Keluar-masuk jalan tikus sering kami lakukan agar cepat sampai di lokasi warung makan yang dituju. Rutenya mulai dari Jalan Demangan Baru, Jalan Laksda Adisucipto atau Jalan Solo, Jalan Timoho, dan sekitar kampus UIN, maupun jalan-jalan kecil di sekitar Pasar Demangan.
Jadi, beruntunglah kami bisa merasakan menjadi pejuang sahur tanpa ada ketakutan yang membelenggu hati dan pikiran pada saat itu. Kami bisa dengan bebas bergerilya mencari menu makanan untuk sahur. Hanya itu amunisi yang dimiliki anak rantau yang berjuang di negeri orang.
Menjadi pejuang sahur bukanlah sekadar sebuah perjuangan yang biasa saja. Jangan kalian menganggap itu semua tanpa makna atau tak ada arti sama sekali. Ada nilai-nilai kemanusiaan yang terkandung di dalamnya berupa nilai solidaritas dan kekeluargaan yang harus dijalin dengan baik oleh sesama anak rantau.
Anak rantau yang merupakan seorang pelajar atau mahasiswa yang merupakan bagian dari generasi muda negeri ini. Mereka yang akan ikut berkontribusi membangun negeri.
Jika sedari awal sudah terbangun rasa empati dan simpati didalam diri para anak bangsa tentu negeri ini akan terbangun pula dengan nilai luhur dan mulia seperti yang kita harapkan bersama.
Semoga klitih cepat berakhir. Tindak kejahatan ini harus dicabut dari akarnya. Jogja berhati nyaman, bukan berhenti nyaman. Keramah-tamahan Jogja masih membekas dalam hati dan sanubari kami hingga saat ini. Karena Jogja adalah rumah kedua di hati kami.
Piye dab, iseh ono klitih ning Jogja po? Hati-hati neng kono yo!. Salam. (AP)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H