Jogja memang sudah dikenal sebagai kota pelajar. Di kota ini terdapat banyak sekolah maupun kampus yang keren. Tak heran jika Jogja dipilih sebagai kota tujuan untuk menuntut ilmu oleh pelajar yang datang dari seluruh penjuru Indonesia. Tak hanya dari wilayah Indonesia, ramai juga pelajar dari luar negeri yang ingin menimba ilmu di kota gudeg ini.
Saya termasuk salah satu pelajar luar daerah yang sempat bisa merasakan suasana kuliah di salah satu kampus di Jogja. Saya berasal dari Pulau Sumatra. Saya bisa kuliah di Jogja karena undangan yang datang ke sekolah asal. Saya termasuk siswa yang selalu nangkring di tiga besar, maka saya bisa lulus seleksi dan diterima sebagai salah satu mahasiswa undangan oleh sebuah kampus yang berlokasi di Jalan Laksda Adisucipto itu. Alhamdulillah.
Di Jogja saya tidak ada memiliki satu pun saudara atau kerabat. Hanya nyali dan tekad yang besar yang saya miliki yang membuat saya bisa terbang ke kota itu. Syukurnya juga ada beberapa calon mahasiswa dari sekolah asal saya yang juga sama-sama diterima sebagai calon mahasiswa di kampus yang sama.
Sehingga keberadaan mereka bisa menjadi pengganti keluarga inti selama di Jogja. Mereka menjadi orang terdekat sebagai tempat saling berbagi. tempat mencurahkan isi hati baik dalam keadaan sedih maupun senang.
Karena kami yang berasal dari satu sekolah yang sama tadi juga tidak memiliki sanak saudara di Jogja. Kami menjadi kebingunan saat hendak mencari tempat untuk ngekos. Setelah mencari informasi ke pihak sekolah ternyata ada alumni yang juga kuliah di sana.
Kebetulan mereka tinggal di asrama daerah khusus ditempati oleh mahasiswa yang berasal dari Sumbar. Akhirnya saya dan teman tadi juga ikut menumpang tinggal di asrama itu. Karena kami semuanya berasal dari daerah yang sama, rasa kekeluargaan sangat kental terasa dan terjalin dengan baik diantara kami, satu dengan yang lainnya.
Selama hampir 4 tahun lamanya saya menimba ilmu di Jogja. Selama itu pula kami merasakan lika-liku kehidupan yang jauh dari kehangatan dan canda tawa anggota keluarga inti. Menjadi anak rantau merupakan sesuatu pengalaman yang syahdu penuh haru.
Selama hampir 4 tahun menimnba ilmu di Jogja, 4 kali pula saya merasakan suasana ramadhan di sana. Karena kebetulan diawal-awal ramadhan, masih ada jam kuliah yang harus diikuti mahasiswa. Sehingga melaksanakan puasa di rantau harus dijalani dengan segala kekurangan yang ada namun dengan sikap penuh syukur.
Untuk keperluan berbuka puasa, kami mahasiswa menyediakannya sendiri. Ada yang beli ke warung makan. Dan ada pula yang yang menjadi "pejuang bedug" di masjid-masjid sekitar dengan terlebih dahulu mendengarkan tausiyah dari ustadz sebelum masuk waktu bedug.
Lalu, bagaimana dengan kondisi pada saat akan melaksanakan sahur? Suasana menjelang sahur merupakan suasana yang hectic dengan segala ke-rempongan-nya. Setiap anak rantau akan merasakan menjadi "pejuang sahur".
Status ini akan didapatkan bagi kami yang tinggal berkelompok di asrama. Status menjadi pejuang sahur ini akan didapatkan secara bergiliran selama bulan puasa ramadhan ini.
Tapi pejuang sahur tergolong menjadi dua kategori, yakni pejuang sahur untuk diri sendiri dan pejuang sahur untuk kebersamaan. Adakah perbedaannya?
Pejuang sahur untuk dirinya sendiri dimana dia berjuang untuk dirinya sendiri. Mungkin lantaran karena dia ngekos sendiri. Atau bisa juga walaupun dia tinggal bareng dengan temannya tapi dia tidak mau dititipkan beli makan sahur. Dan bisa juga dia orang yang "I don't care". Seorang anak rantau yang berprinsip, mau makan ya usaha sendiri.
Tapi anak rantau banyak yang lebih memilih menjadi pejuang sahur untuk kebersamaan. Dia rela jika harus bangun lebih awal dan membelikan makanan sahur untuk teman-temannya.
Pukul 03.00 WIB sudah bangun. Untuk kemudian bergerilya ke warung makan yang menyediakan menu untuk sahur. Bangun lebih cepat atau bangun tepat waktu harus dilakukan agar bisa kebagian porsi nasi bungkus untuk sahur.
Bagaimana tidak, di jam-jam seperti itu semua anak rantau yang akan sahur tentu juga sudah bangun dan ikut antrean di warung makan-warung makan yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggal.
Belum lagi kalo lokasi warung makannya agak jauh dari lokasi tempat tinggal. Kalau telat bangun dan kemudian dapat antrean diakhir, bisa tak makan sahur dong teman yang lainnya yang sudah menunggu. Jangan sampai perang dunia ketiga terjadi karena hal ini.
Selama 4 tahun menetap di Jogja yakni dari tahun 2010 sampai 2014. Pada saat itu tidak ada kejadian klitih seperti yang baru-baru ini terjadi. Klitih pada saat itu sepertinya belum kambuh. Mungkin masih dalam keadaan mati suri.
Sehingga tidak ada kekhawatiran diantara kami jika harus keluar pada saat suasana dini hari untuk menjadi pejuang sahur. Baik itu keluar sendirian untuk mencari menu makanan sahur, maupun pergi bareng ditemani teman.
Lebih kurang habis 1 jam lamanya untuk keperluan membeli makanan sahur ini. Mulai dari menyiapkan kendaraan untuk pergi, menunggu antrean, sampai bisa kembali lagi ke tempat tinggal anak rantau.
Waktu yang cukup panjang itu bisa terjadi karena banyaknya antrean. Ditambah faktor jumlah warung makan yang tidak semuanya buka untuk menjual makan sahur. Otomatis kami harus keliling mencari warung makan yang masih buka dengan sedikit antrean pembeli.
Keluar-masuk jalan tikus sering kami lakukan agar cepat sampai di lokasi warung makan yang dituju. Rutenya mulai dari Jalan Demangan Baru, Jalan Laksda Adisucipto atau Jalan Solo, Jalan Timoho, dan sekitar kampus UIN, maupun jalan-jalan kecil di sekitar Pasar Demangan.
Jadi, beruntunglah kami bisa merasakan menjadi pejuang sahur tanpa ada ketakutan yang membelenggu hati dan pikiran pada saat itu. Kami bisa dengan bebas bergerilya mencari menu makanan untuk sahur. Hanya itu amunisi yang dimiliki anak rantau yang berjuang di negeri orang.
Menjadi pejuang sahur bukanlah sekadar sebuah perjuangan yang biasa saja. Jangan kalian menganggap itu semua tanpa makna atau tak ada arti sama sekali. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya berupa nilai solidaritas dan kekeluargaan yang harus dijalin dengan baik oleh sesama anak rantau.
Anak rantau yang merupakan seorang pelajar atau mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi muda negeri ini. Mereka yang akan ikut berkontribusi membangun negeri.
Jika sedari awal sudah terbangun rasa empati dan simpati didalam diri para anak bangsa tentu negeri ini akan terbangun pula dengan nilai luhur dan mulia seperti yang kita harapkan bersama.
Semoga klitih cepat berakhir. Tindak kejahatan ini harus dicabut dari akarnya. Jogja berhati nyaman, bukan berhenti nyaman. Keramah-tamahan Jogja masih membekas dalam hati dan sanubari kami hingga saat ini. Karena Jogja adalah rumah kedua di hati kami.
Piye dab, iseh ono klitih ning Jogja po? Hati-hati neng kono yo!. Salam. (AP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H