"Kita mungkin pernah memiliki perasaan yang sama, tetapi jalan yang ingin kita tempuh nyatanya berbeda," ucapku spontan sesaat setelah melihat sebuah foto keluarga pada cerita singkat akun media sosialmu.
Aku tenggelam pada pikiranku, kembali ke masa 8 bulan yang lalu.
Aku memulainya dengan mengajakmu menghadiri kajian rutin. Aku berniat demikian agar kamu lebih bisa mempersungguh apa-apa yang menjadi kewajibanmu. Aku juga mulai memahami hal-hal yang ada pada dirimu yang bahkan ada banyak hal yang tidak aku sukai. Namun, nyatanya aku mampu menerimanya sepenuh hati.
Kita menjadi dekat untuk beberapa waktu. Membicarakan banyak hal, berdebat, tertawa. Aku pernah berpikir, kita bisa mencoba berproses bersama untuk merangkai dan menuju tujuan yang sama. Meski pikiran itu hanya tergambar pada benakku.
Lalu, aku menyadari, kita tidak pernah saling berbagi kesedihan. Kita hanya membandingkan. Aku berakhir dengan kekhawatiranku, sedangkan kamu berakhir dengan ketidakpercayaan dirimu.
Caramu menuju tujuan hanya dengan menapaki jalan dengan egomu, sedangkan aku ingin menuju tujuan dengan menapaki jalan beriring rida-Nya. Aku pernah punya harapan bersamamu yang sempat kupikirkan. Atau kamu juga terpikirkan hal yang sama denganku?
Namun, nyatanya perbedaan jalan yang ingin kita tempuh menyudahi cerita kita. Dan harapan itu tidak pernah tersampaikan pada masing-masing kita. Ah! Bagaimana aku bisa menyebut itu cerita? Bagaimana aku bisa menyebut itu keinginan kita? Bahkan memastikan perasaanmu saja, itu hanya asumsiku belaka.
Pada pandanganmu, aku yang tidak ingin membersamaimu. Namun, dipandanganku, aku enggan dibersamai dengan cara yang keliru. Kamu menyalahpahami maksudku. Kamu berkata bahwa aku tidak mungkin menyukaimu dan kamu memutuskan untuk mengikuti kemauanku yang dimana, kemauan yang kamu maksud bukanlah kemauanku.
Aku hanya ingin menapaki jalan bersamamu dengan penuh kebaikan, menjadikan dirimu satu-satunya tujuan, sedangkan kamu ingin menapaki jalan bersamaku hanya sebagai salah satu pilihan, bukan satu-satunya pilihan.
Aku pernah sekadar berpikir, tentang bagaimana penerimaanku terhadap kekuranganmu. Aku merasa percaya diri mampu menerima, sebab aku tumbuh bersama dengan banyak kekurangan dan luka. Meski pada dasarnya, aku tidak akan pernah bisa menjadi dirimu dan tidak akan pernah merasakan apa yang selama ini coba kamu hadapi dan terima.
Aku juga pernah berpikir ingin membersamaimu, bertumbuh dengan segala hal yang ada pada dirimu. Aku terima, aku terima dan aku terima, gumamku waktu itu. Lalu, ada suatu waktu dimana kita berbincang setelah sekian lama.
Kamu bernegosiasi atas semua yang telah terjadi. Kamu berpikir aku akan kembali dengan cara yang sama, tetapi maaf, tidak. Aku tahu caraku dulu keliru, hingga membuat lukaku semakin menganga yang entah bermula darimana dan oleh siapa.
"Ibuku menyukaimu." Dua kata yang kubaca pada aplikasi perpesanan yang kamu kirimkan di tengah-tengah perbincangan kita.
"Kita lagi salah paham aja Mbak. Kita kayak dulu lagi, ya?" tambahmu singkat dalam aplikasi perpesanan itu.
Aku hanya membaca pesanmu tanpa bisa memberikan balasan. Suasana di sekitarku hening sejenak. Pikiranku bercabang, jantungku berdegup kencang, jariku kikuk untuk mengetuk huruf demi huruf pada kibor telepon genggamku.
Aku mengetik beberapa kalimat, kuhapus. Aku mengetiknya lagi, kuhapus lagi. Aku menahan air mata di pelupuk mataku. Aku tidak boleh menangis lagi, gumamku waktu itu.
Aku tidak mampu mengiyakan apa yang kamu mau. Bagaimana bisa aku menyakiti saudara sesamaku? Aku memilih untuk mundur meski dengan air mata yang tak kunjung berhenti melebur.
Lebih baik aku terluka sekalian dengan keputusanku. Lagipula aku juga sudah terluka sedari lama. Apa untungnya jika aku membuat perempuan lain merasakan hal yang sama seperti yang aku rasakan? Lukaku tidak akan sembuh dengan aku melakukan hal itu. Tidak masalah, jika aku terluka (lagi) sendirian.
Kamu terus mengatakan banyak hal agar kita seperti dulu lagi. Kamu berkata bahwa dulu saja aku bisa menerima dan melakukan hal-hal yang sejalan denganmu, mengapa sekarang tidak? Kamu terus berusaha membujukku. Kamu mengira ini hanyalah sebuah kesalahpahaman, tetapi ini adalah bentuk keputusanku Tuan.
Bilamana memang kamu tidak bisa sejalan dengan caraku, mari kita berpisah. Ah! Lagi-lagi, aku terlalu percaya diri. Bagaimana aku menyebutnya berpisah, padahal kita tidak pernah bersatu.
Aku enggan menuju ibadah terpanjang dengan jalan yang tidak diridai Allah. Bagaimana bisa ibadah terpanjang dengan penuh kemuliaan, dituju dengan cara yang keliru?
Ya, aku menangisimu ketika itu. Rasanya hatiku perih, dadaku sesak, ketika semua penerimaanku dan keyakinanku, tidak cukup membuatmu meyakini dan memutuskan cara dan jalanku menuju ibadah terpanjang itu lebih baik.
Pada akhirnya, keputusanku dan pilihanmu membuat kita menjadi asing. Aku dan kamu tidak akan pernah menjadi kita di dunia nyata. Aku dan kamu bisa menjadi kita hanya ada di dalam cerita.
Tidak ada lagi kata yang riuh di antara perdebatan kecil. Tidak ada lagi tawa yang berbunyi nyaring. Tidak ada lagi bujukan manis yang kubaca di aplikasi perpesanan. Kita benar-benar asing sekarang.
Tidak akan ada lagi jalan atau alasan untuk kembali. Kamu memutuskan memilih seseorang yang berkenan berjalan sesuai jalan yang kamu mau. Aku memutuskan untuk menyudahi apa yang kumulai. Aku terima, aku terima dan aku terima semuanya. Meski dengan luka yang semakin menganga dan air mata yang seringkali tertahan di pelupuk mata.
Aku pernah menangisimu hingga mengguguk, tetapi aku lebih menangisi caraku yang keliru, yang tidak diridai Allah. Aku tidak merasakan ketenangan tanpa rida-Nya, Tuan.
Aku mampu menyaksikanmu berbahagia dengan penuh kerelaan. Aku tidak akan lagi menunggu di seberang jalan atau di persimpangan doa yang pernah kulangitkan.
Aku akan meneruskan perjalanan, tanpamu. Berbahagialah di akhir musim nanti dan pada musim-musim berikutnya. Terima kasih untuk waktu dan kesempatannya, Tuan.
"Fat!" ucap seseorang sembari menepuk bahuku. Aku menoleh, tersenyum lebar saat kutahu seseorang itu ialah Ama, teman karibku, sekaligus adik sepupu dari seorang laki-laki yang baru saja membuatku terhanyut ke masa 8 bulan yang lalu.
"Kamu kenapa senyam-senyum gitu? Wajahku aneh, ya? Atau gincuku belepotan?" tanya Ama sembari merogoh tas selempangnya untuk mencari kaca kecil yang selalu dibawanya ke mana-mana.
"Enggak papa. Kamu tahu Ma, aku tadi keinget kakak sepupumu. Dan entah kenapa tadi aku terhanyut lagi ke masa lalu pada percakapan terakhir kita," ucapku lirih sembari mengalihkan pandangan ke layar notebook yang sedari tadi menyaksikan lamunanku.
Aku tidak ingin Ama melihatku menangis, apalagi Ayuk. Syukur teman karibku satu itu belum datang. Aku hanya bisa mengalihkan pandanganku ke notebook dan berpura-pura menggulirkan kursor ke segala arah agar terlihat sibuk.
"Ayuk mana sih!? Lama amat!" gerutu Ama.Â
"Tunggu aja. Kayak enggak kenal Ayuk aja, kebiasaan ngaretnya masyaallah," ucapku menenangkan Ama.
"Ma, sekalipun cara penyampaiannya menggunakan cara yang paling halus dan pelan, namanya penolakan tetep aja menyakitkan ya, kan?" ucapku spontan.
"Iyalah. Mau pakai bahasa isyarat, kode morse, namanya penolakan ya tetep menyakitkan," tukas Ama. "Eh, siapa yang nolak kamu Fat?" tanya Ama dengan tatapan penuh curiga.
"Aku enggak ditolak, tapi aku yang nolak," ucapku.
"Siapa yang kamu tolak? Aaaa, ini tentang Mas ...," ucap Ama dengan memutar kedua bola matanya sembari berpikir untuk meneruskan ucapannya.
"Ssstttt! Enggak usah disebut. Iya, kakak sepupumu. Tapi, yaudahlah. Semuanya tinggal cerita sekarang. Cuma, aku ngerasa enggak nyaman. Terakhir kita ketemu, tuh manusia diem aja. Enggak ada kata sapaan atau apa gitu kayak biasanya. Bahkan, aku tetep nyapa duluan buat memutus kecanggungan. Aku cuma pengin terus bersikap baik, meski sikapku tidak mesti diterima dengan baik," jelasku dengan suara lirih dan kepala tertunduk.
Ama menyentuh dagu dan mendongakkan kepalaku. "Hei! Enggak masalah. Bener kok, enggak semua hal baik harus diterima dengan baik. Karena memang, enggak semua orang mampu memahami niat baik kita Fat. Kamu enggak perlu tertunduk menyesali semua yang telah terjadi. Kamu menemani Mas Ko hanya sebagai teman belajar, bukan teman hidup. Dia udah membuat keputusan.
Dia pasti bahagia kok, sebab rasa bahagia tidak melulu dari apa yang kita suka lalu bisa dimiliki. Aku tahu, kamu juga enggak berniat menyakiti Mas Ko, jadi enggak masalah. Mas Ko udah memutuskan untuk bahagia meski enggak sama kamu. Makanya kamu juga harus bahagia. Mas Ko dan kamu berhak bahagia Fat," jelas Ama yang mendekapku sembari menepuk bahuku pelan.
Aku menangis mengguguk. Tidak menangis di depan Ama tidak sesuai dengan niat hatiku. Tak ada satu kata pun keluar dari mulutku. Aku terdiam di dekapan Ama. Aku hanya bergumam, aku tahu itu satu-satunya caramu menghadapi penolakan. Meski cara itu berbentuk pengabaian.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H