Saya tarik nafas dalam dalam. Ada rasa iri mendengar cerita miss Cicih soal keluarga besarnya. Kebersamaan itu hanya sebentar saya rasakan saat saya masih kecil. Berbagai persoalan dalam keluarga memaksa saya untuk mandiri sejak dini. Meski begitu saya masih beruntung, punya banyak saudara dan sahabat yang menguatkan dan akhirnya menjadi keluarga. Lalu bagaimana dengan korban perang di timur tengah sana yang kehilangan sebagian atau seluruh keluarga. Yang terpaksa dan dipaksa berpisah karena perang. Keluarga imigran yang terpaksa mati sia sia di tengah laut.
Tidak perlu jauh jauh keluar negeri, disini, perceraian artis hanya karena sudah tidak cocok dengan pasangan jamak terjadi. Terus bagaimana bia mengharapkan keluarga yang harmonis, yang bisa dijadikan tempat berlindung dan tempat belajar kasih sayang apabila begitu mudahnya bercerai? Belum lagi yang orang tuanya menyiksa anak. Anak kok disiksa? Apa kesalahan anak itu sudah diluar batas sampai harus disiksa? Kalo anak salah dan keliru kan wajar, wong namanya anak anak.
Sementara miss Cicih dengan gembira mengisahkan kasih sayang papa mamanya, sukacita keluarganya. Bibir mungilnya berkicau riang. Seperti tidak ada akhir, ceritanya masih mengalir tanpa peduli apakah saya mendengarkan atau tidak. Saya sungguh tersiksa dibuatnya. Sayup sayup terdengar lagu ciptaan mbah Atmowiloto Selamat pagi emak.....Selamat pagi Abah......Mentari hari ini berseri indah........
Â
Jakarta, 1 Oktober 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H