Dengan ragu-ragu, pria itu berjalan menuju meja Fira, tampak seperti seseorang yang sedang mengejar waktu.
"Maaf, bisa duduk di sini? Meja lain penuh, dan aku benar-benar butuh duduk sebentar." Suaranya terdengar terdesak, tapi sopan.
Fira mendongak. Matanya menyapu penampilan pria itu---kaosnya sedikit kusut, dengan jaket denim yang terlihat sudah dipakai selama beberapa hari tanpa cuci. Ia bukan tipe pria yang biasanya Fira temui di kafe ini, tempat yang biasanya dipenuhi pekerja kantoran rapi dengan laptop mengkilap. Tapi Fira tak punya alasan untuk menolak.
"Silakan saja," jawabnya, meski dalam hatinya ia berharap pria itu tidak akan terlalu banyak bicara.
Pria itu langsung duduk dan menghela napas panjang. Ia memandang sekeliling seperti memastikan bahwa ia benar-benar di kafe dan bukan dalam mimpi buruk. Setelah itu, ia berbalik dan tersenyum pada Fira, senyum yang sedikit canggung namun hangat.
"Namaku Ghean, dan aku akan sangat berterima kasih kalau kamu mau berbagi ruang ini sebentar. Pagi ini agak... kacau," katanya sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana dan menatap layar dengan alis berkerut.
Fira tersenyum tipis. "Fira," katanya singkat. Lalu, ia kembali menatap layar laptopnya, mencoba tampak fokus pada naskah yang masih kosong itu. Namun, ada sesuatu yang berbeda pagi ini, seolah kehadiran Ghean telah mengubah dinamika tenang di kafe itu.
Detik demi detik berlalu dalam keheningan yang aneh, di mana hanya terdengar suara mesin espresso dan dentingan gelas dari barista di belakang konter. Fira mendapati dirinya terusik. Bukan karena Ghean ribut, melainkan karena pria itu terlalu tenang untuk situasi "kacau" yang baru saja ia sebutkan.
"Tumben kafe ini penuh banget ya pagi-pagi," komentar Ghean, mungkin merasa perlu memecah keheningan.
Fira mengangguk, tidak begitu tertarik untuk melanjutkan percakapan. Namun, sesuatu dalam dirinya merasa bersalah karena terlalu kaku.
"Apa kamu sering ke sini?" tanya Ghean lagi, kali ini dengan ekspresi sedikit penasaran.