Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku duduk di balik jendela ini, mencoba menghitung bintang yang seakan bertambah setiap kamu tiada. Entah kenapa langit malam kini terasa begitu dekat, seperti bisa kugapai dengan ujung jariku, tetapi selalu saja luput. Kamu menghilang setelah sebuah perjalanan yang katanya cuma "sebentar." Perjalanan yang hingga kini tak pernah memberikan kepastian, kecuali satu, aku tetap di sini.
"Kenapa harus pergi jauh?" tanyaku waktu itu, mencoba menahan sekuat mungkin.
"Langit terlalu indah kalau cuma dilihat dari bawah," jawabmu dengan ringan, seperti mengabaikan gelombang kecemasan dalam nadaku.
"Tapi kamu bisa tinggal. Kita cari langit yang lebih indah bersama."
Kamu tersenyum tipis, seperti mengalah. "Langit yang aku cari beda, Alin. Dan kamu nggak usah khawatir. Aku pasti kembali."
Itu malam terakhir kita berbincang, dan sejak itu kamu seolah lebur menjadi titik kecil di galaksi yang tak pernah lagi kutemukan.
Hari ini, seperti malam-malam sebelumnya, aku duduk dengan setengah sadar memandangi cangkir kopi yang terus mendingin. Dalam diam, aku sering bicara pada dirimu yang tak lagi ada. Kadang membahas hal remeh yang pernah jadi candaan kita. Kadang sekadar minta penjelasan kenapa memilih pergi. Dan kadang aku ingin marah, pada waktu, pada takdir, pada langit malam yang selalu bungkam.
"Apa kamu pernah merasa bersalah meninggalkan aku?" Itu kalimat yang selalu kupertanyakan tanpa jawaban.
Ketika teman-teman mulai menyerah menyuruhku berhenti, aku hanya diam. Bukan karena aku menutup telinga, tetapi karena aku sendiri masih percaya, mungkin malam ini, atau besok malam, kamu akan muncul kembali di bawah jendela ini, dengan senyuman sama seperti saat kita berpisah.
Bulan ini, Rinai, sahabat kita berdua, datang mengunjungiku di rumah. Dia membawa buah tangan berupa seikat bunga matahari yang terlihat segar, seolah baru saja dipetik dari kebun belakang.
"Kamu masih di sini, Lin?" tanyanya begitu melihatku duduk di kursi tua dekat jendela. Dia meletakkan bunga matahari itu di meja kecil, lalu duduk di depanku.
"Di sini lebih tenang," jawabku tanpa beralih pandang.
"Kamu tahu kan, kamu nggak bisa seperti ini terus?"
Aku mendengus, separuh hati. "Apa maksudmu?"
"Kamu bisa pergi, Lin. Atau setidaknya... berhenti mengingat langit yang nggak lagi sama," katanya, memandang lurus ke arahku. "Kepergian Candra itu bukan salah kamu."
Dua kalimat itu cukup untuk mengguncang pertahananku yang sudah rapuh. Aku menunduk, menggigit bibir untuk menghentikan getar di dada.
"Kalau aku ikut waktu itu, mungkin hasilnya beda," ucapku lirih.
"Tapi kamu nggak ikut, Lin," Rinai memotong dengan suara yang tajam tetapi lembut. "Dan itu bukan salah siapa-siapa. Kadang semesta memang kejam tanpa alasan."
Aku diam, tidak membantah. Sebagai sahabatku, Rinai terlalu mengenalku. Dia tahu aku masih membawa rasa bersalah karena membiarkan Candra mendaki sendirian ke gunung itu, meski aku tahu betul rute pendakian musim itu sedang buruk. Tetapi dia keras kepala. Dan aku? Aku bahkan tidak berusaha lebih keras untuk menghentikannya.
Rinai menghela napas panjang, kemudian berdiri untuk mengambil sesuatu dari tasnya. Sebuah buku bersampul cokelat muda, dengan pinggiran halaman yang sedikit menguning.
"Kamu tahu ini?" Dia menunjukkan buku itu. Aku menggeleng.
"Ini buku catatan yang Candra selalu bawa," katanya sambil menyerahkan buku itu kepadaku. "Petugas SAR menemukannya di dekat sebuah gua, di puncak. Aku nggak tahu kenapa mereka baru menyerahkannya sekarang."
Tangan tremorku menggapai buku itu. Halaman depannya kosong, kecuali jejak guratan pensil di sudut kanan bawah. Mungkin tangan Candra sempat mengetuk-ngetukkan pensil di sana, kebiasaannya kalau sedang bingung memulai tulisan.
Aku membuka halaman pertama. Ada satu kalimat, tergores rapi dengan tulisan tangan yang kukenali betul.
"Langit di sini lebih tinggi dari yang kubayangkan, Alin. Kamu pasti suka."
Duniaku seperti berputar pelan, tetapi cukup keras hingga mengoyak luka-luka lama yang kucoba diamkan selama setahun ini. Aku membuka halaman kedua. Kali ini ada sketsa sederhana, dua siluet yang saling menggandeng tangan. Aku mengenali gambar itu; itu kita berdua, digambar dengan gaya sederhana tetapi penuh perasaan.
"Dia bahkan menulis hingga halaman terakhir," bisik Rinai.
Aku mengangguk kecil, lalu memeluk buku itu erat-erat. "Terima kasih."
Rinai tersenyum tipis, lalu meninggalkanku sendirian di ruang tamu.
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam tiga ratus enam puluh lima hari, aku merasa Candra kembali hadir, bukan dalam bentuk tubuh, tetapi dalam catatannya, dalam kenangan yang terkubur, dan dalam sketsa kecilnya yang tidak sempurna, tetapi selalu terasa nyata.
Aku menatap ke luar jendela lagi, dan di langit yang gelap, ada satu bintang yang berkilau lebih terang dari biasanya. Bintang itu seperti berbisik, memintaku berhenti berdiam.
Dan aku tahu, mungkin sudah waktunya.
Sudah tiga ratus enam puluh lima malam sejak kamu pergi. Aku berdiri di ambang pintu rumah, memeluk buku kecilmu sebelum meletakkannya di meja dekat bunga matahari yang kini mulai layu.
"Mungkin aku nggak akan menemukanmu di puncak-puncak langit, Can, tapi aku akan terus mencari. Sampai kapanpun."
Malam itu, aku menutup jendela untuk terakhir kalinya, bersiap melangkah maju ke luar rumah, ke tempat langit malam bisa kulihat tanpa rintangan.
Aku berharap, suatu saat nanti, kamu juga akan menemukan jalan pulang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI