Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Best Teacher 2022 dan Best In Specific Interest Nominee 2023 | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menelisik Pentingnya Pemberian 40 Hari Cuti Melahirkan bagi Suami

23 Juni 2022   15:01 Diperbarui: 7 Oktober 2022   15:19 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
RUU KIA memberikan hak bagi suami  mendapatkan cuti mendampingi istri melahirkan paling lama 40 hari. (Sumber: Instagram/@hitocaesar via Kompas.tv)

Saat ini tengah menjadi perbincangan hangat di tengah masyarakat terkait dengan rencana pengesahan RUU KIA (rancangan undang-undang kesejahteraan ibu dan anak) yang diajukan oleh DPR.

Beberapa poin yang menjadi perhatian bersama adalah terkait dengan pemberian masa cuti melahirkan bagi ibu pekerja selama 6 bulan lamanya.

Isu ini mencuat di tengah besarnya desakan masyarakat yang menginginkan disahkannya RUU KIA ini demi kebaikan bersama.

Namun, tentu tetap akan ada pro dan kontra di tengah masyarakat. Kami menilai kebijakan ini lebih banyak manfaatnya sehingga memang layak untuk disahkan menjadi undang-undang.

Belum habis perbincangan mengenai masa cuti melahirkan bagi ibu selama 6 bulan ini. Mencuat lagi isu baru yakni pemberian cuti selama 40 hari bagi suami untuk mendampingi dan mengurusi istri yang melahirkan.

Sebuah perbincangan yang sangat menarik untuk melihat sisi manfaat dari pemberian cuti melahirkan bagi suami selama 40 hari ini.

Pemberian cuti istri selama 6 bulan dan bagi suami selama 40 hari merupakan dua poin penting yang termuat dalam RUU KIA.

Melahirkan merupakan sebuah proses persalinan anak di dalam kandungan sang ibu untuk dibantu hadir ke dunia ini.

Sebuah momen yang sangat berharga dan tak terlupakan bagi pasangan suami istri yang dikaruniai keturunan oleh Tuhan Yang Maha Esa.

Proses melahirkan merupakan tindakan yang sangat mengandung resiko yang tinggi bahkan dapat mengancam nyawa si ibu.

Sebuah kodrat yang ditakdirkan bagi para perempuan di muka bumi ini. sebuah keajaiban yang sungguh luar biasa.

Sedangkan dalam menjalani proses persalinan ini membutuhkan daya kekuatan yang sangat besar. Kekuatan itu berasal baik dari dalam diri si ibu maupun dari sisi eksternal yakni suami yang tanggap dan peduli.

Menjadi suami siaga disaat situasi yang sangat menegangkan tersebut merupakan sebuah keniscayaan yang harus dilakukan oleh para suami.

Suami yang kelelahan efek begadang mengurusi bayi pasca istri melahirkan (Dokumentasi pribadi)
Suami yang kelelahan efek begadang mengurusi bayi pasca istri melahirkan (Dokumentasi pribadi)

Disamping itu, pemberian masa cuti melahirkan selama 40 hari bagi suami tidak hanya sebatas dimanfaatkan pada saat proses menemani istri melahirkan. 

Namun, sisa hari yang tersisa di masa cuti tersebut akan dimanfaatkan bagi para suami guna mengurusi hajat hidup istri dan bayi yang baru dilahirkan.

Jika selama ini pemberian masa cuti bagi suami yang menemani istri melahirkan hanya selama dua hari dirasa sangat terbatas dan tak layak.

Dua hari tersebut hanya cukup untuk menemani istri di hari persalinan dan sehari setelahnya untuk pemulihan kondisi fisik sang istri.

Padahal lebih dari sekedar pemulihan kondisi fisik. Proses pemulihan kondisi kesehatan mental dan psikis istri pasca melahirkan merupakan suatu hal yang tak terbantahkan.

Jika suami hanya memperoleh cuti selama dua hari lalu kemudian langsung masuk kerja. Kondisi itu tetap juga akan mempengaruhi kinerja dan konsentrasi suami di tempat kerja.

Baik baik suami yang baru pertama kali mendapati momen istri melahirkan maupun bagi suami yang sudah beberapa kali mendapatkan kesempatan itu.

Semua suami pasti tetap akan merasa khawatir dan berat hati untuk meninggalkan istri dan anak yang baru dilahirkan di rumah begitu saja.

Terlepas dari adanya kehadiran orang tua ataupun anggota keluarga yang ikut membantu mengurusi istri pasca melahirkan.

Bagaimanapun tugas mulia mengurusi istri dan bayi pasca melahirkan merupakan tugas yang sejatinya ditangani sendiri oleh suami.

Seperti mengganti proses pembuangan kotoran, mengganti perban luka, megganti popok bayi, menangani bayi yang rewel dan segala hal tetek bengek yang berhubungan dengan aktifitas pasca melahirkan ini hendaknya berada dalam campur tangan suami.

Tentu suami akan merasa sungkan jika semuanya harus diserahkan kepada orang tua maupun anggota keluarga yang menemani untuk mengurusi istri dan bayi selama suami berada di tempat kerja.

Lain lagi halnya ketika pihak yang menangani istri dan bayi memiliki keterbatasan dalam hal pergerakan atau untuk beraktifitas.

Misalkan orang tua yang sudah kesusahan untuk beraktifitas lantaran faktor umur yang sudah lanjut usia.

Ataupun bisa dibantu oleh anggota keluarga yang lain seperti adik atau saudara tapi pengetahuan maupun pengalamannya masih terbatas dalam belum cekatan mengurus segala urusan pasca melahirkan.

Maka kondisi seperti itu semakin mempengaruhi konsentrasi dan kefokusan suami ketika melaksanakan tugas pekerjaan selama masih berada di tempat kerja.

Pada akhirnya, karena konsentrasi yang bercabang tentu akan menurunkan produktifitas suami dalam menjalankan fungsinya dalam tugas dan pekerjaan yang diemban.

Bisa saja kondisi beban psikis yang dialami suami saat itu dapat mempengaruhi kualitas dan kinerjanya dalam bekerja.

Ada satu hal lagi yang menarik dan menjadi perhatian kita bersama. Dimana ada situasi seperti pasangan suami istri yang merantau keluar daerah yang jaraknya sangat jauh dari kampung halaman. 

Untuk pulang dan melahirkan di kampung tidak memungkinkan. Misalnya kondisi yang berat dan penuh resiko seperti pada saat pandemi yang lalu.

Kondisi dimana tidak ada satupun anggota keluarga inti yang ikut merantau ke daerah tersebut. Menjalani hidup dengan dua batang kara dan jauh dari keluarga serta harus mengurusi urusan pasca melahirkan hanya berdua saja tentu sebuah hal yang sangat mengharukan sekali.

Kemudian pada saat suami sudah masuk kerja, urusannya dibantu oleh tetangga atau pembantu yang dibayar jasanya. 

Kondisi seperti itu bisa saja terjadi. Tidak ada yang tidak mungkin.

Sebuah keluarga merupakan tulang punggung utama dalam kemandirian sebuah negara harus mendapatkan porsi perhatian yang lebih disaat momen yang teramat penting seperti saat proses istri melahirkan ini.

Kesan kepedulian dan perhatian lebih yang diterima saat menjalani momen penting ini akan menjadi sebuah catatan penting dalam buku kehidupan warga bahwa mereka memang pantas untuk juga berkontribusi dalam hal yang positif untuk negeri ini.

Bila dalam momen yang sangat penting ini warga tidak ada merasakan kehadiran negara, bagaimana caranya warga juga akan peduli terhadap seluk beluk permasalahan yang dihadapi oleh negara itu sendiri.

Menelisik pentingnya pemberian cuti 40 hari bagi suami (Dokumentasi pribadi)
Menelisik pentingnya pemberian cuti 40 hari bagi suami (Dokumentasi pribadi)

Intinya sekali lagi, urgensi pengesahan RUU KIA yang menyangkut aturan kebijakan pemberian masa cuti melahirkan bagi istri maupun suami harus dapat menjadi jalan keluar dan solusi. 

Walau sejauh ini aturan yang mengatur masalah pemberian cuti melahirkan bagi suami diatur dalam Undang-undang Ketenagakerjaan dengan masa hanya dua hari dirasa perlu untuk diperbaharui dengan aturan terbaru.

Terakhir, sebelum pembahasan ini kami tutup. Mari sejenak kita menengok aturan cuti melahirkan bagi suami di beberapa negara di dunia dibawah ini.

Melansir CNBC Indonesia, bahwa berdasarkan data dari International Labour Organization (ILO), badan khusus PBB yang menangani isu pekerja, hak cuti ayah telah ditemukan setidaknya di 79 negara, yang pada umumnya adalah negara dengan ekonomi kuat.

Swedia misalnya, memiliki kebijakan parental leave alias cuti orang tua selama 480 hari (sekitar 16 bulan) untuk setiap anak yang lahir. Jumlah hari cuti tersebut bisa dibagi rata untuk ibu maupun ayah, artinya ibu dan ayah sama-sama memperoleh jatah cuti melahirkan selama 240 hari. menariknya lagi, masing-masing ibu dan ayah wajib mengambil cuti 90 hari yang diberikan khusus untuknya.

Di Norwegia, ayah mendapatkan cuti melahirkan selama 49 minggu atau 15 minggu lamanya.

Sedangkan durasi cuti ayah di Finlandia adalah 54 hari kerja. ayah diizinkan mengambil hari cuti bersamaan dengan istri maksimal 18 hari kerja. sedangkan untuk sisanya yang selama 36 hari, ayah tidak dibolehkan cuti bersamaan dengan ibu. Tujuannya agar sang ayah juga memperoleh giliran kesempatan untuk menjaga anak. 

Selain itu, di Finlandia setiap ayah dan ibu, masing-masing mendapat jatah cuti selama enam bulan, sehingga totalnya adalah 1 tahun. Selama menjalani cuti, mereka tetap menerima gaji sebesar 80% dari penghasilannya.  

Jadi, demikianlah alasan mengapa hak cuti melahirkan selama 40 hari ini juga pantas untuk dialokasikan bagi para suami dan ayah.

Pemberian masa cuti selama 40 hari untuk ayah ini dirasa sangat pas dan tidak akan merugikan pihak perusahaan karena waktunya yang tidak terlalu panjang.

Semoga kebijakan yang tertuang dalam RUU KIA ini membawa manfaat dan kebaikan bagi kita semua. Khususnya bagi ayah dan ibu yang melahirkan generasi hebat untuk membangun negeri tercinta ini.

Indonesia akan sejahtera, adil dan berdaulat di kemudian hari. Aamiin.

Salam berbagi dan menginspirasi.

[Akbar Pitopang]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun