Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Bekali Siswa Keterampilan Debat Perspektif Kurikulum Merdeka

9 Januari 2024   17:01 Diperbarui: 10 Januari 2024   01:43 812
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi- Kegiatan belajar sejumlah siswa Sekolah Dasar (SD) Negeri 04 Tegal, Kecamatan Kemang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. (Warta Kota/Alex Suban)

Suasana perpolitikan di sekitar kita kini semakin memanas seiring dengan sengitnya serangkaian debat yang diinisiasi oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Debat ini menjadi panggung bagi calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) untuk menunjukkan kekuatan visi-misi mereka, sekaligus mengukur kecakapan komunikasi interpersonal dan intrapersonal. 

Para pemilih, sebagai penentu arah masa depan bangsa, memiliki tanggung jawab untuk menganalisis dan membangun keyakinan serta pandangan terhadap calon pemimpin yang akan dipilih pada Pemilu 2024.

Debat capres dan cawapres bukan hanya sekadar pertarungan gagasan politik, melainkan juga arena di mana kemampuan membawakan diri dengan baik dan bijaksana menjadi penentu kredibilitas. 

KPU berperan sebagai fasilitator, memberikan panggung bagi para kandidat untuk menjelaskan pandangan mereka terkait isu-isu krusial yang akan membentuk wajah Indonesia ke depan. 

Dalam suasana yang memanas ini, kita sebagai "pemilih" dihadapkan pada tugas krusial untuk memilah dan menganalisis setiap argumen yang disajikan.

Fenomena ini tidak hanya menciptakan ketegangan di kalangan para capres dan cawapres, tetapi juga mengundang perhatian dari berbagai kalangan masyarakat. 

Sebagian menghadapinya dengan sikap santai, menanggapinya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari dinamika demokrasi. Namun, di sisi lain ada pula yang terlibat secara aktif dalam diskusi dan bahkan berdebat dengan sesama warga negara.

Kegiatan diskusi kelompok dalam dinamika pembelajaran berdiferensiasi pada Kurikulum Merdeka. (foto Akbar Pitopang)
Kegiatan diskusi kelompok dalam dinamika pembelajaran berdiferensiasi pada Kurikulum Merdeka. (foto Akbar Pitopang)

Uniknya, fenomena ini tak hanya menciptakan perbedaan pandangan politik, melainkan juga mampu mengubah dinamika hubungan personal. Mereka yang awalnya berteman baik bisa berubah menjadi lawan dalam sebuah perdebatan sengit hanya karena perbedaan pilihan capres dan cawapres. 

Dinamika ini mencerminkan sejauh mana politik mampu mempengaruhi dan membentuk relasi personal di tengah-tengah masyarakat.

Penting bagi kita sebagai pemilih untuk tetap mempertahankan sikap bijak dalam menghadapi fenomena ini. 

Masing-masing calon memiliki visi dan misi yang berbeda, dan sebagai pemilih, kita memiliki hak untuk memilih berdasarkan keyakinan dan pemahaman pribadi, namun tetap menghargai pandangan dan pilihan orang lain tanpa harus memperdebatkannya.

Melalui analisis yang cermat, kita dapat membangun pandangan yang kuat terhadap capres dan cawapres yang dianggap mampu membawa Indonesia ke arah yang lebih baik.

Sebagai pemilih, mari kita tetap memelihara kerukunan dan kehidupan sosial di tengah perbedaan pandangan politik. 

Pemilu 2024 bukan hanya soal memilih pemimpin, tetapi juga meneguhkan nilai-nilai demokrasi dan pluralisme dalam bingkai persatuan bangsa sebagai prinsip dalam NKRI.

Debat capres ketiga. (Foto: Kompas.com/Rony Ariyanto Nugroho)
Debat capres ketiga. (Foto: Kompas.com/Rony Ariyanto Nugroho)

Fenomena debat dalam berbagai ruang publik dan warganet

Sementara perdebatan sengit antara capres dan cawapres berlangsung di atas panggung KPU, dunia maya atau media sosial juga menjadi panggung "debat kusir" antar pendukung setiap pasangan calon. 

Setiap postingan terkait penampilan dalam debat capres dan cawapres tak luput dari ribuan komentar yang isinya mengajak untuk ikut berdebat. Itulah yang membuatnya mencolok yakni intensitas perdebatan yang terjadi di antara pendukung paslon.

Pendukung setiap paslon memiliki caranya sendiri dalam menyikapi penampilan capres dan cawapres kesayangannya. 

Ada yang merespon dengan sikap santai dan bijak, namun sayangnya ramai pula yang terlibat dalam perdebatan sengit dan tak berkesudahan. 

Komentar-komentar tersebut tidak hanya mengomentari penampilan, tetapi juga seringkali mengundang perdebatan dengan pendukung paslon lainnya.

Mengakses media sosial kadang membuat kita merasa heran, miris, dan prihatin melihat perdebatan di dunia maya yang semakin "menjadi-jadi". 

Fenomena "debat kusir" yang dilakukan oleh para pendukung paslon terkadang tidak hanya terfokus pada substansi permasalahan, melainkan lebih kepada serangan pribadi, hinaan, dan bahkan provokasi. 

Hal ini menciptakan atmosfer yang kurang kondusif untuk mendiskusikan gagasan dan solusi konstruktif. Lantaran semuanya tidak ada yang mau kalah dan mengalah.

Sesi debat yang awalnya menjadi sarana diskusi dan pertukaran pandangan, kini semakin meluas dan melebar ke kolom komentar sebuah postingan di media sosial. 

Sayangnya, banyak dari mereka yang terlibat dalam perdebatan ini kurang memiliki literasi yang memadai, gagasan yang mendalam, dan dasar argumentasi yang komprehensif. 

Sehingga ini hanya menggambarkan citra media sosial di Indonesia sebagai arena berdebat yang penuh emosi dan kurang mendukung pembangunan pemahaman yang lebih baik.

Penting bagi kita sebagai pengguna media sosial untuk tetap menjaga etika dalam berdebat. Dengan saling menghormati perbedaan pendapat, dan fokus pada substansi isu yang diangkat. 

Sebuah diskusi (baca: debat capres-cawapres) yang konstruktif dapat membantu masyarakat memahami lebih baik ideologi dan rencana kerja setiap paslon. 

Dengan memperkuat literasi dan kesadaran akan etika berdiskusi, kita dapat menciptakan ruang debat yang lebih produktif dan bermakna, baik di dunia maya maupun di dunia nyata.

Hendaknya dan sebaiknya memang demikian. Apakah Anda setuju?

Upaya membangun generasi yang menghargai perbedaan demi keutuhan bangsa dan negara. (foto Akbar Pitopang)
Upaya membangun generasi yang menghargai perbedaan demi keutuhan bangsa dan negara. (foto Akbar Pitopang)

Mendidik keterampilan debat lewat konteks pendidikan

Fenomena debat capres-cawapres dan perdebatan sengit di dunia maya menjadi pemicu bagi dunia pendidikan untuk memberikan perhatian ekstra terhadap pengembangan keterampilan debat bagi para anak didik. 

Pendidikan bukan hanya tentang pengetahuan, tetapi juga memasukkan aspek keterampilan sosial yang mampu membekali generasi penerus dengan kemampuan menghadapi perbedaan pandangan.

Kemampuan berdebat merupakan suatu keahlian yang krusial dalam menghadapi dunia yang penuh dengan keragaman pemikiran dan pandangan.

Anak didik perlu diajarkan bukan hanya bagaimana menyampaikan argumen dengan jelas dan logis, tetapi juga bagaimana mendengarkan dengan penuh perhatian dan menghargai pendapat orang lain. 

Keterampilan ini tak hanya bermanfaat dalam ruang kelas, tetapi juga dalam kehidupan sehari-hari dan masa depan mereka sebagai warga negara Indonesia yang baik.

Dunia ini dipenuhi dengan manusia yang memiliki pandangan dan cara pemikiran yang beragam. Oleh karena itu, anak didik perlu memahami bahwa argumen dan tanggapan setiap orang akan berbeda, dan tidak bisa dipaksakan untuk diterima oleh orang lain. 

Melalui pendidikan debat atau sesi diskusi kelompok di kelas, mereka dapat belajar untuk memahami sudut pandang yang berbeda dan merespons dengan bijaksana.

Karena tak jarang kita menyaksikan debat yang berujung pada konflik, permusuhan, bahkan peperangan. 

Hal ini mendorong kita untuk merenung, mengapa suatu debat bisa berakhir dengan "kekerasan"? Jawabannya terletak pada kurangnya pemahaman, toleransi, dan keterampilan komunikasi. 

Pendidikan debat dapat menjadi solusi untuk meminimalkan risiko tersebut dengan membekali generasi muda dengan keahlian menyelesaikan perbedaan (problem solving) secara konstruktif.

Sebagai bagian dari kurikulum pendidikan, pengembangan keterampilan debat dapat membentuk karakter siswa yang kritis, terbuka terhadap perbedaan, dan mampu membangun solusi bersama. 

Dengan demikian, generasi penerus dapat menjadi agen perubahan positif dalam masyarakat, mencegah konflik dengan inisiasi dialog, dan membangun fondasi untuk masyarakat yang lebih harmonis di masa depan.

Dalam era Kurikulum Merdeka yang diterapkan di sekolah-sekolah saat ini, Profil Pelajar Pancasila dengan enam dimensinya memberikan landasan penting untuk membentuk karakter siswa yang mampu berdebat dengan bijak. 

Tiga dimensi yang khususnya relevan untuk kemampuan berdebat yang sehat adalah bergotong-royong, berkebhinekaan global, dan bernalar kritis.

Dimensi bergotong-royong mengajarkan siswa pentingnya bekerja sama dan saling mendukung, bahkan dalam perbedaan pendapat. 

Berkebinekaan global membuka wawasan mereka terhadap keberagaman budaya dan pemikiran di seluruh dunia.

Sedangkan bernalar kritis membantu mereka mengembangkan kemampuan analisis dan evaluasi yang diperlukan dalam sebuah debat.

Dalam proses pembelajaran berdiferensiasi, diskusi kelompok menjadi wadah yang sangat relevan dalam membentuk karakter siswa yang mampu berdebat dengan etika dan adab. 

Diskusi kelompok mendorong siswa untuk saling mendengarkan, menghormati perbedaan pendapat, dan mencari solusi bersama. Ini tidak hanya melatih keterampilan komunikasi, tetapi juga membentuk sikap bijak dan toleransi terhadap perbedaan.

Para pendidik harus memandang diskusi kelompok sebagai kegiatan pembelajaran yang memiliki tujuan dan manfaat jangka panjang. Guru memiliki peran penting dalam mempersiapkan anak didik menjadi generasi yang siap menerima segala perbedaan dan mampu berdebat dengan cara yang santun dan arif bijaksana. 

Hal ini menjadi kunci agar perselisihan tidak berkembang menjadi konflik yang merugikan masyarakat.

Dalam konteks ini, prinsip "Bhineka Tunggal Ika" harus menjadi dasar yang dipegang teguh oleh setiap manusia Indonesia. 

Melalui Kurikulum Merdeka dengan konsep pendidikan yang berfokus pada keberagaman, kita bercita-cita supaya generasi muda yang bertanggung jawab dan penuh etika dalam berdebat.

Serta (hendaknya) dapat membawa Indonesia menuju masa depan yang lebih harmonis, bersatu, tanpa terjerat dalam perselisihan yang hanya membawa kerugian semata. 

*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun