Dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja tetap menuai polemik dan kontra di berbagai kalangan terutama bagi para pekerja.
Perppu Cipta Kerja ini dianggap isinya sama saja seperti UU Cipta Kerja yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Sungguh, kita benar-benar memulai tahun 2023 ini dengan nuansa yang kelam. Walau pemerintah berdalih bahwa Perppu Cipta Kerja ini diperlukan guna mempercepat antisipasi terhadap kondisi global baik yang terkait ekonomi maupun krisis pangan, energi, keuangan, dan perubahan iklim yang tengah dihadapi oleh semua negara.
Namun demikian, Perppu Cipta Kerja ini tetap belum mampu mengakomodir kepentingan para pekerja Indonesia. Karena dinilai hanya untuk memuluskan kepentingan para pemodal.
Kembali ke pasal 1 ala pengusaha dan penguasa, tetap saja rakyat kecil sebagai para pekerja yang menanggung beratnya beban dan tekanan yang harus dijalani.
Dampak pemberlakuan Perppu Cipta Kerja mulai dirasakan tenaga kesehatan
Khususnya bagi tenaga kesehatan yang bekerja di rumah sakit atau instansi swasta sebagaimana yang dirasakan oleh orang terdekat saya sendiri.
Melalui sharing session alias sesi curhat kami kemarin, diketahui bahwa kondisi yang dialami saat ini di rumah sakit tempat ia bekerja sudah sangat meresahkan.
Tidak hanya beliau yang mengeluhkan beratnya tantangan yang kini dihadapi di tempat kerja, melainkan hampir seluruh rekan kerjanya juga mengeluhkan hal yang sama.
Polemik tentang Perpu Cipta Kerja Perpu Cipta Kerja yang disoroti yakni soal pasal-pasal yang mengatur waktu kerja.Â
Dalam salinannya tertulis bahwa (2) Waktu kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1)Â meliputi:
a. 7 (tujuh) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 6 (enam)Â hari kerja dalam 1 (satu) minggu; atau
b. 8 (delapan) jam 1 (satu) hari dan 40 (empat puluh) jam 1 (satu) minggu untuk 5 (lima) hari kerja dalam 1 (satu) minggu.
Sungguh agak mengenaskan dan benar-benar seperti pekerja robot sebagaimana yang diterangkan oleh rekan Kompasianer terdahulu.
Salah satu yang jelas tampak adalah sistem 6 hari kerja dan hanya 1 hari libur dalam masa seminggu kerja.
Selama ini beliau biasa memperoleh libur selama 2 hari --- sebenarnya tidak genap 2 hari --- dalam seminggu.
Libur dua hari kerja tersebut ia peroleh setelah melakukan dinas/shift malam selama 2 hari berturut-turut.
Dua hari libur tersebut dimulai pada hari kedua dinas malam --- pulang pagi di hari kedua tersebut --- hingga hari berikutnya.
Dua hari yang dimaksud tersebut selama ini digunakan beliau untuk beristirahat dan pemulihan tenaga dan kondisi jiwa-raga pasca aktivitas begadang akibat dinas malam yang sungguh sangat melelahkan.
Namun, beberapa waktu yang lalu rumah sakit tempat beliau bekerja telah memberlakukan libur hanya 1 hari dalam seminggu kerja sebagaimana yang diterangkan dalam Perppu Cipta Kerja.
Itu artinya setelah 2 hari secara berturut-turut bertugas di malam hari, lalu di hari kedua dinas malam dan pulang pada pagi harinya, hanya dapat digunakan untuk tidur dan beristirahat seharian.
Sedangkan di hari berikutnya beliau sudah mendapatkan jadwal untuk masuk kerja kembali.
Kondisi tersebut dirasakan sangat melelahkan dan sebenarnya sangat berat untuk dijalani oleh para tenaga kesehatan.
Selain itu, hal lain yang dirasakan oleh para tenaga kesehatan adalah berkurang atau bahkan tidak adanya pemberian bonus seperti yang dilakukan selama ini.
Padahal pasien selalu ramai yang menunjukkan beban kerja yang sangat tinggi pula.
Semestinya ada bonus penghasilan yang diterima oleh para tenaga kesehatan namun yang terjadi adalah sebaliknya.
Begitu pula dengan tunjangan biaya anak sekolah dan tunjangan lainnya yang dulu rutin diberikan, namun belakangan tidak lagi diberikan kepada karyawan rumah sakit swasta tersebut.
Terkesan ada saja cara untuk mempermainkan batin karyawannya. Semisal pihak rumah sakit menyampaikan bahwa bonus tetap akan diberikan namun berbagai syarat yang terkadang pada akhirnya bonus tidak jadi diberikan kepada karyawan.
Bekerja bagai kuda ala Perppu Cipta Kerja
Apa yang dialami oleh para tenaga kesehatan di rumah sakit swasta tersebut sudah bisa dikatakan bahwa mereka layaknya bekerja bagai kuda.
Hanya tenaga, jiwa dan raga yang terforsir untuk bekerja sepanjang waktu sedangkan pendapatan yang diterima tidak sebanding dengan apa yang telah dikorbankan selama ini.
Beban kerja semakin bertambah padat sedangkan pendapatan yang diterima benar-benar tidak sebanding.
Selain karena panggilan jiwa, bekerja sebagai tenaga kesehatan setia dijalani dengan penuh kesabaran dan tekad yang kuat dan tulus demi kesembuhan para pasien.
Ancaman gangguan kesehatan mental bagi para tenaga kesehatan
Dari penuturan orang terdekat kami ini diketahui bahwa bekerja di rumah sakit sebenarnya sangat mempengaruhi kesehatan mental para tenaga kesehatan dan segenap karyawannya.
Selain memulihkan kesehatan para pasiennya, sebenarnya kesehatan mental para tenaga kesehatan ini juga sangat rentan terkena gangguan.
Jadi, jangan heran jika terkadang pelayanan yang diterima dari tenaga kesehatan di rumah sakit yang anda kunjungi kurang memuaskan.
Lantaran tenaga kesehatannya mungkin sedang mengalami gangguan kesehatan mental akibat beban kerja dan tekanan yang sudah tidak manusiawi lagi.
Untuk itu, hendaklah kedepannya pihak rumah sakit lebih memperhatikan nasib para tenaga kesehatan atau karyawannya.
Demi kepentingan bersama; pasien, rumah sakit dan tenaga kesehatan.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
== Akbar Pitopang ==
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H