keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahaannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Menyelaraskan diri adalah jalan untuk mengurangi rasa gelisah akibat perasaan terasing. Menyatukan dengan cara menyelaraskan diri tidak dilakukan dengan keras dan kasar tetapi dengan tenang, dan disiplin. Seringkali ini tak cukup untuk meredakan kegelisahan akibat terasing. Kecanduan alkohol, obat-obatan, seks kompulsif, bahkan bunuh diri adalah gejala-gejala kegagalan dalam menyelaraskan diri. Penyesuaian dengan kelompok, yaitu adat-istiadat, kebiasaan dan kepercayaan bahwa hal ini menurut Erich Fromm menemukan perkembangan yang besar.
Penyelarasan atau kesatuan yang diperoleh dalam kerja produktif tidaklah interpersonal: kesatuan yang diperoleh kesatuan orgiastik bersifat sementara; kesatuan yang diperoleh dengan peleburan atau konformitas hanyalah kesatuan semu. Semua itu hanya jawaban sebagian dari eksistensi, jawaban lengkap muncul saat meraih penyatuan interpersonal, penyatuan dengan orang lain, dalam cinta.
Hasrat bersatu dengan orang lain adalah perjuangan paling kuat manusia. Itulah gairah paling dasar, kekuatan yang menjaga klan, keluarga, masyarakat. Gagal meraihnya menyebabkan kegilaan atau kehancuran – kehancuran diri maupun orang lain. Tanpa cinta, kemanusiaan tak mampu bertahan barang sehari.
Cinta berawal dari mata turun ke hati, Mencintai dengan ketertarikan fisik memangnya salah ? Ya gaklah sah-sah aja kok mencintai karena karakter wajah seseorang “cinta itu dari mata turun kehati bukan ?” tapi, seharusnya cinta kita tidak berhenti hanya pada ketertarikan fisik saja, ia harus berkembang kearah yang lebih hakiki yaitu “inner beauty”.
Karakter wajah dan badan seseorang itu sesuatu yang sudah terberi, tidak bisa kita memesan untuk tipe-tipe wajah tertentu pada saat sebelum kita dilahirkan; setiap manusia memiliki keunikan wajah dan tubuhnya sendiri. Berbeda dengan kepribadian, hal itu terbentuk dari pergumulan kita sehari-hari dengan orang lain selama pertumbuhan kita sampai kita mati, “Memang ada takdir yang melingkupi hidup kita tapi, bagaimana kita hidup merupakan sesuatu yang ada ditangan kita”
Memangnya inner beauty itu apasih kok bisa kita bentuk ? inner beauty merupakan kecantikan yang ada pada jiwa kita seperti akhlak dan kecerdasan, hal ini dibahas juga oleh Plato seperti kebaikan moral. Lebih luas lagi menurut Reid, kecerdasan, selera dan pandangan hidup juga merupakan sebuah inner beauty.
Inner beauty dibentuk dengan cara mencari eksistensi diri yang autentik – tak apa jika awalnya dibilang pencitraan – karena sesuatu itu terbentuk karena kebiasaan yang terus menerus diulang. Karena kita membiasakan diri pada sesuatu yang baik maka inner beauty kita pun akan terbentuk, gak ada tuh kalimat, ‘sebenarnya saya ini orang baik loh’ tapi selalu melakukan kebiasaan yang buruk.
Jadi cinta kita yang awalnya hanya ketertarikan fisik (Aprodhite Pandemus) turun ke hati dengan mencintai soul-nya, mencintai bukan lagi berdasarkan asas win-win tetapi, cinta itu menjadi cinta yang tak harap kembali; tanpa syarat, atau istilahnya adalah “platonic love” (Aprodhite Urania).
Cinta, dari mempelajari cinta dapat kita simpulkan ada 4 elemen cinta yang sudah dipraktekan oleh seorang kawan yang dipelajari dari buku "The Art of Loving" begini kisahnya :
Aspek pertama yaitu kepedulian yang aktif pada kehidupan dan pertumbuhan yang kita cintai. Aspek perhatian ini merupakan sesuatu yang sering kita jumpai walaupun kadang jenuh juga jika perhatian ini hanya sekedar basa-basi untuk memulai chating atau ditengah kehabisan topik pembicaraan dengan doi kita. Kita harus peduli terhadap tumbuh kembangnya, kearah mana ia berkembang namun tetap tidak menghilangkan ke-otentikan dirinya, kekhasan dirinya.
Yang kedua, yaitu tanggung jawab. Susah memang menjadi pribadi yang responsible tapi, sikap responsible itu akan membawa kita pada kenyamanan subyek , orang yang cinta kita. Kita berhak menasehati dan mengawasi apa yang mereka lakukan.