Katakanlah aku telah menggantungkan harapanku pada Mas Dan di sebuah pohon pinggir jalan dan melanjutkan perjalananku dengan langkah yang yakin. Aku belajar bahwa sejatuh-jatuhnya aku, setidaknya aku disadarkan masih ada Allah tempatku kembali dan selalu berharap pada-Nya. Ada kalian sebagai perantara Allah yang selalu dukung aku meskipun kita sering beda pemikiran. Jadi, udah, ya!? Perihal Mas Dan, cukup sampai disini, ya."
“Yaudah sih. Lagian Si Dan itu udah nikah juga. Enggak penting kan, ya!” ucap Ama.
“Iyaaa, udah ih. Kita loh di sini mau me time, mau curhat. Kok malah diceramahi sama Bu Ustazah,” seloroh Ayuk sambil tertawa kecil.
“Yeee, siapa juga yang mancing-mancing duluan!? He!? He!?” ucapku dengan nada mengejek.
“Diminum dulu kopinya, camilannya juga. Aku mau nyelesaiin bagian terakhir bab ceritaku. Setelah itu kita bebas ngobrol, oke?” tambahku sembari mengepalkan keempat jariku dan memberikan jempol pada Ayuk dan Ama. Ayuk dan Ama asyik bercengkerama sembari melahap camilan yang mereka pesan.
Sedangkan aku melanjutkan menatap layar notebook sembari jari-jemariku mengetuk tuts demi tuts kibor. Aku bergumam, pada akhirnya aku melangkahkan kaki selangkah demi selangkah tanpamu. Dan tampaknya, kamu juga demikian, Dan. Semoga berbahagia. Terima kasih untuk waktu dan kesempatannya.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H