Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Membaca Ulang Akreditasi, Apakah Menjamin Mutu dan Kualitas Pendidikan?

21 Agustus 2024   08:17 Diperbarui: 21 Agustus 2024   11:55 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi-Guru memantau siswa belajar di SDN Randu 01, Kecamatan Pecalungan, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, Selasa (9/3/2021) | KOMPAS/KRISTI DWI UTAMI

Proses penentuan nilai akreditasi sekolah kerap menjadi misteri yang sulit dijelaskan secara sederhana. Dengan banyaknya indikator yang harus dipenuhi, maka seringkali muncul pertanyaan seberapa besar peran ketersediaan fasilitas dalam menentukan nilai akhir.

Dalam pandangan saya, fasilitas sekolah seperti perpustakaan, laboratorium, mushola, hingga jumlah ruang kelas yang memadai, merupakan indikator penting yang seharusnya tak bisa diabaikan. 

Namun, ketika melihat kenyataan di lapangan, sekolah kami justru menghadapi tantangan besar dalam hal ini. 

Ketiadaan perpustakaan, mushola, laboratorium, dan kekurangan ruang kelas menjadi hal yang nyata di sekolah kami. Dengan 12 rombongan belajar (rombel), kami seharusnya memiliki fasilitas ruang kelas yang memadai untuk mendukung proses belajar mengajar. 

Herannya, justru di tengah keterbatasan ini, sekolah kami masih bisa mendapatkan nilai akreditasi A. 

Apakah ini berarti bahwa ketersediaan fasilitas tak lagi menjadi penentu utama dalam proses akreditasi? Ataukah ada faktor lain yang lebih dominan yang membuat kekurangan fasilitas ini seolah "tertutupi"?

Kenyataan ini mengusik saya untuk bertanya lebih dalam tentang validitas penilaian akreditasi. Di satu sisi, kita memahami bahwa pendidikan bukan hanya soal infrastruktur, tetapi juga kualitas pengajaran, kurikulum, dan hasil belajar siswa. 

Namun, bagaimana mungkin sebuah sekolah tanpa perpustakaan, mushola, atau laboratorium bisa mendapatkan nilai akreditasi tertinggi? Bukankah fasilitas-fasilitas tersebut adalah elemen dasar yang mendukung terciptanya lingkungan belajar yang kondusif, komprehensif demi terwujudnya proses belajar secara efektif?

Di sinilah keraguan itu muncul. Ketika fasilitas yang menjadi kebutuhan dasar tidak tersedia, apakah kita masih bisa mengklaim bahwa sekolah tersebut layak mendapatkan akreditasi A? 

Saya lebih setuju bila nilai akreditasi seharusnya mencerminkan kondisi nyata di sekolah. Kekurangan fasilitas yang krusial seperti ini seharusnya menjadi catatan penting yang mempengaruhi nilai akreditasi yang akan diterima.

Pertanyaan ini tidak hanya soal angka, tapi tentang bagaimana kita memahami dan menilai kualitas pendidikan secara holistik. Jika fasilitas-fasilitas penting tak tersedia, layakkah sekolah berpuas diri dengan nilai akreditasi A tersebut? 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun