Dari belasan hasil jurnal penelitian terkait yang saya telaah, pada prinsipnya dinamika cuaca jelas memberikan pengaruh terhadap perkembangannya.
Faktor yang ketiga adalah meningkatnya aktivitas sosial masyarakat umum.
Pada awalnya menunjukkan tanda-tanda ketakutan yang berlebihan alias paranoid. Desinfektan, antiseptik (hand sanitizer) dan masker medis (surgical mask) diserbu hingga keberadaannya menjadi langka.
Setengah tahun kemudian, kewaspadaan sudah melonggar sedemikian rupa. Didorong oleh sikap pemerintah dengan imbauan berdamainya, dengan new normal--yang kemudian diganti dengan istilah adaptasi kebiasaan baru, dan terutama disebabkan oleh basic instinct, yaitu dorongan untuk tetap bertahan hidup, masalah kebutuhan perut harian.
Jika kita semua, khususnya pemerintah yang diberi amanah besar berupa kekuasaan untuk mengelola negara, tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya masa puncak dalam tiga bulan ke depan, kita benar-benar akan dihadapkan pada peristiwa horor yang sangat mengerikan.
Sistem kesehatan akan kolaps karena lonjakan jumlah pasien, upaya perawatan korban menjadi tidak maksimal, akan banyak yang terlantar.
Kematian demi kematian korban pandemi tidak terelakkan, semakin sulit untuk dicegah. Padahal sampai sekarang kita sudah kehilangan ratusan orang tenaga-tenaga medis.
Duh, Tuan-tuan yang mulia. Tuhan Yang Maha Esa telah mengaruniai kita akal yang sangat istimewa. Akal yang memampukan kita untuk bisa mengelakkan diri dari suatu peristiwa-peristiwa yang bisa mengancam kehidupan kita.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Adisasmito, memang menegaskan tak ada toleransi bagi aktivitas politik yang menimbulkan kerumunan.