Mohon tunggu...
AkakSenja
AkakSenja Mohon Tunggu... Penulis - Perempuan yang terus belajar, bertumbuh, dan sembuh melalui tulisan.

Ekspresif yang aktif. Menulis untuk diri sendiri. Fotografi dan pejalan jiwa. Penikmat kopi dan penyuka senja.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Awal Mula

18 Desember 2023   01:00 Diperbarui: 18 Januari 2024   23:02 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah menghadiri pengajian rutin, bakda maghrib aku dan kedua teman dekatku sepakat berkumpul di sebuah kedai kopi langganan kami.

Seperti biasa, tanpa aku menyebutkan pesanan, Ayuk –nama panggilannya– sudah menuliskan pesananku, cappuccino hangat. Sedangkan Ama masih saja kebingungan mau memesan apa.

Sembari menunggu Ama, aku bilang pada mereka kalau aku akan lebih dulu ke tempat duduk yang biasa kami tempati.

“Oke. Kamu cuma pesen ini aja, kan!? Ada camilan lain?” tanya Ayuk.

“Mmm, enggak kayaknya. Manut kamu sama Ama aja. Kan kalian paling pinter milih-milih camilan,” jawabku sambil berjalan ke tempat duduk yang kumaksud.

Setelah beberapa langkah berjalan, aku sampai di tempat duduk yang biasa kami tempati kalau ke kedai kopi ini. Aku duduk di dekat jendela. Lalu, aku menurunkan tas ransel dan mengeluarkan sebuah notebook berwarna biru tua doff dan sebuah buku dengan sampul berwarna biru langit.

Aku menghidupkan notebook dan membuka buku pada lembar yang sudah aku tandai sebelumnya. Sembari menunggu notebook menyala dan siap digunakan, aku menatap keluar jendela. Gerimis rintik-rintik mulai membasahi jalanan. Banyak orang-orang mulai panik berlarian mencari tempat berteduh. Dan aku terhanyut dalam lamunan.

"Pastikan kamu selalu bahagia, ya?" ucapmu padaku.

Pesanmu pada percakapan terakhir kita waktu itu, rasanya menyesakkan. Padahal kamu tahu, ketika itu aku sedang tidak baik-baik saja dan itu karenamu. Bahkan untuk ke depannya, aku tidak akan bisa memastikan diriku untuk selalu baik-baik saja. Kamu tahu aku selalu memilih jalan yang panjang dan berbahaya. Namun, mengapa kamu berpesan padaku demikian? tanyaku dalam hati saat percakapan itu terjadi.

Waktu itu, aku hanya mengangguk pelan, mengisyaratkan kalau pesanmu akan terpenuhi. Aku hanya bisa meyakinkanmu dengan garis bibir yang melengkung tipis. Meski hatiku tidak karuan. Rasanya aku ingin sekali menangis dan meluapkan semuanya padamu saat itu juga.

Bila kamu masih mengingatnya, dulu aku pernah berkata bahwa apa pun tentangmu, asal kamu bahagia aku juga ikut berbahagia. Dan jika kamu terluka pun, aku juga akan merasakan hal yang sama.

Bagian terburuk dari semua itu adalah aku tidak pernah bisa merasa masa bodoh. Aku hanya merasa masa bodoh dengan apa yang aku alami atas perasaanku padamu. Aku masa bodoh dengan apa yang aku terima darimu. Secara sadar, aku mengakui bahwa aku tidak bisa menyalahkanmu atas perasaaanku padamu dan segala bentuk penolakan perasaanku terhadapmu.

Lebih anehnya lagi, aku selalu saja memberi sebanyak-banyaknya padamu. Namun, kamu tidak pernah memberiku sesuatu pun. Dan aku menyadarinya dengan pikiran yang sangat amat sadar, aku tidak bisa menyalahkanmu atas apa yang terjadi padaku. Luka-lukaku, air mataku, perasaanku, rinduku dan segala hal yang di mana itu semua berisi hanya tentangmu.

“Fat!” ucap Ama.

Aku terperanjat kaget, “Eh! Uhm! Ituloh gerimis,” ucapku gelagapan sembari mengarahkan tatapan mataku ke notebook yang sedari tadi sudah menyala.

“Kamu tuh ngalamun apa? Dari tadi dipanggil enggak nyaut-nyaut. Ituloh pesanan udah jadi, tinggal diambil," ucap Ayuk dengan nada kesal.

“Maaf-maaf. Aku ambil deh!” ucapku sambil berdiri mengambil pesanan.

“Udah di bawa ke sini semua kok. Kamu tadi enggak ngeh kan aku sama Ayuk taruh camilan di meja!?” tanya Ama pelan sembari tersenyum dan duduk di sampingku.

“Iyalah enggak ngeh, wong ngalamun!” tukas Ayuk dengan raut muka kesal.

“Udah-udah Yuk. Kita tahu kan kalau Fatimah sering ngalamun akhir-akhir ini. Sekarang waktunya kita cari tahu,” ucap Ama sembari matanya melirikku dengan tatapan curiga.

“Mmm, aku keinget ucapan Mas Dan,” ucapku spontan.

“Ngapain masih kamu inget-inget. Kan dia udah nikah Fat!" ketus Ayuk dengan raut muka tambah kesal.

“Kamu tuh goblok atau gimana sih! Sadar Fat!” tambah Ayuk sembari mengelus dada.

"Aku enggak goblok. Ya seperti itulah hati bekerja. Ketika hati itu telah ditumbuhi berbagai emosi, dan salah satunya itu emosi berbentuk cinta maka kalian akan merasa untuk terus memberi sebanyak-banyaknya, bukan menerima sebanyak-banyaknya. Aku menyadari hal itu dari kisahku sama Mas Dan. Sebanyak apa pun aku menerima, jika aku kurang atau tidak sama sekali memberi, lantas letak kebahagiaannya di mana?" jelasku pada mereka.

"Tapi, kamu tahu, kan? Cuma kamu yang memberi. Ruang hatimu, tempat berkeluh kesah, waktu dan banyak hal," ucap Ama dengan gusar.

"Ya, tentu, hanya aku. Dan di situlah kebahagiaannya. Aku merasa bahagia dengan memberi. Kalian tidak mau aku bahagia?"

"Bodoh!" tukas Ayuk dengan nada kesal dan cenderung tinggi. Sampai-sampai beberapa pengunjung dan karyawan menoleh ke arah kami. Meskipun kami tidak menggubris pandangan mereka.

"Meskipun memang perlu digaris bawahi, dalam hal memberi tidak hanya siapa yang dianggap penting, tetapi harus saling. Aku menganggap hal yang terjadi padaku sebagai pelajaran. Dan pelajaran yang aku ambil itu terletak pada kalimatku sebelum-sebelumnya.

Aku pertegas lagi, ya. Pertama, aku menyadari tidak akan bisa menyalahkan orang lain atas apa yang terjadi padaku. Perihal perasaanku yang tumbuh untuk Mas Dan, aku tidak pernah memilih untuk itu. Apalagi aku terluka sebab perasaanku itu. Kalau aku tahu akan patah hati, aku tidak akan memilih untuk jatuh hati. Bukankah itu kuasa Sang Pembolak-balik Hati? Aku hanya bisa mengendalikannya agar semuanya tetap terkendali Yuk, Ma.

Kedua, aku merasa bahagia dengan aku memberi dan aku sadar kok kalau aku tidak bisa berharap apa yang aku berikan akan kembali, terlebih dari orang yang sama, dan itu enggak masalah. Ketika aku menginginkan sesuatu dari orang lain, maka aku juga harus melakukan hal yang sama. Aku tidak bisa berharap orang lain akan mulai melakukannya, kan?" jelasku pada Ayuk dan Ama.

Ayuk dan Ama terdiam dengan penjelasanku. Mereka sering meyalahpahami apa yang aku lakukan. Kedua teman dekatku itu memang harus diberikan penjelasan panjang kali lebar agar bisa memahami.

Di sela-sela keheningan itu, aku melanjutkan ucapanku, "Sekarang, bagian tersulitnya adalah melanjutkan hidup beriringan dengan luka ini. Sebelum itu aku melihat ke belakang sekali untuk meyakinkan diriku, bahwa Mas Dan hanyalah seseorang sebagai teman belajar. Dan aku sudah cukup belajar dari Mas Dan.

Katakanlah aku telah menggantungkan harapanku pada Mas Dan di sebuah pohon pinggir jalan dan melanjutkan perjalananku dengan langkah yang yakin. Aku belajar bahwa sejatuh-jatuhnya aku, setidaknya aku disadarkan masih ada Allah tempatku kembali dan selalu berharap pada-Nya. Ada kalian sebagai perantara Allah yang selalu dukung aku meskipun kita sering beda pemikiran. Jadi, udah, ya!? Perihal Mas Dan, cukup sampai disini, ya."

“Yaudah sih. Lagian Si Dan itu udah nikah juga. Enggak penting kan, ya!” ucap Ama.

“Iyaaa, udah ih. Kita loh di sini mau me time,  mau curhat. Kok malah diceramahi sama Bu Ustazah,” seloroh Ayuk sambil tertawa kecil.

“Yeee, siapa juga yang mancing-mancing duluan!? He!? He!?” ucapku dengan nada mengejek.

“Diminum dulu kopinya, camilannya juga. Aku mau nyelesaiin bagian terakhir bab ceritaku. Setelah itu kita bebas ngobrol, oke?” tambahku sembari mengepalkan keempat jariku dan memberikan jempol pada Ayuk dan Ama. Ayuk dan Ama asyik bercengkerama sembari melahap camilan yang mereka pesan.

Sedangkan aku melanjutkan menatap layar notebook sembari jari-jemariku mengetuk tuts demi tuts kibor. Aku bergumam, pada akhirnya aku melangkahkan kaki selangkah demi selangkah tanpamu. Dan tampaknya, kamu juga demikian, Dan. Semoga berbahagia. Terima kasih untuk waktu dan kesempatannya.

***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun