Dengan berbagai dinamika dan keunggulan yang dimiliki oleh negara ini maka kehidupan berumah tangga masyarakatnya pun sangat dinamis.
Kearifan lokal berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat dijadikan sebagai penangkal terjadinya resesi seks.
Nah, begitu pula dengan budaya Minangkabau yang memiliki rumus untuk mengantarkan masyarakatnya dapat berpegang dengan meneguhkan hati tentang kodrat manusia yakni menikah, berkeluarga dan memiliki keturunan.
Apa saja kearifan lokal atau local wisdom ala adat Minangkabau sebagai penangkal resesi seks?
1. Santuang Palalai
Dalam kehidupan pergaulan, para kaum muda minang cukup familiar dengan istilah yang satu ini. Santuang Palalai, adalah sesuatu yang menjadi ungkapan masyarakat Minangkabau jika seseorang masih belum menikah di usia yang sudah layak dari segala aspek untuk membina rumah tangga.
Jika ada salah seorang teman yang menurut sepintas pandangan secara kasat mata seharusnya sudah berkeluarga namun ternyata masih menjomblo maka para temanya akan membercandainya untuk berhati-hati agar tidak terkena "santuang palalai".
Santuang palalai akan menjadi momok yang menakutkan bagi para generasi muda yang sebenarnya sudah siap menyongsong kehidupan baru untuk mengakhiri masa bujangan.
Menurut literasi yang saya baca bahwa katanya santuang palalai ini merupakan ilmu hitam yang dikirim oleh seseorang karena kecewa atas penolakan atau pembatalan pernikahan. Sehingga orang yang dikirimi santuang palalai ini akan kesulitan memperoleh jodoh.Â
Kesulitan memperoleh jodoh secara sederhananya dapat dipahami bahwa ketika ia menyukai seseorang tapi akhirnya ia ditolak, sebaliknya ketika ada orang lain yang menyukainya malah dia yang merasa ilfeel dengannya.
Dapat pula dipahami bahwa akan sulit ditemui kata cocok dan pintu jodoh yang selalu akan tertutup untuknya.
Mungkin dulu kisahnya seperti itu. Namun, di era digital seperti masa sekarang ini bahwa santuang palalai berubah menjadi guyonan sekaligus ancaman bagi mereka yang enggan menikah karena berbagai alasan yang mengada-ada.