Mohon tunggu...
Dayangsumbi
Dayangsumbi Mohon Tunggu... Freelancer - Penikmat Musik, Filosofi

Blogger Writer and Amateur Analys, S.Komedi

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Cinta - The Art of Loving

13 April 2021   02:37 Diperbarui: 13 Maret 2022   15:47 303
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : Freepic/Pexels

Cinta, berhasil hidup bersama seorang wanita pujaan yang kita cintai untuk mengarungi bahtera kehidupan bersama adalah happy ending petualangan cinta. Hampir 1 dekade saya single, 5 tahun saya menjadi gebetannya, ya.. walaupun datang dan pergi – soksokan hit and run ceritanya – akhirnya berakhir juga masa gebetannya. Jauh dari kata indah, berakhirnya masa pendekatan ini karena dia akhirnya memutuskan pacaran dengan orang lain huhuhu tragis; akhirnya 5 tahun ini saya memutuskan untuk single bukan karena mengejar mimpi, membantu pendapatan orang tua atau hal-hal keren lainnya tapi, karena saya masih menjadi singa. Kok singa ? Ya Si Ngarep hahaha.

Dalam 5 tahun belakangan jatuh-bangun saya menahan rindu – ih kok gak keren amat! Jatuh bangun tuh untuk mengejar mimpi, membangun usaha, ini kok menahan rindu – di tengah jatuh bangun menahan rindu akhirnya saya terpikir, “Apakah cinta hanya selalu untuk hal-hal yang indah saja ? Sebenarnya apa itu cinta ? Bagaimana membangun diri untuk menjadi orang yang selalu mencintai dan dicintai ? Apakah cinta saya padanya ini hanya ketertarikan fisik ? Salah memangnya jika saya tertarik pada lawan jenis karena ketertarikan fisik ?” ini sedikit gambaran pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala saya tentang cinta, ini bukan karena saya seorang yang kritis tapi, karena saya tipe orang yang suka meragu akan sesuatu hal saja.

Kegagalan cinta, apakah cinta hanya untuk hal-hal yang indah ? Seperti seni bahwa nilai-nilai estetik bukan hanya pada sesuatu yang indah saja; tentang cinta, karena menyerah adalah hal mustahil, tampaknya mengevaluasi kegagalan cinta – memeriksa sebab-sebab kegagalan ini, dan melanjutkan studi tentang arti cinta adalah perlu bagi siapa saja yang telah mengalami kegagalan cinta.

Menurut Erich Fromm (The Art of Loving), langkah pertama adalah menyadari bahwa cinta adalah seni, seperti halnya kehidupan, jika kita ingin mencintai kita harus melakukan hal yang sama seperti jika kita ingin mempelajari seni lainnya, misalnya musik, melukis, pertukangan, seni pengobatan atau teknik.

Proses belajar seni dapat dibagi menjadi dua bagian: pertama teori dan kedua adalah menguasai terapan. Jika kita ingin mempelajari seni musik (gitar), pertama-tama kita harus mengenal macam-macam nada serta chord-nya. Sesudah menguasai teoritis ini, barulah menguasi berbagai lagu. Bisa disebut ahli dalam seni ini hanya setelah kita banyak menjalankan praktik seperti manggung dipelbagai tempat dan menciptakan lagu. Hingga akhirnya hasil dari pengetahuan teoritis dan terapan tercampur menjadi satu.

Cinta apa sih definisi cinta ? Banyak orang mendefinisikan cinta; penjelasan tentang cinta tidak ada yang objektif selalu hanya bersumber dari perenungan yang dalam dari seseorang; selalu yang muncul jika mendefinisikan tentang cinta adalah kesubjektifan.

Menurut teman-teman saya, cinta itu adalah sesuatu yang tak terdefinisikan mungkin karena ia telah melalui perasaan sedih dan bahagia tentang cinta jadi susah terdefinisikan seperti sedang naik wahana roller coaster. Beda lagi untuk pujangga sejuta umat ini, yang selalu tergambarkan melalui anak-anak yang dilahirkannya yaitu Khalil Gibran, menurutnya cinta itu adalah ‘Rintihan panjang yang dikeluhkan oleh lautan perasaan kasih sayang. Ia adalah cucuran air mata langit pikiran’ – huhuhu sedih banget.

Teori cinta, Fromm, cinta adalah perangkat insting manusia yang telah muncul dari kerajaan hewan, adaptasi instingtif, bahwa dia telah melampaui alam meskipun tak pernah meninggalkannya, dia bagian dari alam dan sekali terpisah dari alam dia tak dapat kembali dengan mudah; sekali terusir dari surga yaitu suatu keadaan kesatuan asali dengan alam malaikat pemberontak (Iblis) dengan pedang menyala menghalangi jalannya jika dia mencoba untuk kembali. Manusia hanya dapat terus maju dengan mengembangkan nalarnya, dengan menemukan keselarasan baru menjadi manusia dan bukan keselarasan pra-manusia yang hilang selamanya.

Teori tentang cinta haruslah diawali dengan teori tentang manusia. Ketika manusia lahir, saat itu juga terlempar dari situasi yang pasti, seperti insting, ke dalam situasi yang tak pasti, tak jelas dan terbuka. Kepastian hanya menyangkut masa lalu, sedangkan masa depan yang pasti hanyalah kematian.

Manusia dianugerahi nalar; dia adalah makhluk kehidupan yang sadar akan dirinya sendiri; dia memiliki kesadaran atas dirinya, sesamanya, masa lalunya, dan kemungkinan-kemungkinan masa depannya. Kesadaran atas hidupnya yang singkat bahwa, dia akan mati meninggalkan orang-orang yang dicintai dan masyarakat. Kesadaran akan keterpisahan, ketakberdayaan dihadapan takdir inilah yang membuat manusia merasa terasing, terpisah dan tercerai menjadikan eksistensinya tak tertahankan. Akan menjadi gila jika tak dapat membebaskan diri dari penjara ini dan menjangkaunya keluar, menyatukan dirinya dalam berbagai cara dengan manusia lain, dengan dunia luar.

Pengalaman terpisah yang menumbuhkan kecemasan; itulah, sesungguhnya, sumber segala kecemasan. Terpisah berarti tak berdaya, tak mampu menggenggam keduniaan – benda-benda dan orang-orang secara aktif; artinya dunia bisa saja menyerbuku tanpa aku bisa membalas. Oleh sebab itu manusia sangat membutuhkan sesuatu yang besar diluar dirinya, sesuatu yang berdaya dan mampu menggenggam dunia, sebagai sandaran atas ketidakpastian hidup.

Keterpisahan juga menimbulkan rasa malu. Perasaan malu dan bersalah ini juga digambarkan dalam kisah-kisah agama abrahimik tentang adam dan hawa. Setelah adam dan hawa memakan buah dari, ‘pohon pengetahuan tentang yang baik dan jahat’ setelah mereka melanggar perintah; setelah kelahiran mereka sebagai insan dunia, mereka merasa malu mengetahui bahwa mereka dalam keadaan telanjang. Adam dan Hawa dipisahkan begitu jauh ketika turun ke bumi, mereka menyadari pula keterpisahan mereka, mereka tetap asing, karena belum belajar mencintai satu sama lain (seperti yang kita tahu bahwa Adam memakan buah khuldi atas rayuan Hawa yang sebelumnya mereka dihasut oleh Iblis dan adam menyalahkan hawa akan hal itu). Kesadaran keterpisahan manusia, tanpa disatukan oleh “cinta” – adalah sumber rasa malu. Pada saat yang sama juga sumber rasa bersalah dan kecemasan.

Maka dari itu, keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahaannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Rasa cemas akibat keterasingan total hanya dapat diatasi dengan menarik diri dari dunia luar sehingga rasa terpisah itu sirna karena dunia luar, tempat seseorang terasing itu, juga telah sirna.

Dari segala zaman dan kebudayaannya, kita ditantang untuk memecahkan satu pertanyaan yang sama: pertanyaan tentang bagaimana mengatasi keterpisahan, bagaimana meraih penyatuan, bagaimana melampaui kehidupan individual dan menemukan kesatuan. Dari zaman manusia di gua-gua, manusia nomaden yang menjaga gembalanya, bagi petani di Mesir, pedagang Venisia, prajurit Romawi, para pemuka agama abad pertengahan, samurai jepang, sampai pegawai modern dan buruh pabrik.

Jawaban pertanyaan itu macam-macam bentuknya bisa berbentuk penyembahan hewan, pengorbanan manusia atau penaklukkan militer, bermewah-mewah, penyangkalan asketik, bekerja obsesif, penciptaan artistik, kecintaan pada manusia, dan kecintaan pada Tuhan. Meskipun ada banyak jawaban tentang itu – sejarah manusia banyak mencatatnya – jawaban-jawaban itu tetap tak terhitung dan hanya dapat dijawab oleh manusia yang hidup dalam tiap kebudayaannya yang beragam. Sejarah agama dan filsafat adalah sejarah tentang jawaban-jawaban ini.

Bagaimana menjadi seorang pribadi yang selalu mencintai dan dicintai ? Kebanyakan orang berangapan soal cinta yang terpenting adalah dicintai bukan mencintai. Disini bagi mereka adalah bagaimana dicintai, bagaimana kita pantas untuk dicintai, sering kita dengar istilah klise ‘jodoh itu bagaimana kita, apakah kita pantas untuk dicintai’.

Dalam mengejar tujuan ini dalam buku “ The Art of Loving” dibicarakan biasanya mereka menempuh berbagai cara. Pertama, biasanya dipakai oleh laki-laki adalah dengan menjadi sukses, menjadi dirinya seberkuasa dan sekaya mungkin. Sedangkan perempuan adalah dengan membuat diri mereka semenarik mungkin, dengan cara memaksakan merubah tubuh, pakaian dll.

Cara supaya terlihat menarik yang dipakai oleh laki-laki maupun perempuan adalah dengan bersikap menyenangkan, berbicara menarik, suka menolong, sopan, dan lugu. Cara-cara untuk menjadi orang yang “loveable” sama dengan cara-cara meraih sukses ‘untuk mendapatkan banyak teman dan punya pengaruh dalam masyarakat’. Fakta menjelaskan bagi kebanyakan orang dalam budaya kita bahwa menjadi “loveable” pada dasarnya adalah gabungan popularitas dan “sex appeal”.

Asumsi bahwa persoalan cinta merupakan persoalan obyek, bukan persoalan kemampuan. Kita sering mengira bahwa mencintai itu mudah, tetapi menentukan obyek yang tepat untuk mencintai dan dicintai itu yang sulit.

Ternyata penyebabnya adalah perubahan besar yang terjadi pada abad ke-20 terkait memilih “obyek cinta”. Pada zaman Victoria, seperti banyak kebudayaan tradisional lainnya, cinta bukanlah pengalaman pribadi spontan yang membawa kepada pernikahan. Terdengar seperti dilingkungan kita yang diistilahkan dengan “pacaran”. Sebaliknya, pernikahan diikat oleh persetujuan baik oleh keluarga masing-masing, makelar pernikahan atau tanpa bantuan perantara semacam itu; pernikahan yang diputuskan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sosial dan cinta diharapkan tumbuh setelah menikah – ini yang sedang trend dikalangan anak-anak muda, cinta dibangun setelah menikah – cukup riskan memang jika tak didasari dengan hal-hal fundamental dari satu sama lain. Ini seperti membeli kucing dalam karung dan ditambah lagi yang paling menyebalkan yaitu jika sudah tak cocok maka solusi yang paling pahit dan sering kita dengar yaitu perceraian, begitulah kita lihat fenomena di masyarakat kita.

Pada generasi terakhir, konsep cinta romantis telah diterima hampir seluruh dunia Barat. Di Amerika Serikat, banyak orang mencari “cinta romantis”, mencari pengalaman cinta personal yang harapannya akan membawa kepada pernikahan. Menurut erich fromm konsep baru tentang kebebasan dalam cinta ini jelas memperbesar pentingnya obyek cinta, yang bertentangan dengan fungsi cinta itu sendiri.

Faktor ini berkaitan erat dengan budaya kontemporer. Kebudayaan kita sekarang didasari oleh hasrat membeli, pada gagasan tentang saling menguntungkan. Manusia modern bahagia ketika melihat etalase toko dan membeli segala yang dia sanggup, baik lunas maupun mencicil. Laki-laki dan perempuan melihat dari sudut pandang yang sama ketika memandang “obyek cinta”. Bagi laki-laki, mencari perempuan yang menarik dan bagi perempuan mencari laki-laki yang menarik adalah hadiah yang mereka cari.

Makna “menarik” biasanya suatu paket kualitas yang disukai dan dicari dalam pasar kepribadian. Secara spesifik membuat seseorang menarik bergantung pada selera zaman, baik dalam hal fisik maupun mental.

Selama dekade dua puluhan, perempuan yang menarik ialah perempuan yang minum dan merokok, kuat dan seksi namun selera hari ini menuntut perempuan yang lebih rumahan dan malu-malu. Akhir abad ke-19 dan awal abad ini, pria dituntut untuk agresif dan ambisius, namun sekarang pria dilihat menarik jika ia ramah dan sabar.

Tumbuhnya rasa jatuh cinta hanya terkait dengan komoditas-komoditas manusia yang berada dalam jangkauan kemampuan tukarnya. Obyeknya harus memenuhi nilai masyarakat dan di saat yang sama dia harus menginginkan saya berdasarkan kualitas dan kemampuan saya yang tampak maupun tak tampak. Maka dua orang jatuh cinta saat merasa telah menemukan obyek terbaik yang tersedia di pasar, menurut Fromm melihat keterbatasan nilai tukar mereka, membayangkannya sering kali seperti membeli real estate, kemampuan tersembunyi, yang bisa dikembangkan, memainkan peran besar dalam tawar-menawar ini.

Dalam kebudayaan ini di mana orientasi dagang berlaku, di mana kesuksesan materi bernilai luar biasa, relasi cinta mengikuti pola pertukaran yang sama yaitu pola yang menguasai komoditas dan pasar tenaga kerja.

Maraknya sugar baby, sugar daddy dan mommy adalah fenomena yang menggambarkan bahwa sudut pandang kita soal “obyek cinta” ini berubah kearah sudut pandang materi, cinta yang mapan bahwa hal-hal romantis itu tercipta jika pasangan kita mampu membelikan barang-barang “branded”, barang-barang mewah yang sedang laku dipasaran.

Ini diakibatkan juga dari kesalahan mengartikan asas nilai tukar win win. Dimana cinta ditukar dengan materi. Seseorang yang haus akan cinta namun memiliki financial yang mempuni menukar kepuasan tersebut pada seseorang yang membutuhkan financial.

Kesalahan terhadap eksistensi diri juga merupakan dampak munculnya fenomena ini, lingkungan sosial yang menuntut kita untuk menyelarasakan diri dengan masyarakat yang gaya hidupnya semakin hari semakin “hedonistik”, yang mau tidak mau kita dituntut untuk mengikutinya supaya tidak menjadi seseorang yang terpisah dari lingkungan atau terasingkan oleh lingkungan.

Kekeliruan cinta, pandangan umum soal cinta bahwa cinta itu “jatuh” (falling in love) seseorang harus ada yang berkorban demi cinta. Padahal apa yang harus dikorbankan, seharusnya mencintai itu (being in love), atau lebih tepatnya dikatakan “berada” dalam cinta “standing in love

Dua orang yang awalnya asing, sebagaimana kita semua, tiba-tiba membiarkan pagar penghalangnya runtuh, lalu merasakan kedekatan diluar batas kenormalan, merasakan menyatu, momen kesatuan inilah yang menjadikan sebuah pengalaman yang menggembirakan dan menyenangkan dalam hidup. Bagi mereka yang terasing, terpencil, dan tanpa cinta hal ini merupakan pengalaman yang lebih menggembirakan dan menyenangkan lagi.

Menurut erich fromm sering kali keintiman mendadak mudah dirasa ajaib, jika disertai dengan atau diawali oleh ketertarikan seksual dan hubungan seksual (consummation). Namun, jenis cinta ini tidak akan abadi. Setelah saling mengenal, kemesraan mereka makin dan makin hilang keajaibanya, sampai-sampai permusuhan, kekecewaan, kebosanan membunuh apapun yang tersisa dari kegembiraan mereka. Di awal sebelum mereka mengetahu hal ini; gairah mereka sangat kuat, mereka “gila” terhadap satu sama lain, mereka saling terobsesi satu sama lain demi membuktikan cinta mereka, padahal itu barangkali menunjukkan tingkat kesepian mereka terdahulu.

keinginan terdalam manusia adalah keinginan untuk mengatasi keterpisahaannya, meninggalkan penjara kesendiriannya. Menyelaraskan diri adalah jalan untuk mengurangi rasa gelisah akibat perasaan terasing. Menyatukan dengan cara menyelaraskan diri tidak dilakukan dengan keras dan kasar tetapi dengan tenang, dan disiplin. Seringkali ini tak cukup untuk meredakan kegelisahan akibat terasing. Kecanduan alkohol, obat-obatan, seks kompulsif, bahkan bunuh diri adalah gejala-gejala kegagalan dalam menyelaraskan diri. Penyesuaian dengan kelompok, yaitu adat-istiadat, kebiasaan dan kepercayaan bahwa hal ini menurut Erich Fromm menemukan perkembangan yang besar.

Penyelarasan atau kesatuan yang diperoleh dalam kerja produktif tidaklah interpersonal: kesatuan yang diperoleh kesatuan orgiastik bersifat sementara; kesatuan yang diperoleh dengan peleburan atau konformitas hanyalah kesatuan semu. Semua itu hanya jawaban sebagian dari eksistensi, jawaban lengkap muncul saat meraih penyatuan interpersonal, penyatuan dengan orang lain, dalam cinta.

Hasrat bersatu dengan orang lain adalah perjuangan paling kuat manusia. Itulah gairah paling dasar, kekuatan yang menjaga klan, keluarga, masyarakat. Gagal meraihnya menyebabkan kegilaan atau kehancuran – kehancuran diri maupun orang lain. Tanpa cinta, kemanusiaan tak mampu bertahan barang sehari.

Cinta berawal dari mata turun ke hati, Mencintai dengan ketertarikan fisik memangnya salah ? Ya gaklah sah-sah aja kok mencintai karena karakter wajah seseorang “cinta itu dari mata turun kehati bukan ?” tapi, seharusnya cinta kita tidak berhenti hanya pada ketertarikan fisik saja, ia harus berkembang kearah yang lebih hakiki yaitu “inner beauty”.

Karakter wajah dan badan seseorang itu sesuatu yang sudah terberi, tidak bisa kita memesan untuk tipe-tipe wajah tertentu pada saat sebelum kita dilahirkan; setiap manusia memiliki keunikan wajah dan tubuhnya sendiri. Berbeda dengan kepribadian, hal itu terbentuk dari pergumulan kita sehari-hari dengan orang lain selama pertumbuhan kita sampai kita mati, “Memang ada takdir yang melingkupi hidup kita tapi, bagaimana kita hidup merupakan sesuatu yang ada ditangan kita”

Memangnya inner beauty itu apasih kok bisa kita bentuk ? inner beauty merupakan kecantikan yang ada pada jiwa kita seperti akhlak dan kecerdasan, hal ini dibahas juga oleh Plato seperti kebaikan moral. Lebih luas lagi menurut Reid, kecerdasan, selera dan pandangan hidup juga merupakan sebuah inner beauty.

Inner beauty dibentuk dengan cara mencari eksistensi diri yang autentik – tak apa jika awalnya dibilang pencitraan – karena sesuatu itu terbentuk karena kebiasaan yang terus menerus diulang. Karena kita membiasakan diri pada sesuatu yang baik maka inner beauty kita pun akan terbentuk, gak ada tuh kalimat, ‘sebenarnya saya ini orang baik loh’ tapi selalu melakukan kebiasaan yang buruk.

Jadi cinta kita yang awalnya hanya ketertarikan fisik (Aprodhite Pandemus) turun ke hati dengan mencintai soul-nya, mencintai bukan lagi berdasarkan asas win-win tetapi, cinta itu menjadi cinta yang tak harap kembali; tanpa syarat, atau istilahnya adalah “platonic love” (Aprodhite Urania).

Cinta, dari mempelajari cinta dapat kita simpulkan ada 4 elemen cinta yang sudah dipraktekan oleh seorang kawan yang dipelajari dari buku "The Art of Loving" begini kisahnya :

Aspek pertama yaitu kepedulian yang aktif pada kehidupan dan pertumbuhan yang kita cintai. Aspek perhatian ini merupakan sesuatu yang sering kita jumpai walaupun kadang jenuh juga jika perhatian ini hanya sekedar basa-basi untuk memulai chating atau ditengah kehabisan topik pembicaraan dengan doi kita. Kita harus peduli terhadap tumbuh kembangnya, kearah mana ia berkembang namun tetap tidak menghilangkan ke-otentikan dirinya, kekhasan dirinya.

Yang kedua, yaitu tanggung jawab. Susah memang menjadi pribadi yang responsible tapi, sikap responsible itu akan membawa kita pada kenyamanan subyek , orang yang cinta kita. Kita berhak menasehati dan mengawasi apa yang mereka lakukan.

Tapi perihal tanggung jawab ini kita tidak boleh sampai mengekang dia secara berlebihan, ngatur-ngatur hidupnya untuk tidak berhubungan dengan cowok lain, harus begini dan begitu, harus negesin untuk nurutin kata kita;

Nah agar rasa tanggung jawab ini gak  berubah jadi sikap yang mendominasi dan posesif maka perlu ada aspek ke-tiga yaitu rasa hormat. Hormat bukanlah rasa takut atau kagum; melainkan akar katanya respierce yaitu kemampuan untuk memandang seseorang sebagaimana dirinya, menyadari kekhasannya sebagai individu bahwa ia berhak untuk bertumbuh dan berkembang sebagaimana dirinya. Oleh sebab itu hormat tidak memanfaatkan seperti, kita ingin orang yang kita cintai bertumbuh dan berkembang demi dirinya sendiri bukan agar bisa melayani diri kita; Jika aku mencintai dia, aku merasa satu dengannya, tetapi dengan dia sebagai dirinya, bukan sebagai dia yang kuinginkan sebagai objek kepentinganku.

Aspek ke-4 yaitu pengetahuan, kalau dia sedang cemas dan takut; perhatian dan kepedulian sangat penting dan tahu lebih dalam apa sebenarnya yang sangat dia butuhkan. Inget bukan hanya soal materi loh, kehadiran pun sangat dibutuhkan; Seharusnya kita tahu apa yang ada di dalam hatinya meskipun dia tidak pernah menunjukannya – wah rumit kalau ini suwer deh – Jadi kita harus tahu bawa dia sedang gelisah dan cemas; bahwa dia merasa kesepian, bahwa dia merasa bersalah. Kita harus mengerti dia dengan melihat bahwa apa yang dia rasakan merupakan sesuatu yang sedang dia derita bukan melihat kemarahannya.

Kita harus mengetahui “rahasia manusia” meskipun memang hidup ini adalah suatu misteri; suatu keajaiban dan rahasia. Manusia dalam aspek manusianya adalah rahasia tak terduga bagi dirinya sendiri dan sesamanya. Kita mengenal diri kita sendiri, tetapi seperti apapun kita mencoba mengenal diri kita sendiri, kita tidak benar-benar mengenal diri kita sendiri. Kita mengenal orang lain, tetapi kita tidak pernah benar-benar mengenalnya. Karena kita bukan barang dan orang lain pun bukan barang. Makin kita menyelami diri kita maupun orang lain, semakin jauh tujuan kita mendapat pengetahuan itu. Kita terus tergoda menyelami rahasia jiwa manusia, kedalam inti terdalam yaitu “Dia”. Namun, Jawaban terbaik untuk mengungkap rahasia jiwa manusia adalah “CINTA”.

Mencintai seseorang bukan sekedar suatu perasaan yang kuat, tetapi keputusan, petimbangan, dan komitmen. Jika hanya mengandalkan perasaan, perasaan akan sirna. Ketika kita merasa sudah tak ada kecocokan satu sama lain dan gairah untuk memiliki seorang yang baru atau penaklukan baru itu akan memisahkan mereka.

Bagaimana kita menilai itu akan bertahan selamanya, bagaimana jika tindakanku tak menyertakan pertimbangan dan keputusan ? Mengingat kedua pandangan ini cinta semata-mata hanya sebuah kerelaan - berbeda dengan pengorbanan - dan komitmen, jadi tak penting siapa kedua orang itu. Tak penting apakah pernikahan diatur pihak lain (dijodohkan) atau pilihan sendiri, begitu pernikahan diputuskan, kerelaan tadi seharusnya menjamin cinta berlanjut. Cinta ini menghendaki elemen-elemen tertentu yang sangat individual dan spesifik, yang terdapat di antara beberapa orang, bukan di antara semua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun