Komentar-komentar tersebut tidak hanya mengomentari penampilan, tetapi juga seringkali mengundang perdebatan dengan pendukung paslon lainnya.
Mengakses media sosial kadang membuat kita merasa heran, miris, dan prihatin melihat perdebatan di dunia maya yang semakin "menjadi-jadi".Â
Fenomena "debat kusir" yang dilakukan oleh para pendukung paslon terkadang tidak hanya terfokus pada substansi permasalahan, melainkan lebih kepada serangan pribadi, hinaan, dan bahkan provokasi.Â
Hal ini menciptakan atmosfer yang kurang kondusif untuk mendiskusikan gagasan dan solusi konstruktif. Lantaran semuanya tidak ada yang mau kalah dan mengalah.
Sesi debat yang awalnya menjadi sarana diskusi dan pertukaran pandangan, kini semakin meluas dan melebar ke kolom komentar sebuah postingan di media sosial.Â
Sayangnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam perdebatan ini kurang memiliki literasi yang memadai, gagasan yang mendalam, dan dasar argumentasi yang komprehensif.Â
Sehingga ini hanya menggambarkan citra media sosial di Indonesia sebagai arena berdebat yang penuh emosi dan kurang mendukung pembangunan pemahaman yang lebih baik.
Penting bagi kita sebagai pengguna media sosial untuk tetap menjaga etika dalam berdebat. Dengan saling menghormati perbedaan pendapat, dan fokus pada substansi isu yang diangkat.Â
Sebuah diskusi (baca: debat capres-cawapres) yang konstruktif dapat membantu masyarakat memahami lebih baik ideologi dan rencana kerja setiap paslon.Â
Dengan memperkuat literasi dan kesadaran akan etika berdiskusi, kita dapat menciptakan ruang debat yang lebih produktif dan bermakna, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.
Hendaknya dan sebaiknya memang demikian. Apakah Anda setuju?