Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siti

24 Januari 2023   20:46 Diperbarui: 24 Januari 2023   20:56 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sewaktu peristiwa 1965, banyak kawannya dan juga guru sekolahnya dikejar, ditangkap dan ada juga yang diperkosa, disiksa dan dibunuh; sebagian lagi dibuang ke Pulau Nusakambangan atau Pulau Buru atau ke penjara-penjara di Jakarta: Salemba dan Cipinang, juga yang namanya masih asing baginya: Penjara atau Kamp Planthungan.

Umurnya waktu itu 13 tahun. Dia gadis yang cantik dan dikenal periang. Dia  menari dan juga menyanyikan  Internasionale saduran Suwardi Suryaningrat yang kemudian dikenal sebagai Ki Hadjar Dewantara yang mendirikan perguruan Taman Siswa untuk mencetak kader-kader bangsa yang berpendidikan dan berpengetahuan, mencintai negeri dan anti kolonial. Tetapi sesudah 1965 itu,  dia menjadi pendiam.

"Siti, dengar kata Ayahmu ini," dia tidak membantah seperti biasanya dan tidak bertanya-tanya: untuk apa dan mengapa. Hanya diam saja,"untuk sementara waktu, kau jangan keluar rumah. Diam dan tinggal di rumah. Jangan berkumpul dan mencari kawan-kawanmu. Mereka semua itu murid-murid Lekra dan PKI. Kalau ada aparat yang ke rumah, kau jangan usil dan banyak bertanya tentang keadaan hari-hari ini atau kawan-kawanmu yang ditangkap atau hilang. Lebih baik kau diam saja dan tunggu di kamar. Baca novelmu. Mengerti, Siti?"

"Mengerti, Ayah." Siti betul-betul diam saja dan berusaha untuk mengerti dan melaksanakan perintah yaitu diam saja. Tak ada protes atau pertanyaan yang diajukan yang sering membikin bingung Ayah atau Bundanya sebagaimana dahulu dia pernah bertanya sesudah lulus sekolah dasar: mengapa namanya hanya Siti. Siti  saja.  Tidak seperti anak-anak yang lain: Siti Aminah, Siti Rubaidah, Siti Supartiningsih. Karenanya teman-temannya sering menambahkan sendiri: Siti Situn atau Siti Hinggil.  Kebetulan dia memang berbadan tinggi tapi dia tak  suka kalau dipanggil Situn. Kedengaran baginya seperti ejekan. Ayah dan Bundanya tidak bisa menjelaskan kecuali bahwa nama itu pemberian Nenek. Ayahnya sedang bertugas jauh dari rumah dan Bundanya meminta pada nenek untuk menamainya. Nenek ketika ditanya juga tidak bisa menjelaskan kecuali bahwa nama itu berarti tanah atau bumi dan setiap orang yang lahir perempuan waktu itu banyak dikasih nama Siti.

Ayahnya kemudian barangkali untuk menenangkan hatinya yang resah  menambahkan, "Satu kata bagus kok.  Banyak nabi namanya juga  satu kata saja: Adam, Hawa, Nuh,  Musa, Harun, Isa,  Maria,.....".  Tapi dia tetap tidak puas dan tidak bisa tenang. Pastilah benar, kata orang-orang bahwa satu kata untuk sebuah nama itu hanyalah orang-orang desa.

Ayahnya, seorang perwira tentara walau bukan perwira tinggi. Tentu tahu apa yang terjadi  di luar sana. Sewaktu peristiwa itu terjadi, ayahnya bertugas jauh dari keluarga. Tanpa berkabar sebelumnya, juga tanpa oleh-oleh buah tangan, tiba-tiba nongol di rumah; memerintahkan ini dan itu kepada, Nenek, Ibu dan juga Siti. Rumah menjadi sunyi. Tak ada lagu-lagu, petikan gitar atau riuh rendah suara-suara  tetangga yang berkunjung dan bermain.

Peristiwa 1965 lewat. Keluarga Siti aman. Tetapi kemudian pindah ke kota yang tak jauh dari Ibu Kota. Walau tidak terlibat G 30 S/PKI dan tidak pernah dipenjara karenanya, Siti merasakan bahwa karir Ayahnya tersendat dan pensiun lebih cepat. Untuk itu dia juga tidak pernah bertanya. Siti diam saja; melanjutkan sekolah dengan baik dan betul; belajar giat mengejar nilai hingga lulus; terus lanjut ke salah satu perguruan tinggi ternama di Ibu Kota. 

"Pasar Senin dibakar, Siti. Ayo kita lihat?!" Siti tak bergerak dan juga tidak menyahut.

"Banyak yang ditangkap, Siti. Ada Hariman Siregar dari UI. Kau kenal kan?"

"Duh," sahutnya, "aku di perpus saja. Belum selesai."

Pasar Senin yang terbakar  itu disebut Peristiwa Malari beberapa hari kemudian Siti baru tahu. Tapi ya hanya sebatas itu. Siti tidak tahu detailnya. Apa yang dituntut mahasiswa. Setiap kali teman atau orang mengajak diskusi tentang gerakan mahasiswa, Siti tidak peduli. Pun hanya diam saja walau orang berteriak marah di depannya bahwa Jepang telah menjajah lagi negeri kita dengan jebakan utang luar negeri dan membanjiri jalan-jalan dengan mobil-mobil produksinya. Perpustakaan menjadi tempat sembunyinya yang paling nyaman. Siti semakin banyak baca buku. Pun tak tergerak ketika seorang penyair  berseru bertanya di kemah mahasiswa:

"Apakah artinya kesenian

bila terpisah dari derita lingkungan

Apakah artinya berpikir

bila terpisah dari masalah kehidupan?!"

Umurnya waktu itu 22 tahun. Cantik dan semakin mempesona.  Kata penyair itu juga: "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Kata-kata?  Kata-kata adalah doa, ujar Ibunya selalu.

"Berkatalah yang baik, bukan mengancam dan mengutuk. Tuhan akan memberkati  hidupmu," pesan ibunya.

Lalu Siti pun  mengajar Sastra  di almamater dan juga menjadi isteri seorang kaya yang tidak tertarik pada puisi  dan sastra sebab katanya: tubuh dan jiwanya sendiri adalah puisi yang indah dan mempesona. Siti pun melalang buana ke banyak kota: dalam dan  luar negeri;  mulai meluluskan banyak sarjana sastra yang menulis tentang tokoh-tokoh sastra  tapi tak ingin menjadi pahlawan atau tokoh sastra apalagi Pahlawan Rakyat.

Pada tahun-tahun itu banyak penggusuran terjadi untuk pembangunan waduk. Petani-petani dikabarkan menderita karena mendapatkan ganti rugi. Mahasiswa-mahasiswa melakukan demonstrasi dan protes tapi Siti tak tahu bila ada mahasiswa yang bertanya tentang keadaan petani dan negeri.

"Bukankah pembangunan waduk baik untuk petani sehingga petani dapat meningkatkan produksi sebab air terjamin dan irigasi lancar?" tanyanya kepada seorang mahasiswa yang baru pulang dari Kedung Ombo, salah satu proyek waduk yang dibiayai Bank Dunia. Siti pun tidak tahu kalau berbagai mahasiswa dari Universtas-Universtas ternama di Jawa berkumpul di Kedung Ombo melakukan pembelaan terhadap petani yang tergusur.

"Omong kosong Orde Baru itu," jawab mahasiswa itu.

"Kenyataannya: petani diusir. Sumber ekonominya dirampas. Melawan dituduh anti Pancasila  dan  komunis," tambah seorang mahasiswi temannya. "Ayo, Ibu, kita bikin tenda solidaritas untuk petani Kedung Ombo. Seorang Pastor Katolik dari kaum minoritas saja ikut. Masak Ibu cuma diam saja?"

Ya, Siti tetap diam saja. Tidak mau terlibat. Untuk apa menyusahkan diri? Anak-anak itu terus bergerak, membikin mimbar bebas di mana saja di kampus seperti Yohanes yang berseru-seru di padang gurun.  Tidak banyak kumpulan yang terbangun tapi lagu-lagu mengalun mendayu melagukan kesengsaraan rakyat dan seruan-seruan memberanikan melawan tirani:

"Bunda, relakan darah juang kami 'tuk membebaskan rakyat..."

"Hanya ada satu kata: Lawan!"   Seru mahasiswa yang baru pulang dari Kedung Ombo itu dalam kumpulan diskusi di depan perpustakaan sastra.

Lawan? Melawan siapa? Siti bertanya pada diri sendiri. "Ingat Siti," Nenek pun pernah berkata,"perjuangan terberat itu adalah perjuangan melawan diri sendiri."

Waktu desa-desa ditenggelamkan untuk pembangunan Waduk Kedung Ombo itu umur Siti 37 tahun. Mungkin ada waduk-waduk yang lain yang dibangun seperti Kedung Ombo, tapi Siti tidak tahu. Mungkin tepatnya tidak mau tahu dan Siti selalu tidak peduli dengan berita-berita seperti itu. Siti sudah memilih lebih baik diam saja hingga menjadi seorang Doktor Sastra dan sebentar lagi  Professor Sastra. Guru Besar Sastra dari kampus ternama. Sastra dan perjuangan petani terasa betapa jauh hubungannya. 

"Matinya Seorang Petani...!"

Di luar, suara lantang bernada sopran menyerbu telinganya. "Darimana mereka mendapatkan sajak Agam Wispi?" batin Siti.

Siti melamun jauh pada masa remajanya; teman-temannya sering membacakan puisi itu baik di sekolah maupun  di panggung-panggung desa; lalu beramai bernyanyi: "Dunia sudah berganti rupa untuk kemenangan kita..." penggalan Lagu Internasionale dan penggalan lagu Buruh "Tanggal 1 Mei, Perayaan kita di seluruh dunia..." dengan riang gembira. Kata guru-gurunya waktu itu,  murid-murid  Serikat  Islam binaan Tan Malaka menyanyikan Internasionale dari rumah ke rumah orang tua anggota SI untuk menarik sumbangan kegiatan sekolah.  "Di mana teman-temanku dan guru-guruku yang ditangkap, dibuang dan dipenjarakan? Tentunya mereka sudah bebas. Apakah mereka membangun sanggar-sanggar  lagi seperti dahulu dan mengajari mahasiswa-mahasiswa itu membaca puisi-puisi Lekra?"

"Kantor PDI diserbu dan dibakar. Apakah Bu Siti tahu?" tanya Pak Rektor

"Kapan?" tanya Siti datar.  Siti sedang bersiap untuk prosesi pelantikan Dekan Fakultas Sastra. Orang desa ini akhirnya sampai juga di puncak jabatan di fakultasnya dan Siti tidak mendengar jawaban Pak Rektor karena toh Siti juga tidak peduli. Siti menatap masa depannya sendiri dan sudah selama ini Siti diam saja terhadap segala peristiwa yang mengharu biru negeri.

"Kita harus waspada. Waspada terhadap bahaya laten PKI dan kampus tidak boleh menjadi tempat berkembangnya komunisme gaya baru seperti PRD, Partai Rakyat Demokratik.  Mahasiswa-mahasiswa yang terlibat PRD atau ormas-ormasnya akan...."

Begitulah Rektor mengantarkan Siti menjadi pejabat kampus dengan suasana yang mirip tahun 1965:  akan ada pembersihan. Mahasiswa-mahasiswa yang terlibat 27 Juli dan melawan Orde Baru dikejar, ditangkap dan dipenjara. Seruan-seruan waspada komunisme gaya baru menggema di kampus tapi perlawanan terhadap Orde Baru juga tidak surut. Justru semakin membesar. Pemilu 1997 dibikin gagal. Demonstrasi meluas. Siti pun mendengar ada yang mulai bikin Bom. Penculikan aktivis PRD dan aktivis Pro Demokrasi. Penyair yang berseru: Hanya ada satu kata: Lawan! itu pun dikabarkan turut diculik. Ibu kota dijarah dan terjadi kebakaran di beberapa tempat.

"Bu Siti, lihat TV sekarang!" seru pembantu dekannya.

Presiden Suharto mundur.

Walau ada perubahan dalam bernegara dan gaya memerintah sekarang, pada dasarnya Siti tetap diam saja. Isu-isu politik, hak asasi manusia, kesejahteraan buruh atau petani terus menyeruak bahkan tuntutan untuk mengadili Suharto dan para penjahat HAM lainnya juga terdengar keras; di samping usaha-usaha perdamaian.  Demonstrasi menolak kenaikan Harga BBM selalu ramai dan surut perlahan-lahan. Lalu ramai lagi setiap menjelang pemilu yang digelar secara periodik lima tahunan. 

Ya begitulah di era reformasi, silih berganti partai-partai berkuasa dan memerintah. Saling tuduh dan saling membanggakan diri  sebagai yang terbaik walau  nepotisme, kolusi dan korupsi yang dulu mereka lawan dan hujat pada masa pemerintahan Orde Baru tetap juga tidak berkurang  bahkan mungkin merajalela. PRD, Partai yang digawangi mahasiswa dan anak-anak muda yang bintangnya terang waktu melawan Orde Baru sudah tak terdengar lagi setelah kalah dalam pemilu 1999.

Waktu itu umur Siti 47 tahun. Tidak seperti Pramoedya Ananta Toer, sastrawan tua,  kandidat Nobel, yang menyorongkan PRD sebagai jalan keluar, Siti memilih diam dan cukup nyaman menjadi Guru Sastra saja. Siti barangkali berpikir PRD akan menang dan meraih kursi di Parlemen tetapi ternyata salah. Nasib PRD seperti PSI yang namanya berkibar di saat revolusi dengan Perdana Menteri Sjahrir tetapi ternyata kalah dalam pemilu 1955.

Tahun ini: 2022. Siti hanyalah nenek tua. Guru Besar Sastra tanpa puisi. Umurnya 70 tahun. Sendiri menyempatkan diri  menikmati kopi  yang mungkin akan menjadi kopi  terakhir di kampus sastra yang semakin tidak sastrawi. Komersialiasi pendidikan dan kampus menjadi isu di mana-mana tapi toh Siti tetap diam saja. "Apa yang bisa dikerjakan oleh seorang nenek tua yang sejak remaja disuruh diam saja mengetahui teman-teman bermainnya dan juga guru-gurunya ditangkapi, dibunuh, dibuang dan dipenjara?" Siti bertanya dan setengah menghujat pada diri-sendiri berusaha mencari jawaban.  

"Siti, politik itu jahat.  Diam itu emas. Kau tak ingin bernasib sama kan seperti teman-temanmu dan guru-gurumu?" kata Nenek selalu menasehati sementara Ayah dan Bundanya lebih banyak diam dari berbagai persoalan negeri setelah Ayahnya dipensiun dini. Uang dan uang yang dicari untuk biaya anak-anak sekolah yang berjumlah enam.  Sementara itu Siti lebih memilih tenggelam dalam buku-buku.

"Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.."  Itu lagu puisi dari Wiji Thukul, penyair yang masih hilang.

"Prof Siti, coba cek NIK Anda di info pemilu KPU. Aku sudah mengecek dan namaku ada di sana, menjadi anggota Partai Politik. Aku akan protes. Tidak bisa kudiamkan ini. Ini namanya pencurian data pribadi," omel dan marah Dekan Sastra yang memaksakan diri menemui Siti sebagai bentuk hormat dan sopan santun. Dekan Sastra yang sekarang adalah salah satu muridnya, seorang perempuan dan juga tidak suka sastra berpolitik dan terlibat. Siti diam saja dan terus menikmati kopinya yang mulai dingin tapi lantas mencari KTP-nya dan menyodorkannya kepada muridnya yang telah menjadi Dekan Sastra itu. Siti memandangi wajah bekas muridnya yang telah menjadi Dekan Sastra itu. Tak ada keraguan dan tak ada kesedihan walau di luar sana ada yang resah bahwa kini kampus dalam cengkraman kapitalisme. Tampak dari wajahnya, muridnya itu sudah bahagia dan puas bisa menjadi Dekan Sastra sebagaimana dahulu dirinya.

"Prof Siti, namamu juga dicatut dan menjadi anggota partai politik. Partai politik baru pun tidak punya etika politik. Ayo kita bikin gugatan!"

Tapi Siti diam saja. Dekan Sastra yang pernah menjadi muridnya itu pun bertanya ragu.

"Apakah Prof Siti menjadi anggota Partai?"

Siti tidak menjawab. Dia diam saja dan berlalu.

Sang Hyang, 22 Sep 2022

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun