Kalau yang namanya hak diberikan kepada robot masih bisa diprogram sesuai dengan kebutuhan, tapi jika diberikan kepada manusia bisa jadi akan disalahgunakan atas dalih manusiawi. Hak itu adalah kekuasaan, wewenang yang berpeluang untuk disalahgunakan, kalau tidak ada Standar Operasional Prosedur (SOP).
Seperti dilansir Tempo.co, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Indonesia, Dian Puji Simatupang, menilai Presiden Joko Widodo atau Jokowi perlu menerbitkan dasar hukum untuk memberi kewenangan hak veto kepada menteri koordinator.
Dian menilai memang sudah seharusnya para menko mempunyai wewenang untuk melakukan koordinasi, integrasi, sinkronisasi, dan harmonisasi regulasi dan kebijakan dari kementerian di bawah koordinasinya.
Masih menurut Dian, tidak ada dasar hukum pemberian hak veto kepada para menko. Sehingga, Jokowi cukup menerbitkan perpres baru terkait kewenangan tersebut.Â
Dengan menerbitkan perpres tentang kementerian yang sudah ada dengan memperkuat wewenang menko membatalkan peraturan menteri atau kebijakan di bawah kementeriannya masing-masing.
Bisa saja Menko bertindak wewenang-wenang dengan adanya hak Veto, ada tiga hal yang harus dilakukan Menko jika sudah memiliki hak Veto menurut Dian, tiga hal ini sangat penting untuk dijadikan acuan dalam pelaksanaannya.
Pertama, menko harus menyusun standar operasional prosedur tentang tata cara pengevaluasian dan pelaksanaan tindak lanjut peraturan atau kebijakan kementerian dan lembaga.
Kedua, harus ada kriteria atau indikator mengenai peraturan atau kebijakan yang disharmoni, over regulasi, dan over birokrasi. "Jadi mempermudah menteri atau kepala lembaga memahaminya," ujarnya.
Ketiga, Kementerian Hukum dan HAM dan Badan Pembinaan Hukum Nasional perlu dilibatkan soal pembatalan tersebut. Tujuannya agar keduanya sebagai lembaga yang punya wewenang mencantumkan regulasi dalam berita negara dapat juga dibatalkan dalam berita negara.
Apa yang disampaikan Dian diatas ada benarnya, supaya Menko juga punya rambu-rambu dalam menggunakan hak Veto. Ada kecenderungan seseorang diberikan wewenang dan kekuasaan untuk bertindak melebihi wewenang dan kekuasaannya.
Terutama terkait indikator disharmoni, over regulasi, dan over birokrasi. Menteri sebagai eksekutor ada kecenderungan melakukan hal itu, namun tetap harus disamakan persepsinya, apa itu disharmoni, over regulas, dan over birokrasi, sehingga bukan atas dasar persepsi sepihak.