Faktor ini berkaitan erat dengan budaya kontemporer. Kebudayaan kita sekarang didasari oleh hasrat membeli, pada gagasan tentang saling menguntungkan. Manusia modern bahagia ketika melihat etalase toko dan membeli segala yang dia sanggup, baik lunas maupun mencicil. Laki-laki dan perempuan melihat dari sudut pandang yang sama ketika memandang “obyek cinta”. Bagi laki-laki, mencari perempuan yang menarik dan bagi perempuan mencari laki-laki yang menarik adalah hadiah yang mereka cari.
Makna “menarik” biasanya suatu paket kualitas yang disukai dan dicari dalam pasar kepribadian. Secara spesifik membuat seseorang menarik bergantung pada selera zaman, baik dalam hal fisik maupun mental.
Selama dekade dua puluhan, perempuan yang menarik ialah perempuan yang minum dan merokok, kuat dan seksi namun selera hari ini menuntut perempuan yang lebih rumahan dan malu-malu. Akhir abad ke-19 dan awal abad ini, pria dituntut untuk agresif dan ambisius, namun sekarang pria dilihat menarik jika ia ramah dan sabar.
Tumbuhnya rasa jatuh cinta hanya terkait dengan komoditas-komoditas manusia yang berada dalam jangkauan kemampuan tukarnya. Obyeknya harus memenuhi nilai masyarakat dan di saat yang sama dia harus menginginkan saya berdasarkan kualitas dan kemampuan saya yang tampak maupun tak tampak. Maka dua orang jatuh cinta saat merasa telah menemukan obyek terbaik yang tersedia di pasar, menurut Fromm melihat keterbatasan nilai tukar mereka, membayangkannya sering kali seperti membeli real estate, kemampuan tersembunyi, yang bisa dikembangkan, memainkan peran besar dalam tawar-menawar ini.
Dalam kebudayaan ini di mana orientasi dagang berlaku, di mana kesuksesan materi bernilai luar biasa, relasi cinta mengikuti pola pertukaran yang sama yaitu pola yang menguasai komoditas dan pasar tenaga kerja.
Maraknya sugar baby, sugar daddy dan mommy adalah fenomena yang menggambarkan bahwa sudut pandang kita soal “obyek cinta” ini berubah kearah sudut pandang materi, cinta yang mapan bahwa hal-hal romantis itu tercipta jika pasangan kita mampu membelikan barang-barang “branded”, barang-barang mewah yang sedang laku dipasaran.
Ini diakibatkan juga dari kesalahan mengartikan asas nilai tukar win win. Dimana cinta ditukar dengan materi. Seseorang yang haus akan cinta namun memiliki financial yang mempuni menukar kepuasan tersebut pada seseorang yang membutuhkan financial.
Kesalahan terhadap eksistensi diri juga merupakan dampak munculnya fenomena ini, lingkungan sosial yang menuntut kita untuk menyelarasakan diri dengan masyarakat yang gaya hidupnya semakin hari semakin “hedonistik”, yang mau tidak mau kita dituntut untuk mengikutinya supaya tidak menjadi seseorang yang terpisah dari lingkungan atau terasingkan oleh lingkungan.
Kekeliruan cinta, pandangan umum soal cinta bahwa cinta itu “jatuh” (falling in love) seseorang harus ada yang berkorban demi cinta. Padahal apa yang harus dikorbankan, seharusnya mencintai itu (being in love), atau lebih tepatnya dikatakan “berada” dalam cinta “standing in love”
Dua orang yang awalnya asing, sebagaimana kita semua, tiba-tiba membiarkan pagar penghalangnya runtuh, lalu merasakan kedekatan diluar batas kenormalan, merasakan menyatu, momen kesatuan inilah yang menjadikan sebuah pengalaman yang menggembirakan dan menyenangkan dalam hidup. Bagi mereka yang terasing, terpencil, dan tanpa cinta hal ini merupakan pengalaman yang lebih menggembirakan dan menyenangkan lagi.
Menurut erich fromm sering kali keintiman mendadak mudah dirasa ajaib, jika disertai dengan atau diawali oleh ketertarikan seksual dan hubungan seksual (consummation). Namun, jenis cinta ini tidak akan abadi. Setelah saling mengenal, kemesraan mereka makin dan makin hilang keajaibanya, sampai-sampai permusuhan, kekecewaan, kebosanan membunuh apapun yang tersisa dari kegembiraan mereka. Di awal sebelum mereka mengetahu hal ini; gairah mereka sangat kuat, mereka “gila” terhadap satu sama lain, mereka saling terobsesi satu sama lain demi membuktikan cinta mereka, padahal itu barangkali menunjukkan tingkat kesepian mereka terdahulu.