Bila kita mendengar istilah filsafat, gambaran apa yang langsung hadir di tengah kita? Orang merenung; berpikir masalah-masalah hakiki; terkadang ketuhanan; semua hal abstrak; mengawang-awang yang rasanya tak bersentuhan dengan kebutuhan kongkrit sehari-hari; malah menanyakan hal-hal yang tak perlu dan penting benar untuk masa kekinian seperti: asal-usul kehidupan, kematian, tatanan yang sudah mapan; sehingga tampak aneh dalam berpikir; bertindak; penuh kegilaan; memberontak terhadap cara berpikir yang sudah dianggap lumrah; Â pun ungkapan-ungkapan kebijaksanaan: peribahasa, kata-kata mutiara; bahkan ungkapan puitis atau potongan kalimat-kalimat sastra.
Â
Gambaran aneh ini juga diungkapkan Idrus dalam cerpennya yang terkenal: Ave Maria melalui tokoh aneh, Zulbahri, yang bisa bikin anak kecil tertawa gelak-gelak karena melihat:
Â
seorang lelaki, sedang asyik membaca buku, sambil berjalan juga. Pakaian orang itulah yang menerbitkan tertawa Adik Usup. Baju jasnya sudah robek-robek, di bagian belakang tinggal hanya benang-benang saja lagi, terkulai seperti ekor kuda. Mendengar tertawa Adik Usup, ia tertegun, berhenti dan melihat kepada kami. Ia ikut  tertawa. Sudah itu ia seperti orang berpikir dan tak lama kemudian, ia masuk ke dalam pekarangan kami. Ia memberi hormat  kepada ayah dan ibu, lalu duduk di sebelah kursi dekat meja bundar di tengah beranda itu. Ibu sudah ketakutan saja. Tanya ayah, "Tuan mencari saya?"
Â
Banyak lagi pertanyaan ayah, tapi semua dijawabnya dengan suara yang halus sekali, sehingga tak jelas kedengaran kepada kami. Segala perkakas rumah kami yang ada di beranda depan itu diperhatikannya satu persatu. Sudah itu matanya tertambat kepada majalah-majalah yang disimpan ayah di bawah meja bundar itu.
Â
Diusai-usainya majalah itu. Diambilnya sebuah, dimasukkannya ke dalam sakunya. Bukunya yang dibawanya ditinggalkannya di atas meja, lalu ia pergi pula.Â
Â
"Gila," kata ibu.
Â
"Perlahan-lahan ayah pergi ke meja bundar, diiambilnya buku orang laki-laki itu, dan sesudah beberapa lama diperhatikannya, katanya, "Hm, buku filsafat. Orang pintar juga barangkali."(Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kesembilan, 1990;13-14)
Â
Â
Semua gambaran ini tentu berasal dari ketakpahaman mengenai ilmu filsafat atau bagaimana mesti memperlakukan filsafat sebagai ilmu; bukan sekedar sebagai pandangan hidup seperti yang diajarkan nenek dan moyang kita.
Â
Apakah filsafat begitu dekat dengan kehidupan kita dan juga kaum pekerja sehari-hari yang setiap harinya bergelut dengan mesin-mesin pabrik? Berupah rendah tapi harus bangun  pagi sebelum matahari terbit dan pulang malam ketika matahari telah terbenam? Berkejaran dengan waktu ketika harus nglembur atau ngejar target dan setoran? Itupun masih: disibukkan dengan kehidupan harian: hutang sana-hutang sini; memasak; mandikan anak bila punya; (jika perempuan)  melayani suami yang pulang kadang mabuk dan minta jatah seksual? Maksa lagi; tanpa tahu bagaimana mesti menolak. Dan  maut?  Selalu dekat. Begitu dekat. Bunuh diri terbayang menjadi jalan pembebasan. Aduh filsafat!? Mana terpikirkan? Untuk apa?! Jalani sajalah hidup ini ditambah doa pasti selamat dunia akhirat sebagaimana orang-orang abad pertengahan: kaum Benediktin  bilang: Ora et Labora: Berdoa dan bekerjalah; lagi ibu bilang orang yang menerima dan menyerahkan diri pada Hyang Hidup akan selalu menerima keadilan sebab ia selalu bertindak adil. Hai,  dimana: kamu yang bijak? Di mana Negara dan Pemerintah? Di mana kamu sembunyi dari penderitaan hidupku? Bukankah filsafat berarti mencintai kebijaksanaan? Bijak sana-bijak sini ya? Inikan oportunis?! Filsafat: Anjing taik kucing; Fuck U! Fuck U...........!
Â
Semua yang jadi keresahan, kegelisahan dan bagaimana seorang  pekerja itu hidup sehari-hari termasuk memandang dan menilai hidupnya bahkan menganggap filsafat tak berguna dan memaki-maki adalah problem-problem filsafat dan tentu saja mewakili posisi pandangan sistem atau aturan-aturan  filsafat tertentu. Dengan begitu jelas bahwa filsafat bersentuhan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Ia mempengaruhi pergaulan manusia sehari-hari; saling berinteraksi antara sistem-sistem filsafat yang ada;  menjadi mapan dan dimapankan melalui sistem-sistem pandangan hidup yang sudah ada: agama, adat-istiadat, undang-undang.Â
Semua akhirnya, setiap dari kita, kaum pekerja, setiap hari berfilsafat menjawab tantangan dan pertanyaan hidup sehari-hari: 24 Jam. Sendiri maupun berkelompok. Â Dengan begitu manusia berfilsafat karenanya disebut filsuf. (dengan f huruf kecil sebab modal pertama untuk menjadi filsuf adalah berani menanyakan dan meragukan segala sesuatu baik yang eksist maupun yang tidak)
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H