Melansir dari situs historia.id dalam artikel Bertahan Menghadapi Resesi Ekonomi, Majalah Doenia Pegadaian, 25 Januari 1934, memuat sajak dari pegawai pegadaian tentang ketidakadilan itu.
Isinya membandingkan pegawai rendahan bergaji kecil dengan atasannya yang makmur sentosa karena gajinya tinggi tapi dipotong dengan nilai yang sama.
"Boeat ambtenaar jang bergadjih besar
Dipotong 5% tentoe tidak goesar...
Sebaliknja boeat pegawai rendahan
Jang gadjih mereka hanja poeloehan
Potongan 5% lagi akan dirasa soeatoe tindihan
Dan bakal menambah kesoesahan."
Resesi Ekonomi 1940-an : Era penjajahan jepang
Pendudukan Jepang pada tahun 1940-an. (Sumber: materisejarahkita.blogspot.com)
Berbeda dengan krisis ekonomi 1930-an dimana uang menjadi sangat langka, krisis ekonomi pada tahun 1940-an disebabkan oleh penjajahan Jepang yang berakibat pada rusaknya infrastruktur, kebijakan pemerintahan Jepang untuk memblokade barang-barang impor, serta kebijakan pemerintah Jepang yaitu "pengumpulan" barang oleh pemerintah pendudukan pada saat itu.
Jepang lebih memilih kebijakan ekonomi perang. Produksi diperas habis untuk memenuhi kebutuhan militer, rakyat dipaksa untuk bekerja bahkan pakaian juga disita.
Barang menjadi sangat langka. Khususnya barang-barang kebutuhan utama seperti sandang, pangan, dan kebutuhan pokok lainnya. Kelangkaan barang memaksa harga-harga barang naik tajam.
Ditambah lagi kebijakan pemerintah Jepang yang memaksa rakyat di pedesaan untuk "menjual" barang-barang yang mereka miliki dan ditukar dengan uang militer Jepang yang berlaku saat itu.
Kondisi ini mengakibatkan uang yang beredar terlalu banyak, sedangkan harga barang semakin naik dan semakin langka.
Siapa yang jadi pemenang dan korban pada era ini?
"Importir, pedagang dan sebagian kaum tani mendapatkan keuntungan besar dari inflasi. Buruh upahan dan terutama kelompok besar pegawai negeri terhantam cukup keras oleh ketimpangan antara kenaikan harga dan kenaikan upah serta gaji" -- Selo Soemardjan dalam bukunya Perubahan Sosial di Yogyakarta, 1962.
Dikutip dalam buku karangan Kanjeng Pangeran Haryo Prof. Dr. Selo Soemardjan tersebut, lapisan sosial selain petani yang turut menjadi korban kali ini adalah kaum pegawai pemerintahan yang bergaji tetap.
Amat kontra dengan keadaan era 1930-an dimana mayoritas kaum petani adalah korban yang paling dirugikan atas dampak krisis deflasioner yang menghantam Indonesia saat itu. Saat krisis era penjajahan jepang, segelintir petani dapat meraup keuntungan dari krisis ini.