Pada bulan Mei 2020, dalam sebuah tulisan saya mencoba membuat prediksi bahwa masa puncak krisis pandemi Covid-19 di negara kita akan terjadi antara bulan September dengan Desember tahun ini.
Prediksi yang berdasarkan perkembangan kasus, karakteristik virus SARS-CoV-2 penyebab Covid-19, dinamika lingkungan atau pola cuaca tahunan yang diolah oleh BMKG Indonesia dan dari pola pandemi Spanish Flu yang terjadi seabad yang lalu.
Pada bulan April yang lalu, Center for Infectious Disease Research and Policy (CIDRAP), University of Minnesota, mempublikasikan tiga skenario pola perkembangan atau gelombang pandemi dalam rentang waktu dua tahun.
Bentuk polanya sangat dipengaruhi oleh sejumlah faktor, terutama oleh faktor upaya pencegahan penularan, upaya penanggulangan dampak (mitigasi), tingkat aktivitas sosial populasi yang terdampak, karakteristik biologis penyebab pandemi dan dinamika cuaca.
Jika dilihat dari pola grafik perkembangan kasus di negara kita semenjak bulan Maret hingga bulan ini, jelas sekali kita berada di skenario yang kedua. Sampai sekarang belum ada terbentuk gelombang-gelombang yang menonjol. Sama sekali belum ada tanda-tanda pelandaian atau penurunan.
Kemungkinan besar, pola pandemi yang sedang kita hadapi akan mirip dengan pola gelombang pandemi Spanish Flu.
Faktor penyebabnya yaitu upaya pencegahan dan penanggulangan pemerintahan kita yang tidak total all out.
Terus terang saya cenderung menyepakatinya, karena hal tersebut tidak memungkinkan dari sisi perekonomian.
Faktor berikutnya adalah dinamika cuaca. Kemarin BMKG Indonesia memberitakan supaya kita mewaspadai cuaca yang ekstrim selama masa pancaroba yang sudah mulai berlangsung saat ini juga.
Beberapa bulan yang lalu saya pernah membuat tulisan yang relatif panjang mengenai pengaruh cuaca terhadap pola wabah.
Dari belasan hasil jurnal penelitian terkait yang saya telaah, pada prinsipnya dinamika cuaca jelas memberikan pengaruh terhadap perkembangannya.
Faktor yang ketiga adalah meningkatnya aktivitas sosial masyarakat umum.
Pada awalnya menunjukkan tanda-tanda ketakutan yang berlebihan alias paranoid. Desinfektan, antiseptik (hand sanitizer) dan masker medis (surgical mask) diserbu hingga keberadaannya menjadi langka.
Setengah tahun kemudian, kewaspadaan sudah melonggar sedemikian rupa. Didorong oleh sikap pemerintah dengan imbauan berdamainya, dengan new normal--yang kemudian diganti dengan istilah adaptasi kebiasaan baru, dan terutama disebabkan oleh basic instinct, yaitu dorongan untuk tetap bertahan hidup, masalah kebutuhan perut harian.
Jika kita semua, khususnya pemerintah yang diberi amanah besar berupa kekuasaan untuk mengelola negara, tidak mengantisipasi kemungkinan terjadinya masa puncak dalam tiga bulan ke depan, kita benar-benar akan dihadapkan pada peristiwa horor yang sangat mengerikan.
Sistem kesehatan akan kolaps karena lonjakan jumlah pasien, upaya perawatan korban menjadi tidak maksimal, akan banyak yang terlantar.
Kematian demi kematian korban pandemi tidak terelakkan, semakin sulit untuk dicegah. Padahal sampai sekarang kita sudah kehilangan ratusan orang tenaga-tenaga medis.
Duh, Tuan-tuan yang mulia. Tuhan Yang Maha Esa telah mengaruniai kita akal yang sangat istimewa. Akal yang memampukan kita untuk bisa mengelakkan diri dari suatu peristiwa-peristiwa yang bisa mengancam kehidupan kita.
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19, Wiku Bakti Adisasmito, memang menegaskan tak ada toleransi bagi aktivitas politik yang menimbulkan kerumunan.
Protokol pencegahan tetap diutamakan. Tetapi dalam kenyataannya di lapangan nanti, pasti sangat sulit untuk mewujudkan ketegasan itu. Saya ambil satu contoh saja dari berita yang diterbitkan hari ini.
"Sampai saat ini sudah ada 10.000 relawan yang merapat ke kami dan siap bergerak masif di masyarakat selama masa kampanye nanti," ujar ***, saat dikonfirmasi awak media.
"Tim pemenangan sampai tingkat RT juga mulai terbentuk dan akan siap untuk bergerak pada waktunya."
Ringkasnya, aktivitas politik tahunan tersebut pasti dan pasti akan meningkatkan aktivitas sosial masyarakat secara sangat signifikan.
Mungkin, mungkin pemerintah yang terkesan ngotot untuk tetap melaksanakannya karena dimotivasi juga oleh otomatis bergeraknya mesin-mesin perekonomian rakyat, untuk mempercepat pergerakan mesin besar perekonomian negara yang sedang macet-macetnya karena dihantam oleh badai besar pandemi.
Tetapi, resikonya sangat besar sekali Tuan-tuan yang mulia.
Pitih dapek dicari, nyawo indak tabali. Uang dan harta yang hilang masih dapat dicari lagi, tapi nyawa-nyawa yang hilang tak akan kembali.
Semoga pintu benak dan hatinya dibukakan supaya PILKADA ditunda dulu hingga situasi dan kondisinya lebih aman. Setidak-tidaknya hingga di awal tahun atau di pertengahan tahun depan.
(Rahmad Agus Koto/Praktisi Mikrobiologi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H