita. Alih-alih fokus pada pamer pencapaian diri, kita bisa memanfaatkan media sosial untuk berbagi hal-hal yang lebih bermakna dan inspiratif. 

Misalnya, berbagi kisah perjuangan di balik kesuksesan, atau memberikan dukungan kepada mereka yang sedang berjuang, maka dapat memberikan dampak positif yang lebih luas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun