"Apakah artinya kesenian
bila terpisah dari derita lingkungan
Apakah artinya berpikir
bila terpisah dari masalah kehidupan?!"
Umurnya waktu itu 22 tahun. Cantik dan semakin mempesona. Â Kata penyair itu juga: "Perjuangan adalah pelaksanaan kata-kata." Kata-kata? Â Kata-kata adalah doa, ujar Ibunya selalu.
"Berkatalah yang baik, bukan mengancam dan mengutuk. Tuhan akan memberkati  hidupmu," pesan ibunya.
Lalu Siti pun  mengajar Sastra  di almamater dan juga menjadi isteri seorang kaya yang tidak tertarik pada puisi  dan sastra sebab katanya: tubuh dan jiwanya sendiri adalah puisi yang indah dan mempesona. Siti pun melalang buana ke banyak kota: dalam dan  luar negeri;  mulai meluluskan banyak sarjana sastra yang menulis tentang tokoh-tokoh sastra  tapi tak ingin menjadi pahlawan atau tokoh sastra apalagi Pahlawan Rakyat.
Pada tahun-tahun itu banyak penggusuran terjadi untuk pembangunan waduk. Petani-petani dikabarkan menderita karena mendapatkan ganti rugi. Mahasiswa-mahasiswa melakukan demonstrasi dan protes tapi Siti tak tahu bila ada mahasiswa yang bertanya tentang keadaan petani dan negeri.
"Bukankah pembangunan waduk baik untuk petani sehingga petani dapat meningkatkan produksi sebab air terjamin dan irigasi lancar?" tanyanya kepada seorang mahasiswa yang baru pulang dari Kedung Ombo, salah satu proyek waduk yang dibiayai Bank Dunia. Siti pun tidak tahu kalau berbagai mahasiswa dari Universtas-Universtas ternama di Jawa berkumpul di Kedung Ombo melakukan pembelaan terhadap petani yang tergusur.
"Omong kosong Orde Baru itu," jawab mahasiswa itu.
"Kenyataannya: petani diusir. Sumber ekonominya dirampas. Melawan dituduh anti Pancasila  dan  komunis," tambah seorang mahasiswi temannya. "Ayo, Ibu, kita bikin tenda solidaritas untuk petani Kedung Ombo. Seorang Pastor Katolik dari kaum minoritas saja ikut. Masak Ibu cuma diam saja?"