Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Mencegah Bahaya "Tone Deaf", Apakah yang Bisa Kita Lakukan?

28 Agustus 2024   14:39 Diperbarui: 28 Agustus 2024   14:42 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi. (KOMPAS/AGUS SUSANTO)

Di tengah derasnya arus informasi dan interaksi di era digital, istilah "tone deaf" menjadi sorotan. Istilah ini kembali mencuat ketika beberapa tindakan anak pejabat dianggap tidak peka terhadap situasi kritis di tanah air. "Tone deaf" bukan hanya sebuah frasa, tetapi juga representasi dari sikap yang kurang empati dan gagal membaca perasaan orang lain. Fenomena ini sebenarnya bukan hal baru, tetapi di zaman yang serba cepat ini, dampaknya terasa semakin signifikan.

Di media sosial, perilaku "tone deaf" bisa dengan cepat menjadi viral dan menuai kritik. Ini menunjukkan betapa pentingnya kita untuk lebih berhati-hati dalam bersikap dan bertutur kata. 

Ketidakpekaan ini, meski mungkin tidak disengaja, bisa menyinggung banyak orang dan menimbulkan reaksi negatif. Dalam dunia yang terhubung media sosial seperti sekarang, satu komentar atau tindakan yang tidak tepat bisa tersebar luas dalam hitungan detik menimbulkan dampak yang jauh lebih besar daripada yang dibayangkan.

Pada dasarnya, "tone deaf" adalah cerminan dari kurangnya kepedulian sosial. Di tengah kehidupan modern yang kerap mendorong sikap individualisme, kepedulian sosial justru menjadi semakin penting. 

Sikap yang hanya mementingkan diri sendiri tanpa memperhatikan keadaan sekitar dapat merusak harmoni dalam masyarakat. Inilah yang membuat kita perlu menyeimbangkan kebutuhan pribadi dengan kepedulian terhadap orang lain.

Kepedulian sosial bukan sekadar sebuah nilai kuno yang ketinggalan zaman, melainkan fondasi bagi kehidupan yang lebih bermakna dan berkelanjutan. 

Ketika kita peka terhadap perasaan orang lain, kita tidak hanya menciptakan lingkungan yang lebih nyaman, tetapi juga memperkuat ikatan sosial. 

Sikap ini juga membantu menghindarkan kita dari konflik yang mungkin timbul karena ketidaksepahaman.

Tantangan modernitas memang bisa membuat kita cenderung bersikap individualis. Namun, ini bukanlah alasan untuk melupakan esensi kepedulian terhadap sesama. 

Dalam konteks kehidupan sosial yang semakin kompleks, kemampuan untuk membaca situasi dan berempati menjadi keterampilan yang sangat berharga. 

Kita harus berusaha untuk selalu peka dan tidak mengabaikan perasaan orang lain, terutama dalam situasi yang penuh dengan sensitivitas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun