Sekali lagi, masalah gangguan jiwa tidak boleh disepelekan begitu saja walau sekecil apapun spektrum gejala yang menyerang.
Sebisa mungkin kita harus belajar untuk mampu mengelola kesehatan mental agar tidak mengalami gangguan jiwa atau yang lebih populer di kalangan masyarakat dengan sebutan “gila”.
Bagi penulis sendiri lebih setuju jika istilah yang digunakan untuk masalah ini adalah gangguan jiwa. Istilah gila konotasinya mungkin lebih mengarah kepada sesuatu hal yang negatif misalnya gila harta, gila judi, dan sebagainya.
Terkait masalah gangguan jiwa ini sebenarnya sudah lama menjadi endapan tanda tanya dalam benak penulis.
Karena secara langsung penulis bersentuhan langsung dengan sosok orang dewasa yang mengalami gangguan jiwa — sengaja kami memilih menyebutnya dengan sosok orang dewasa demi menjaga privasi.
Gangguan jiwa yang dialami oleh orang dewasa yang penulis maksud tersebut dialaminya sudah sangat lama lebih kurang selama 19 tahun.
Gangguan jiwa yang dialaminya mempengaruhi gaya berkomunikasi dan kontak fisik.
Dulu di masa-masa awal ia terserang gangguan jiwa, ia sering melampiaskan emosional yang sudah tidak bisa lagi dikontrol dalam bentuk kontak fisik baik kepada orang lain maupun kepada barang yang berada di sekitarnya.
Pola seperti itu bertahan cukup lama dan fluktuatif. artinya gejala-gejala gangguan jiwa yang ia tunjukkan sering kambuh. Namun pada beberapa waktu berikutnya ia tidak banyak melakukan kontak fisik namun lebih kepada berkomunikasi dalam dunianya sendiri — ngomong dan ketawa sendiri.
Apa penyebab ia mengalami gangguan jiwa?
Memang tidak ada seorang pun yang bisa memastikan apa yang menyebabkannya terkena gangguan jiwa.
Karena semasa hidupnya menurut pengakuan tetangga dan warga sekitar, ia adalah sosok yang rajin bekerja, bertanggung jawa dan menyayangi keluarganya, sopan santun dan sangat beretika, mampu menghindarkan dirinya dari tindakan maksiat, pokoknya gak neko-neko lah kalo kata orang-orang mah.
Bisa juga dibilang ia adalah sosok manusia yang memiliki integritas.
Tapi ketika tiba-tiba ia mengalami gangguan jiwa, membuat semua orang yang mengenalnya menjadi sangat heran dan bertanya-tanya mengapa hal itu bisa menimpanya.
Banyak juga masyarakat sekitar yang menduga-duga bahwa ilmu kebatinan yang sedang ia pelajari tidak tuntas dikarenakan pada masa menuntut ilmu kebatinan, gurunya meninggal dunia.
Selain itu, ada pula yang mengatakan bahwa ia mengalami gangguan jiwa lantaran diguna-guna oleh orang yang iri dengki kepadanya.
Entahlah, tidak ada yang bisa diambil kesimpulan secara pasti terkait penyebab ia terkena gangguan jiwa. keluarganya pun juga tidak paham dan bisa menyimpulkan.
Untung saja ia tidak suka merusak fasilitas publik atau menganggu ketertiban di lingkungan masyararakat.
Sehingga banyak dari masyarakat yang peduli dan memperhatikan perkembangan level gangguan jiwa yang ia alami.
Tapi seperti yang kami sampaikan tadi bahwa gejala gangguan jiwa yang dialaminya bersifat fluktuatif, karena kadang suka kambuh tanpa sebab yang jelas.
Beberapa saat kemudian sikapnya menjadi lebih terkontrol dan gak suka ngamuk-ngamuk karena ia sering datang ke masjid.
Ada perubahan sikap yang ditunjukkan karena ia sering atau bahkan rajin datang ke masjid untuk ikut melaksanakan shalat.
Tak ada seorang pun dari anggota keluarganya maupun orang lain yang mengetahui kenapa tiba-tiba ada perubahan sikap menjadi rajin beribadah. karena tidak ada yang menyuruhnya pergi beribadah.
Di masjid pun ia tidak ada mengganggu kekhusyukkan jama’aah lain untuk melaksanakan ibadah.
Walau tidak bisa pula dipastikan apa yang ia baca ketika shalat. apakah ia membaca bacaan shalat, atau hanya diam dan mendengarkan apa yang dibaca imam ketika shalat.
Terpantau juga bahwa ia sering mendengarkan kegiatan ceramah atau pengajian.
Terlepas dari itu semua, lambat laun nampak sekali perubahan sikap yang ditunjukkan setelah ia rajin datang ke masjid.
Karena bertambahnya usia dan kondisi fisik yang semakin menurun, ia menjadi lebih “kalem” dalam kehidupannya sehari-hari.
Dari pantauan semua orang yang mengenalnya dan orang-orang yang memperhatikannya dari jarak dekat, mereka seringkali melihat ia duduk diam sambil mengasuh cucunya.
Pokoknya di masa-masa menjelang akhir hayatnya ia bahkan sudah seperti manusia normal tanpa gangguan jiwa.
Ia mengerti dan memahami dengan jelas apa yang orang lain katakan kepadanya. komunikasi dua arah terjalin dengan baik dan ada feedback.
Ia juga bisa menanggapi sesuatu secara emosional. Dulu, sempat ada sahabatnya yang datang mengunjunginya setelah bertahun-tahun lamanya tidak berjumpa.
Karena melihat kondisi fisiknya yang semakin kurus karena faktor usia dan disertai adanya gangguan kesehatan, temannya menjadi sedih hingga mencurahkan air mata.
Dalam suasana haru tersebut ia juga bisa menangkap aura kesedihan dan menunjukkan sikap emosional layaknya manusia normal.
Banyak orang lain yang menyayanginya karena track record sebelum ia mengalami gangguan jiwa adalah sangat baik dan terkontrol.
Bahkan ketika ia meninggal dunia, banyak anggota masyarakat yang ikut menyolatkan dan ramai ke tempat pemakamannya.
Sungguh sebuah fenomena yang menggetarkan perasaan. benar-benar ajaib dan semua itu mungkin sudah jalannya sesuai takdir dari Allah SWT.
Untuk itu, kepada dokter yang kami hormati kami ingin bertanya:
Apakah gangguan jiwa bisa sembuh dengan sendirinya ketika penderitanya dekat atau didekatkan dengan ajaran agama dan Tuhannya?
Semoga dokter bisa memberikan pencerahan atas pertanyaan ini.
Karena kami rasa dari jawaban dokter nantinya bisa kami jadikan pedoman untuk bagaimana mengelola kesehatan jiwa dengan baik.
Terima kasih kepada pihak Kompasiana yang telah menghadirkan kesempatan yang sangat berharga ini untuk kami bertanya kepada ahlinya secara langsung/tidak langsung.
*****
Salam berbagi dan menginspirasi.
Akbar Pitopang untuk Kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H