Mohon tunggu...
Akbar Pitopang
Akbar Pitopang Mohon Tunggu... Guru - Berbagi Bukan Menggurui

Mengulik sisi lain dunia pendidikan Indonesia 📖 Omnibus: Cinta Indonesia Setengah dan Jelajah Negeri Sendiri terbitan Bentang Pustaka | Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta | Ketua Bank Sampah Sekolah | Teknisi Asesmen Nasional ANBK | Penggerak Komunitas Belajar Kurikulum Merdeka | Akun ini dikelola Akbar Fauzan, S.Pd.I

Selanjutnya

Tutup

Kurma Artikel Utama

Kisah Pejuang Sahur Ketika Klitih Mati Suri

10 April 2022   08:30 Diperbarui: 10 April 2022   12:50 1957
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi sahur.| Sumber: Shutterstock/Odua Images via kompas.com

via https://indako.id/
via https://indako.id/

Keluar-masuk jalan tikus sering kami lakukan agar cepat sampai di lokasi warung makan yang dituju. Rutenya mulai dari Jalan Demangan Baru, Jalan Laksda Adisucipto atau Jalan Solo, Jalan Timoho, dan sekitar kampus UIN, maupun jalan-jalan kecil di sekitar Pasar Demangan.

Jadi, beruntunglah kami bisa merasakan menjadi pejuang sahur tanpa ada ketakutan yang membelenggu hati dan pikiran pada saat itu. Kami bisa dengan bebas bergerilya mencari menu makanan untuk sahur. Hanya itu amunisi yang dimiliki anak rantau yang berjuang di negeri orang.

Menjadi pejuang sahur bukanlah sekadar sebuah perjuangan yang biasa saja. Jangan kalian menganggap itu semua tanpa makna atau tak ada arti sama sekali. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya berupa nilai solidaritas dan kekeluargaan yang harus dijalin dengan baik oleh sesama anak rantau.

Anak rantau yang merupakan seorang pelajar atau mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi muda negeri ini. Mereka yang akan ikut berkontribusi membangun negeri.

Jika sedari awal sudah terbangun rasa empati dan simpati didalam diri para anak bangsa tentu negeri ini akan terbangun pula dengan nilai luhur dan mulia seperti yang kita harapkan bersama.

Semoga klitih cepat berakhir. Tindak kejahatan ini harus dicabut dari akarnya. Jogja berhati nyaman, bukan berhenti nyaman. Keramah-tamahan Jogja masih membekas dalam hati dan sanubari kami hingga saat ini. Karena Jogja adalah rumah kedua di hati kami.

Piye dab, iseh ono klitih ning Jogja po? Hati-hati neng kono yo!. Salam. (AP)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun