Mohon tunggu...
AJ Susmana
AJ Susmana Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

AJ Susmana, dilahirkan di Klaten. Dapat dihubungi via Email ajsusmana@yahoo.com Selain menulis, berbagai isu sosial, budaya dan politik, juga "menulis" lagu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Siti

24 Januari 2023   20:46 Diperbarui: 24 Januari 2023   20:56 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Begitulah Rektor mengantarkan Siti menjadi pejabat kampus dengan suasana yang mirip tahun 1965:  akan ada pembersihan. Mahasiswa-mahasiswa yang terlibat 27 Juli dan melawan Orde Baru dikejar, ditangkap dan dipenjara. Seruan-seruan waspada komunisme gaya baru menggema di kampus tapi perlawanan terhadap Orde Baru juga tidak surut. Justru semakin membesar. Pemilu 1997 dibikin gagal. Demonstrasi meluas. Siti pun mendengar ada yang mulai bikin Bom. Penculikan aktivis PRD dan aktivis Pro Demokrasi. Penyair yang berseru: Hanya ada satu kata: Lawan! itu pun dikabarkan turut diculik. Ibu kota dijarah dan terjadi kebakaran di beberapa tempat.

"Bu Siti, lihat TV sekarang!" seru pembantu dekannya.

Presiden Suharto mundur.

Walau ada perubahan dalam bernegara dan gaya memerintah sekarang, pada dasarnya Siti tetap diam saja. Isu-isu politik, hak asasi manusia, kesejahteraan buruh atau petani terus menyeruak bahkan tuntutan untuk mengadili Suharto dan para penjahat HAM lainnya juga terdengar keras; di samping usaha-usaha perdamaian.  Demonstrasi menolak kenaikan Harga BBM selalu ramai dan surut perlahan-lahan. Lalu ramai lagi setiap menjelang pemilu yang digelar secara periodik lima tahunan. 

Ya begitulah di era reformasi, silih berganti partai-partai berkuasa dan memerintah. Saling tuduh dan saling membanggakan diri  sebagai yang terbaik walau  nepotisme, kolusi dan korupsi yang dulu mereka lawan dan hujat pada masa pemerintahan Orde Baru tetap juga tidak berkurang  bahkan mungkin merajalela. PRD, Partai yang digawangi mahasiswa dan anak-anak muda yang bintangnya terang waktu melawan Orde Baru sudah tak terdengar lagi setelah kalah dalam pemilu 1999.

Waktu itu umur Siti 47 tahun. Tidak seperti Pramoedya Ananta Toer, sastrawan tua,  kandidat Nobel, yang menyorongkan PRD sebagai jalan keluar, Siti memilih diam dan cukup nyaman menjadi Guru Sastra saja. Siti barangkali berpikir PRD akan menang dan meraih kursi di Parlemen tetapi ternyata salah. Nasib PRD seperti PSI yang namanya berkibar di saat revolusi dengan Perdana Menteri Sjahrir tetapi ternyata kalah dalam pemilu 1955.

Tahun ini: 2022. Siti hanyalah nenek tua. Guru Besar Sastra tanpa puisi. Umurnya 70 tahun. Sendiri menyempatkan diri  menikmati kopi  yang mungkin akan menjadi kopi  terakhir di kampus sastra yang semakin tidak sastrawi. Komersialiasi pendidikan dan kampus menjadi isu di mana-mana tapi toh Siti tetap diam saja. "Apa yang bisa dikerjakan oleh seorang nenek tua yang sejak remaja disuruh diam saja mengetahui teman-teman bermainnya dan juga guru-gurunya ditangkapi, dibunuh, dibuang dan dipenjara?" Siti bertanya dan setengah menghujat pada diri-sendiri berusaha mencari jawaban.  

"Siti, politik itu jahat.  Diam itu emas. Kau tak ingin bernasib sama kan seperti teman-temanmu dan guru-gurumu?" kata Nenek selalu menasehati sementara Ayah dan Bundanya lebih banyak diam dari berbagai persoalan negeri setelah Ayahnya dipensiun dini. Uang dan uang yang dicari untuk biaya anak-anak sekolah yang berjumlah enam.  Sementara itu Siti lebih memilih tenggelam dalam buku-buku.

"Apa guna banyak baca buku kalau mulut kau bungkam melulu.."  Itu lagu puisi dari Wiji Thukul, penyair yang masih hilang.

"Prof Siti, coba cek NIK Anda di info pemilu KPU. Aku sudah mengecek dan namaku ada di sana, menjadi anggota Partai Politik. Aku akan protes. Tidak bisa kudiamkan ini. Ini namanya pencurian data pribadi," omel dan marah Dekan Sastra yang memaksakan diri menemui Siti sebagai bentuk hormat dan sopan santun. Dekan Sastra yang sekarang adalah salah satu muridnya, seorang perempuan dan juga tidak suka sastra berpolitik dan terlibat. Siti diam saja dan terus menikmati kopinya yang mulai dingin tapi lantas mencari KTP-nya dan menyodorkannya kepada muridnya yang telah menjadi Dekan Sastra itu. Siti memandangi wajah bekas muridnya yang telah menjadi Dekan Sastra itu. Tak ada keraguan dan tak ada kesedihan walau di luar sana ada yang resah bahwa kini kampus dalam cengkraman kapitalisme. Tampak dari wajahnya, muridnya itu sudah bahagia dan puas bisa menjadi Dekan Sastra sebagaimana dahulu dirinya.

"Prof Siti, namamu juga dicatut dan menjadi anggota partai politik. Partai politik baru pun tidak punya etika politik. Ayo kita bikin gugatan!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun