Pernah kah terlintas di pikiranmu?
Saya sendiri tidak pernah terlintas pemikiran sejauh itu.
Sejak saat itu saya mulai pesimis terhadap kemampuan yang saya sombongkan itu. Saya mulai berpikir bagaimana membuat cerita yang menarik, penuh intrik di dalamnya, dan tidak membuat pembaca cepat bosan. Sama halnya dengan puisi, puisi yang bermakna tidak lahir begitu saja.Â
Dia perlu latihan, latihan dan mengandung lebih banyak kosa kata di dalam kepala agar melahirkan puisi dengan diksi yang indah. Ternyata menulis dan memgarang tidak semudah orang-orang mengatakannya.
Ada satu mata kuliah yang membuat saya sendiri muak dengan adanya mata kuliah ini, yaitu Telaah Puisi. Rasanya ingin jungkir balik, ketika ada sebuah puisi yang sarat makna lalu kita disuruh menelaahnya baik dari unsur instrinsik, unsur ekstrinsik, unsur batin, dan unsur fisik.
1 puisi yang kurang dari 10 larik akan menciptakan 10 lembar hasil telaah. Mulai dari kata perkata, perkalimat, perlarik dan perbait akan dibahas, dikupas. Rasanya ingin marah-marah kalau ada tugas Telaah Puisi begini.Â
Kalau bisa, saya gak mau ambil mata kuliah ini. Tingkat kesulitannya bagi saya tidak ada yang menandingi. Â Tapi jangan sekali-kali disamakan dengan ilmu pasti, ya. Ini beda jalur~.
Ada lagi, hal yang kerap dilontarkan orang-orang awam adalah prospek pekerjaan. Prospek pekerjaan lulusan Sastra Indonesia itu tidak kalah menjamur sebetulnya dengan lulusan jurusan-jurusan lain. Cuma kalah pamor saja kayanya. Bagian ini menjadi perspektif yang cukup buruk, ya. Pengalaman saya sendiri sering kali menemui pertanyaan-pertanyaan remeh seperti,
"Lulusan Sastra kerjanya jadi apa, sih?"
"Jadi guru Bahasa Indonesia, ya?"
"Lulusnya jadi sastrawan, ya?"