Â
"Perlahan-lahan ayah pergi ke meja bundar, diiambilnya buku orang laki-laki itu, dan sesudah beberapa lama diperhatikannya, katanya, "Hm, buku filsafat. Orang pintar juga barangkali."(Idrus, Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma, Balai Pustaka, Jakarta, cetakan kesembilan, 1990;13-14)
Â
Â
Semua gambaran ini tentu berasal dari ketakpahaman mengenai ilmu filsafat atau bagaimana mesti memperlakukan filsafat sebagai ilmu; bukan sekedar sebagai pandangan hidup seperti yang diajarkan nenek dan moyang kita.
Â
Apakah filsafat begitu dekat dengan kehidupan kita dan juga kaum pekerja sehari-hari yang setiap harinya bergelut dengan mesin-mesin pabrik? Berupah rendah tapi harus bangun  pagi sebelum matahari terbit dan pulang malam ketika matahari telah terbenam? Berkejaran dengan waktu ketika harus nglembur atau ngejar target dan setoran? Itupun masih: disibukkan dengan kehidupan harian: hutang sana-hutang sini; memasak; mandikan anak bila punya; (jika perempuan)  melayani suami yang pulang kadang mabuk dan minta jatah seksual? Maksa lagi; tanpa tahu bagaimana mesti menolak. Dan  maut?  Selalu dekat. Begitu dekat. Bunuh diri terbayang menjadi jalan pembebasan. Aduh filsafat!? Mana terpikirkan? Untuk apa?! Jalani sajalah hidup ini ditambah doa pasti selamat dunia akhirat sebagaimana orang-orang abad pertengahan: kaum Benediktin  bilang: Ora et Labora: Berdoa dan bekerjalah; lagi ibu bilang orang yang menerima dan menyerahkan diri pada Hyang Hidup akan selalu menerima keadilan sebab ia selalu bertindak adil. Hai,  dimana: kamu yang bijak? Di mana Negara dan Pemerintah? Di mana kamu sembunyi dari penderitaan hidupku? Bukankah filsafat berarti mencintai kebijaksanaan? Bijak sana-bijak sini ya? Inikan oportunis?! Filsafat: Anjing taik kucing; Fuck U! Fuck U...........!
Â
Semua yang jadi keresahan, kegelisahan dan bagaimana seorang  pekerja itu hidup sehari-hari termasuk memandang dan menilai hidupnya bahkan menganggap filsafat tak berguna dan memaki-maki adalah problem-problem filsafat dan tentu saja mewakili posisi pandangan sistem atau aturan-aturan  filsafat tertentu. Dengan begitu jelas bahwa filsafat bersentuhan dengan kehidupan nyata sehari-hari. Ia mempengaruhi pergaulan manusia sehari-hari; saling berinteraksi antara sistem-sistem filsafat yang ada;  menjadi mapan dan dimapankan melalui sistem-sistem pandangan hidup yang sudah ada: agama, adat-istiadat, undang-undang.Â
Semua akhirnya, setiap dari kita, kaum pekerja, setiap hari berfilsafat menjawab tantangan dan pertanyaan hidup sehari-hari: 24 Jam. Sendiri maupun berkelompok. Â Dengan begitu manusia berfilsafat karenanya disebut filsuf. (dengan f huruf kecil sebab modal pertama untuk menjadi filsuf adalah berani menanyakan dan meragukan segala sesuatu baik yang eksist maupun yang tidak)
Â