Mohon tunggu...
Wiratmaji AdiPermana
Wiratmaji AdiPermana Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi bernafas dengan banyak gaya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kopi dan Kebetulan Part 1 "Pagi Yang Tak Biasa"

22 Oktober 2024   20:00 Diperbarui: 26 Oktober 2024   22:37 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Prolog:

Ada pepatah yang mengatakan bahwa kehidupan adalah rangkaian kebetulan. Satu kebetulan kecil bisa mengubah seluruh arah hidup seseorang. Bagi Fira, hidupnya selalu terencana---dari waktu bangun tidur hingga kapan ia harus menyeruput kopi pertamanya. Ia tipe orang yang percaya bahwa kesuksesan berasal dari persiapan, bukan dari kebetulan.

Namun, pada suatu pagi yang tampaknya biasa di sebuah kafe kecil di sudut kota, Fira akan segera menyadari bahwa tidak semua hal dalam hidup bisa direncanakan. Kadang-kadang, justru kebetulan-kebetulan kecil yang mengubah segalanya.

Ia duduk di sudut meja favoritnya, seperti biasa. Laptop terbuka, kopi di sebelahnya, dan tatapan kosong yang terfokus pada layar yang masih kosong. Seminggu sudah ia berjuang mencari kata-kata, mencoba menyelesaikan naskah novel yang terus buntu. Hingga, tanpa diduga, seseorang masuk ke dalam hidupnya---seseorang yang membawa serta segelas kopi dan segudang hal tak terduga.

Siapa sangka, pertemuan yang begitu sederhana dan kebetulan itu bisa mengubah cara Fira memandang hidup. Satu tegukan kopi, satu percakapan ringan, dan satu kebetulan yang akan membuat hatinya berdebar dengan cara yang tidak pernah ia rencanakan.

Dan di sinilah, cerita mereka dimulai.

Bab 1: Pagi yang Tak Biasa

Fira duduk di sudut favorit kafe itu, tempat di mana ia selalu merasa paling nyaman. Kafe ini bukan hanya sekadar tempat untuk menikmati secangkir kopi hangat, tetapi juga pelarian dari keruwetan hidupnya. Di luar, orang-orang berlalu-lalang, suara kendaraan bising, dan hiruk-pikuk kota terus berdenyut. Tapi di sini, di dalam dinding yang penuh poster vintage dan aroma biji kopi yang baru disangrai, Fira merasa dunia sedikit lebih tenang.

Laptopnya menyala di hadapan, dan layar kosong yang menatapnya seperti ejekan tanpa kata. Naskah novel yang seharusnya sudah rampung kini masih terhenti di bab pertama. Setiap kali jari-jarinya mendekati tuts keyboard, otaknya malah terasa kaku, beku. Mungkin ini yang dinamakan "writer's block", atau mungkin kopi ini kurang kuat, pikirnya sambil menyeruput cappuccino yang sudah hampir dingin.

"Serius, aku perlu keajaiban," gumamnya.

Saat itulah, pintu kafe terbuka dan seseorang masuk dengan langkah tergesa-gesa. Pria itu tampak sangat sibuk---rambutnya sedikit berantakan, dan ada kantung plastik kecil di tangan kirinya, seolah ia baru saja selesai berbelanja di minimarket terdekat. Pandangannya berkeliling mencari meja kosong, tetapi semua sudah terisi, kecuali kursi kosong di seberang Fira.

Dengan ragu-ragu, pria itu berjalan menuju meja Fira, tampak seperti seseorang yang sedang mengejar waktu.

"Maaf, bisa duduk di sini? Meja lain penuh, dan aku benar-benar butuh duduk sebentar." Suaranya terdengar terdesak, tapi sopan.

Fira mendongak. Matanya menyapu penampilan pria itu---kaosnya sedikit kusut, dengan jaket denim yang terlihat sudah dipakai selama beberapa hari tanpa cuci. Ia bukan tipe pria yang biasanya Fira temui di kafe ini, tempat yang biasanya dipenuhi pekerja kantoran rapi dengan laptop mengkilap. Tapi Fira tak punya alasan untuk menolak.

"Silakan saja," jawabnya, meski dalam hatinya ia berharap pria itu tidak akan terlalu banyak bicara.

Pria itu langsung duduk dan menghela napas panjang. Ia memandang sekeliling seperti memastikan bahwa ia benar-benar di kafe dan bukan dalam mimpi buruk. Setelah itu, ia berbalik dan tersenyum pada Fira, senyum yang sedikit canggung namun hangat.

"Namaku Ghean, dan aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau berbagi ruang ini sebentar. Pagi ini agak... kacau," katanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menatap layar dengan alis berkerut.

Fira tersenyum tipis. "Fira," katanya singkat. Lalu, ia kembali menatap layar laptopnya, mencoba tampak fokus pada naskah yang masih kosong itu. Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini, seolah kehadiran Ghean telah mengubah dinamika tenang di kafe itu.

Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang aneh, di mana hanya terdengar suara mesin espresso dan dentingan gelas dari barista di belakang konter. Fira mendapati dirinya terusik. Bukan karena Ghean ribut, melainkan karena pria itu terlalu tenang untuk situasi "kacau" yang baru saja ia sebutkan.

"Tumben kafe ini penuh banget ya pagi-pagi," komentar Ghean, mungkin merasa perlu memecah keheningan.

Fira mengangguk, tidak begitu tertarik untuk melanjutkan percakapan. Namun, sesuatu dalam dirinya merasa bersalah karena terlalu kaku.

"Apa kamu sering ke sini?" tanya Ghean lagi, kali ini dengan ekspresi sedikit penasaran.

Fira akhirnya menoleh padanya. "Sering. Ini tempat favoritku buat kerja. Lebih tenang daripada rumah atau kantor."

Ghean mengangguk seolah mengerti. "Aku juga. Maksudku, kalau aku tidak terlambat seperti sekarang. Biasanya aku datang buat santai sebentar sebelum mulai hari yang panjang."

Fira tertawa kecil. "Terlambat? Dari cara kamu masuk tadi, kupikir kamu sedang melarikan diri dari sesuatu."

Ghean tersenyum sambil menunduk, seolah malu mengakui. "Hampir benar. Aku harus segera ke kantor, tapi aku butuh kopi dulu. Percayalah, aku tidak bisa berfungsi tanpa dosis kafein pagi ini."

"Jadi, kamu penggemar berat kopi?" Fira akhirnya mulai sedikit tertarik.

"Penggemar kopi? Lebih dari itu. Kopi adalah penyelamat hidup. Tanpa kopi, aku tidak yakin bisa menyelesaikan hari dengan benar." Ghean tertawa kecil, dan Fira mendapati dirinya tersenyum lagi. Percakapan yang ringan, meski tidak disengaja, perlahan-lahan membuat suasana di meja mereka terasa lebih santai.

Lalu, datanglah pesanannya---secangkir Americano panas yang tampaknya terlalu pahit untuk orang kebanyakan. Ghean menatap kopinya dengan penuh rasa syukur, seperti prajurit yang baru saja menerima amunisi di medan perang.

Fira menatapnya dengan penasaran. "Americano? Kenapa enggak cappuccino atau latte? Itu lebih populer."

Ghean menggeleng, "Americano itu seperti hidup---pahit, tapi tetap bisa dinikmati kalau kita tahu caranya."

Fira terkekeh. "Wow, puitis juga ternyata. Siapa sangka filosofi hidup bisa didapat dari secangkir kopi hitam?"

"Yah, begitulah. Pahitnya membuat kita sadar kalau yang manis itu hanya sesekali hadir, tapi tetap berharga," jawab Ghean dengan senyum tipis.

Mereka berdua tertawa, dan untuk pertama kalinya dalam seminggu terakhir, Fira merasa rileks. Ada sesuatu tentang cara Arga melihat dunia yang membuatnya sedikit lupa pada frustrasi naskahnya. Mungkin, pikir Fira, ini jenis kebetulan yang ia butuhkan---sesuatu yang tak terencana, seperti pertemuan tak disengaja di kafe pagi ini.

BERSAMBUNG MINGGU DEPAN

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun