Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mudik: Pergulatan Rasa dan Tekanan Massa

16 April 2022   10:53 Diperbarui: 17 April 2022   19:56 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi berkendara bersama keluarga. (Dok. Tam via kompas.com) 

Walau demikian, kini saya terus menyadari bahwa keputusan orangtua dan kerelaan hati seorang anak pada saat itu memberikan efek atau dampak luar biasa. Saya belajar banyak hal tentunya di pesantren. Selain ilmu agama, dan ilmu sosial, saya juga belajar menjadi kuat. Karena hidup ini begitu keras. Dan itu akan terus terjadi di masa-masa yang akan datang.

Kemudian pada saat saya melanjutkan sekolah ke jenjang SMA, saya masih harus hidup berjauhan dengan orangtua. Lantaran saya memutuskan untuk melanjutkannya ke MAN yang memiliki fasilitas asrama. Walaupun, lokasi MAN itu dengan alamat tempat tinggal saya hanya beda kabupaten. Selama 3 tahun saya hidup di asama tersebut. 

Lulus dari MAN, lagi-lagi saya harus hidup terpisah dengan orangtua. Saya memilih untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi yang berada di pulau Jawa. Walau saya tidak memiliki sanak famili disana, saya memberanikan diri karena sudah terbiasa hidup mandiri.

Hampir 4 tahun saya menimba ilmu dan pengalaman di kota gudeg tempat saya berkuliah. Selama kuliah, saya sering dikirimi paket oleh orangtua berupa rendang dan makanan-makanan khas daerah asal. Sungguh perhatian yang luar biasa dari orangtua yang saya rasakan pada saat itu.

Lulus kuliah, saya masih harus tinggal berjauhan dengan orangtua. Selama 7 bulan saya hidup di pulau Lombok. Setelah setelah sebelumnya saya minta izin ke orangtua dan mendapat lampu hijau.

Selama itu, saya senantiasa merawat dan menjaga rasa sayang dan rindu kepada orangtua dan sanak famili di kampung. Begitu pula yang dirasakan oleh orangtua saya yang juga sama-sama menahan rindu.

Walau pada saat itu saya sering ditelpon oleh orangtua untuk menanyakan kabar. Pun sekedar mengingatkan untuk tidak melupakan shalat dan mengingatkan kebaikan-kebaikan lainnya. Tetap saja masih tersimpan rasa rindu itu yang terpisahkan jarak dan waktu.

Rasa sayang orangtua kepada anak bagaikan sebuah magnet. Bersifat saling tarik-menarik. Walau sering hidup berjauhan, tapi rasa rindu dan sayang bukannya berkurang malah semakin melambung.

Sadar atau tidak sadar, itulah bukti kasih sayang orangtua kepada anaknya. Baik hanya sekedar ditelpon untuk menanyakan kabar atau dikirimi paket dari kampung, itu bukti nyata ketidak sanggupan orangtua untuk hidup saling berjauhan dengan anak.

Setiap orangtua pasti ikhlas dan sabar ketika anaknya memutuskan untuk hidup berjauhan dengan orangtua. Mungkin karena alasan studi maupun pekerjaan. Tapi didalam hatinya orangtua selalu bertasbih kepada Tuhan mendoakan segala kebaikan untuk si anak yang memiliki harapan dan pengorbanan.

via jojonomic.com
via jojonomic.com

Tekanan dari Masyarakat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun