Sayangnya, menurunnya pendapatan negara saat itu tidak dapat diimbangi dengan kenaikan pendapatan untuk membiayai kebutuhan dalam negeri.
Defisit anggaran negara semakin membengkak ketika sebagian besar anggaran dialokasikan untuk kebijakan yang cenderung pro-militer daripada pro-ekonomi seperti gerakan Trikora untuk merebut Irian Barat dan gerakan Ganyang Malaysia, serta alokasi Dana Revolusi/Dana Amanah guna "membiayai" proyek orang-orang dekat pemerintahan Soekarno.Â
Inflasi yang pesat dekade 1960-an sebagian merupakan warisan sejarah dekade 1950-an saat perekonomian belum seutuhnya pulih dari krisis 1940-an. Pemerintah yang "sembrono" dan ambisius mencari dana dengan memperbanyak pencetakan uang menjadikan krisis 1960-an menjadi krisis inflasioner dan bisa disebut hiperinflasi.
Syaffrudin Prawiranegara selaku menteri keuangan saat itu mengeluarkan kebijakan yang sampai saat ini masih populer dalam ingatan kita yaitu Gunting Syafruddin.
Uang pecahan di atas 5 gulden dipotong menjadi dua. Uang kertas yang digunting tadi berkurang nilainya menjadi setengah. Setengahnya lagi dijadikan sebagai kupon obligasi untuk pemerintah dengan tenor 30 tahun dan bunga 3%. Harapannya uang beredar akan berkurang dan inflasi dapat teratasi.
Siapa yang jadi korban?
Rakyat yang tidak memahami sanering merasa amat dirugikan. Nilai uang berkurang menjadi setengahnya, namun harga-harga barang tetap sama.
Hal ini menyebabkan daya beli masyarakat menjadi merosot tajam. Tercatat, inflasi periode 1960-1967 dengan tingkat inflasi tertinggi pada tahun 1966 mencapai lebih dari 1000% - Dari Krisis ke Krisis - Krisis Ekonomi dalam Sejarah Indonesia Abad ke-20: Tinjauan Ekonomi Makro. Untuk kesekian kalinya, kaum petani khususnya petani tadah hujan pada tahun 1963-1964 cukup merasakan dampak berat dari krisis.
Tak hanya di pedesaan, kaum pegawai negeri dan pedagang di perkotaan pun turut merasakan pedihnya krisis. Selama dekade 1960-an penyelamat di kala krisis adalah pembagian upah yang dibagi menjadi upah berupa uang dan upah ransum seperti beras dan jatah barang lain.
Siapa yang diuntungkan?
Bagi para pengusaha bermodal besar tentunya tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Bahkan, sehari sebelum diberlakukannya kebijakan Gunting Syafruddin, beberapa pengusaha melakukan penimbunan bahan-bahan pokok seperti beras dan pakaian.
Tentu, aksi spekulan dan profiter ini semakin memperparah kondisi ekonomi saat itu. Penurunan penghasilan meskipun hanya sedikit, dapat menyebabkan akibat yang cukup serius karena pendapatan rata-rata rakyat Indonesia saat itu tergolong rendah. Namun, akibat politik yang ditimbulkan bisa berjangka panjang.
"Those who do not learn from history are doomed to repeat it." -- George Santayana.