Sebagai catatan yang pertama, kedepan sebaiknya Kementerian Hukum dan HAM tidak lagi dijabat oleh kader partai politik. Seperti halnya kejaksaan agung dan Menko Polhukam.
Kentalnya aroma vested interest dalam penegakan hukum, akibat dari tidak bisanya kader partai politik menjalankan fungsinya secara maksimal, sehingga apapun yang dilakukan kontradiktif dengan amanat penegakan hukum yang seharusnya.
Wacana pembebasan Napi kasus korupsi, yang diusulkan Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, adalah salah satu contoh adanya kemasan kepentingan politik yang dibalut atas nama kemanusiaan. Ini adalah wacana yang tidak masuk akal, yang berdampak kepada wibawa penegakan hukum.
Satu sisi pemerintah menganggap kejahatan korupsi itu sebagai "Extra ordinary crime", tapi disisi lain, pemerintah atas nama kemanusiaan ingin membelai pelaku kejahatan luar biasa itu selayaknya penjahat biasa.
Menkum dan HAM sebagai kader partai politik seperti tidak ingin dikatakan "jeruk makan jeruk", makanya berbagai upaya dilakukannya untuk meringankan rekan seprofesinya.
Rasa kemanusiaan itu ditempatkan pada tempat yang selayaknya, koruptor kalau punya rasa kemanusiaan, dia tidak akan merugikan negara dan rakyat. Manusia seperti inikah yang ingin dimanusiakan oleh Yasonna?
Saya ingin ketawa ketika ada wakil rakyat, yang nota bene adalah kader partai, yang mengatakan pembebasan napi kasus korupsi, atas nama kemanusiaan. Ini juga dalam bentuk pembelaan rekan seprofesi.
Semua tahu, kalau kejahatan korupsi itu pelakunya rerata kader partai politik, ruang tahanan KPK itu isinya kader partai politik yang selalu sumringah meskipun didakwa sebagai pelaku kejahatan korupsi. Yang seperti inikah akan dibela atas nama kemanusiaan?
Catatan kedua, KPK sempat menyambut baik wacana ini, walaupun kemudian mengkoreksi kembali penyataannya. Kalau benar KPK pun sudah sepakat dengan wacana ini, ada baiknya lembaga anti rusuah tersebut dibubarkan.
Buat apa lagi KPK bekerja, jelas-jelas wacana wacana pembebasan napi kasus korupsi itu bertentangan dengan semangat pemberantasan korupsi.
Wacana pembebasan napi kasus korupsi, seharusnya bukanlah satu-satunya solusi untuk menyelamatkan narapidana dari penularan pandemi covid-19. Masih banyak cara lain yang bisa dilakukan.
Pembebasan napi kasus korupsi memberikan dampak buruk bagi pemberantasan korupsi, para pelaku korupsi semakin tidak ada takutnya untuk mengulangi kejahatannya.
Karena selama ini mereka selalu mendapatkan perlakuan yang baik dari pemerintah, bagaimana mungkin mereka mau jera atas kejahatannya, kalau pemerintah selalu menina bobokkan mereka dengan segala kenyamanan.
Catatan ketiga, terkait wacana pembebasan napi narkotika. Ini sama bahlulnya dengan pembebasan napi kasus korupsi. Selama ini para bandar narkoba, tidak pernah merasa dipenjara, karena mereka tetap bisa menjalankan bisnisnya dengan leluasa dari dalam penjara.
Kalau mereka dibebaskan, hanya atas dasar ingin menyelamatkan dari penularan virus corona, lagi-lagi ini sangat bertentangan dengan semangat pemberantasan narkoba. Pemerintah harus berpikir ulang mengegolkan wacana ini.
Kalau semua kader partai politik di senayan sudah mengetok palu untuk menyetujui wacana ini, rakyat Indonesia bisa apa? Satu-satunya kekuatan rakyat untuk menolak wacana ini adalah Presiden, itu pun kalau Presiden tidak terkontaminasi kepentingan partai.
Presiden Jokowi harus menolak wacana para narapidana, terutama narapidana kasus korupsi dan kasus narkoba. Tidak ada alasan yang patut untuk menerima wacana ini, alasan kemanusiaan bukanlah  alasan yang tepat untuk menyelamatkan napi kasus korupsi dan narkoba.
Sampai saat ini, dari sekian banyak negara yang terdampak virus corona, belum terdengar ada negara yang membebaskan para narapidana, untuk menyelamatkan narapidana dari penularan virus corona, hanya terjadi di Indonesia. Apakah kita negara yang paling manusiawi terhadap narapidana?Â