"Di sini lebih tenang," jawabku tanpa beralih pandang.
"Kamu tahu kan, kamu nggak bisa seperti ini terus?"
Aku mendengus, separuh hati. "Apa maksudmu?"
"Kamu bisa pergi, Lin. Atau setidaknya... berhenti mengingat langit yang nggak lagi sama," katanya, memandang lurus ke arahku. "Kepergian Candra itu bukan salah kamu."
Dua kalimat itu cukup untuk mengguncang pertahananku yang sudah rapuh. Aku menunduk, menggigit bibir untuk menghentikan getar di dada.
"Kalau aku ikut waktu itu, mungkin hasilnya beda," ucapku lirih.
"Tapi kamu nggak ikut, Lin," Rinai memotong dengan suara yang tajam tetapi lembut. "Dan itu bukan salah siapa-siapa. Kadang semesta memang kejam tanpa alasan."
Aku diam, tidak membantah. Sebagai sahabatku, Rinai terlalu mengenalku. Dia tahu aku masih membawa rasa bersalah karena membiarkan Candra mendaki sendirian ke gunung itu, meski aku tahu betul rute pendakian musim itu sedang buruk. Tetapi dia keras kepala. Dan aku? Aku bahkan tidak berusaha lebih keras untuk menghentikannya.
Rinai menghela napas panjang, kemudian berdiri untuk mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah buku bersampul cokelat muda, dengan pinggiran halaman yang sedikit menguning.
"Kamu tahu ini?" Dia menunjukkan buku itu. Aku menggeleng.
"Ini buku catatan yang Candra selalu bawa," katanya sambil menyerahkan buku itu kepadaku. "Petugas SAR menemukannya di dekat sebuah gua, di puncak. Aku nggak tahu kenapa mereka baru menyerahkannya sekarang."