Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membaca Ulang Akreditasi, Apakah Menjamin Mutu dan Kualitas Pendidikan?

21 Agustus 2024   08:17 Diperbarui: 31 Agustus 2024   00:03 411
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Baru-baru ini, kami menerima pemberitahuan bahwa sekolah kami kembali memperoleh akreditasi A. Sebuah kabar yang tentu saja menggembirakan. 

Di balik itu ada secuil pertanyaan mengenai bagaimana bisa nilai akreditasi ini muncul tanpa adanya kunjungan tim asesor seperti yang biasa dilakukan. 

Pengalaman tahun 2019 mengingatkan kami pada proses penilaian akreditasi, dimana setiap sudut sekolah diperiksa, setiap berkas diteliti, dan setiap praktik pembelajaran dievaluasi. 

Kemajuan teknologi dan perubahan regulasi mungkin telah mengubah cara menilai kualitas pendidikan. Tapi, apakah dengan cara demikian penilaian ini bisa benar-benar merefleksikan kondisi riil di satuan pendidikan? 

Akreditasi bukan sekadar angka, tapi seharusnya menjadi cermin yang memantulkan sejauh mana kualitas pendidikan yang diupayakan oleh sekolah. Dalam konteks ini, meski nilai akreditasi sudah dipublikasikan tetap bisa menjadi sinyal bahwa mungkin ada hal-hal yang terlewatkan dalam penilaian ini.

Sebagai pendidik, saya percaya bahwa akreditasi seharusnya menjadi proses yang tidak hanya menilai, tapi juga memberikan feedback konstruktif untuk perbaikan. Di tengah tuntutan dan tantangan pendidikan yang semakin kompleks, kita membutuhkan evaluasi yang komprehensif. 

Tidak hanya mengandalkan data digital semata, tetapi juga memahami kebutuhan spesifik dari satuan pendidikan. Mungkin ada elemen-elemen penting yang tidak terdeteksi, yang pada akhirnya bisa mempengaruhi hasil akhir penilaian.

Kembali pada nilai akreditasi yang kami terima, meskipun ini adalah hasil yang patut disyukuri, saya merasa perlu ada langkah-langkah lebih lanjut. 

Pertama, perlu dikaji ulang indikator-indikator yang digunakan dalam penilaian. Dan kedua, juga perlu memastikan bahwa penilaian tersebut benar-benar mencerminkan kondisi nyata di lapangan. Jangan sampai kita terlena dengan angka, sementara realita di lapangan menunjukkan kisah yang berbeda.

Nah, akreditasi bukanlah tujuan akhir melainkan langkah awal menuju peningkatan kualitas pendidikan yang berkelanjutan. Jadikan nilai akreditasi ini sebagai motivasi untuk terus bergerak maju, melakukan perbaikan, dan memberikan yang terbaik untuk peserta didik. 

Biarlah nilai akreditasi menjadi refleksi dari apa yang benar-benar terjadi di sekolah, dan bukan sekadar angka yang terpampang di dinding sekolah.

Mengkaji Bagaimana Akreditasi dan Dampaknya bagi Sekolah

Proses penentuan nilai akreditasi sekolah kerap menjadi misteri yang sulit dijelaskan secara sederhana. Dengan banyaknya indikator yang harus dipenuhi, maka seringkali muncul pertanyaan seberapa besar peran ketersediaan fasilitas dalam menentukan nilai akhir.

Dalam pandangan saya, fasilitas sekolah seperti perpustakaan, laboratorium, mushola, hingga jumlah ruang kelas yang memadai, merupakan indikator penting yang seharusnya tak bisa diabaikan. 

Namun, ketika melihat kenyataan di lapangan, sekolah kami justru menghadapi tantangan besar dalam hal ini. 

Ketiadaan perpustakaan, mushola, laboratorium, dan kekurangan ruang kelas menjadi hal yang nyata di sekolah kami. Dengan 12 rombongan belajar (rombel), kami seharusnya memiliki fasilitas ruang kelas yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar. 

Herannya, justru di tengah keterbatasan ini, sekolah kami masih bisa mendapatkan nilai akreditasi A. 

Apakah ini berarti bahwa ketersediaan fasilitas tak lagi menjadi penentu utama dalam proses akreditasi? Ataukah ada faktor lain yang lebih dominan yang membuat kekurangan fasilitas ini seolah "tertutupi"?

Kenyataan ini mengusik saya untuk bertanya lebih dalam tentang validitas penilaian akreditasi. Di satu sisi, kita memahami bahwa pendidikan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga kualitas pengajaran, kurikulum, dan hasil belajar siswa. 

Namun, bagaimana mungkin sebuah sekolah tanpa perpustakaan, mushola, atau laboratorium bisa mendapatkan nilai akreditasi tertinggi? Bukankah fasilitas-fasilitas tersebut adalah elemen dasar yang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, komprehensif demi terwujudnya proses belajar secara efektif?

Di sinilah keraguan itu muncul. Ketika fasilitas yang menjadi kebutuhan dasar tidak tersedia, apakah kita masih bisa mengklaim bahwa sekolah tersebut layak mendapatkan akreditasi A? 

Saya lebih setuju bila nilai akreditasi seharusnya mencerminkan kondisi nyata di sekolah. Kekurangan fasilitas yang krusial seperti ini seharusnya menjadi catatan penting yang mempengaruhi nilai akreditasi yang akan diterima.

Pertanyaan ini tidak hanya soal angka, tapi tentang bagaimana kita memahami dan menilai kualitas pendidikan secara holistik. Jika fasilitas-fasilitas penting tak tersedia, layakkah sekolah berpuas diri dengan nilai akreditasi A tersebut? 

Atau justru ini menjadi momentum untuk bercermin, untuk memastikan bahwa pendidikan benar-benar memenuhi standar yang layak dalam praktik nyata.

Refleksi untuk Sekolah Terakreditasi A, Apakah Sudah "Sempurna"?

Mendapatkan nilai akreditasi A adalah pencapaian yang patut diapresiasi. Namun, apakah ini berarti sekolah-sekolah tersebut sudah sempurna dalam segala hal, khususnya dari segi fasilitas? 

Dalam keyakinan bersama, nilai A seringkali dianggap sebagai simbol kesempurnaan, padahal di balik angka tersebut bisa saja terdapat kekurangan yang tampak jelas terlihat maupun secara tak kasat mata. 

Jika kita melihat lebih dalam, ternyata tidak semua sekolah dengan akreditasi A memiliki fasilitas yang memadai. 

Lalu, nilai yang tinggi ini justru bisa menjadi bumerang ketika sekolah tersebut mengajukan bantuan sarana prasarana.

Ada anggapan bahwa sekolah dengan akreditasi A dianggap sudah "cukup baik", sehingga tidak lagi menjadi prioritas untuk menerima bantuan. Padahal, tidak semua sekolah terakreditasi A memiliki infrastruktur yang ideal. 

Di satu sisi, nilai A adalah pengakuan atas kualitas pendidikan yang baik. Padahal di sisi lain, ini bisa menutup pintu bagi sekolah-sekolah yang sebenarnya masih sangat membutuhkan dukungan, terutama dalam hal fasilitas.

Cerita yang pernah saya dengar tentang sekolah yang tidak lolos pengajuan bantuan sarpras karena sudah terakreditasi A. Pemerintah dan pihak terkait perlu mempertimbangkan aspek lain, seperti kondisi nyata di lapangan, sebelum menetapkan prioritas dalam pemberian bantuan. 

Nilai A memang membanggakan, tetapi jika itu menghalangi sekolah mendapatkan apa yang sebenarnya dibutuhkan, mungkin sudah saatnya sekolah memikirkan ulang arti dari nilai akreditasi itu sendiri.

Maka, sekolah yang memperoleh nilai akreditasi A perlu menyadari bahwa nilai tersebut bukanlah akhir dari segalanya. Justru, ini bisa menjadi tantangan, khususnya dalam mengakses bantuan yang diperlukan untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan. 

Sekolah harus lebih bijak dalam memaknai akreditasi, bukan hanya sebagai pencapaian, tetapi juga sebagai refleksi dari apa yang masih perlu diperbaiki.

Pentingnya Ketersediaan Fasilitas dalam Menunjang Kualitas Pembelajaran

Ketersediaan fasilitas sekolah atau sarana prasarana (sarpras) adalah elemen yang tak bisa dianggap remeh dalam menunjang kualitas proses dan hasil pembelajaran. Bayangkan sebuah sekolah tanpa perpustakaan, laboratorium, atau ruang kelas yang memadai. 

Bagaimana kita bisa berharap siswa mencapai potensi terbaiknya jika mereka tidak memiliki akses ke fasilitas yang mendukung pembelajaran? 

Misalnya, keberadaan perpustakaan di sekolah bukan hanya sekedar tempat penyimpanan buku, tetapi juga menjadi wadah peningkatan kemampuan literasi siswa, membuka wawasan yang lebih luas.

Kondisi ruang kelas yang memadai juga memainkan peran krusial dalam menciptakan lingkungan belajar yang kondusif. Dengan jumlah kelas yang cukup, proses pembelajaran bisa berjalan lebih efektif tanpa harus mengorbankan alokasi waktu karena keterbatasan ruang. 

Ketika fasilitas-fasilitas utama seperti ini tidak tersedia, dampaknya bisa dirasakan langsung dalam proses belajar mengajar. Siswa mungkin jadi kurang fokus, guru pun menghadapi tantangan dalam menerapkan metode pembelajaran yang ideal. 

Ini semua adalah gambaran nyata bahwa fasilitas dasar adalah fondasi dari kualitas pendidikan yang harus diperhatikan dengan serius.

Maka dari itu, penilaian akreditasi seharusnya lebih peka terhadap kondisi nyata ketersediaan fasilitas utama di sekolah. Tidak pantas rasanya jika sebuah sekolah mendapatkan nilai akreditasi tinggi sementara fasilitas yang tersedia jauh dari standar yang ideal. 

Akreditasi mestinya mencerminkan tidak hanya kualitas pengajaran, tetapi juga dukungan infrastruktur yang tersedia untuk mendukung proses tersebut. 

Dengan mempertimbangkan kondisi nyata dari sarpras, penilaian akreditasi bisa menjadi lebih relevan dan adil. Ini tidak hanya memberikan pengakuan terhadap usaha yang sudah dilakukan sekolah, tetapi juga mendorong peningkatan fasilitas yang memang dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. 

Fasilitas yang memadai adalah prasyarat bagi terciptanya lingkungan belajar dan pembelajaran menyenangkan. Ketika fasilitas dasar cukup tersedia, guru dan siswa dapat fokus pada proses pembelajaran tanpa harus terganggu oleh keterbatasan fisik. 

Oleh sebab itu, penting bagi pihak yang berwenang untuk mempertimbangkan kondisi nyata fasilitas sekolah dalam memutuskan hasil penilaian akreditasi. Jangan sampai sekolah yang memiliki kekurangan fasilitas tetapi tetap berusaha keras untuk memberikan pendidikan terbaik. 

Situasi dan kondisi pendidikan saat ini sangat dinamis. Perubahan kebijakan, perkembangan teknologi, hingga kondisi psikologis peserta didik dan tenaga pendidik, semuanya berperan dalam membentuk kualitas pendidikan di suatu sekolah. 

Maka, penilaian akreditasi seharusnya menjadi alat refleksi untuk terus berinovasi dan beradaptasi dengan perubahan zaman, sambil tetap menjaga esensi pendidikan yang humanis.

Fasilitas yang memadai adalah hak setiap siswa, dan penilaian akreditasi harus berfungsi sebagai pengingat bahwa kualitas pendidikan yang sesungguhnya tercermin dari sejauh mana kita mampu menyediakan lingkungan belajar yang optimal.

Akreditasi harus menjadi cermin yang benar-benar merefleksikan kualitas pendidikan di suatu sekolah, termasuk ketersediaan fasilitasnya. Dengan memperhatikan aspek sarpras, setiap sekolah memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan memberikan pendidikan terbaik bagi generasi penerus bangsa.

Semoga ini bermanfaat..

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun