"Mas suka kamu pakai itu..warnanya sangat soft..sangat serasi dengan warna kulit kamu.."
"Kamu terlihat anggun memakai gaun itu.." Jawab Bimo meyakinkan aku, dan aku ikuti alasannya.
Terkait soal pakaian dan berpakaian, Bimo pun tidak sesederhana yang aku pikirkan. Aku kadang tidak peduli dengan pandangan orang lain terhadap apa yang aku pakai, tapi bagi Bimo ketika pakaian yang kita kenakan tindak pantas, akan sangat mempengaruhi pandangan orang lain, dan itu bisa menjadi dosa bagi orang lain.
"Dengan terganggunya orang melihat pakaian yang kita kenakan, maka dia akan membicarkan ketidakpantasan tersebut, dan akibatnya orang tersebut melakukan ghibah, sementara ghibah itu sangat dilarang agama".
Begitulah penjelasan dia, itulah gunanya kita berpakaian yang pantas, agar orang lain yang melihat tidak berpikiran buruk dan membicarakan kita. Memang soal pantas tidaknya kita dalam berpakaian, sangat dibutuhkan penilaian orang lain. Dalam relasi sosial etika berpakaian sangat perlu diperhatikan.
Bimo benar-benar menjadi mata bagiku, dia sangat memperhatikan segala hal yang aku lakukan. Dan itu membuat aku nyaman selalu ada di dekat dia. Meskipun aku buta, tapi aku merasa sangat beruntung sudah memiliki dia.Â
Dia mampu meredam amarahku dengan berbagai tingkah lakunya yang membuat aku bisa tertawa. Dia mampu mengobati luka dihatiku dengan kasih sayangnya.
Selepas keliling-keliling di GI kami mencari restoran masakan Indonesia, memang agak langka ditengah berbagai restoran ala Eropa, Tiongkok, Korea dan Vietnam yang begitu menjamur. Seakan-akan masakan Indonesia tidak ada lagi yang minati, lidah orang-orang Indonesia tidak lagi terbiasa dengan masakan khas negerinya sendiri.
Kami akhirnya melabuhkan pilihan untuk mampir di Kafe Betawi dilantai dasar. Variasi menu yang lumayan banyak pilihan, kami memilih makanan yang bersantan, yakni Soto Betawi. Lagi-lagi kami punya kesamaan selera.Â
Kali ini Bimo tidak lagi bicara filosofi tentang masakan Betawi tersebut, karena memang dia tidak terlalu mengenal jenis masakan ini.
Sambil makan dia tetap saja menyisipkan kata-kata falsafah yang selalu menggugah. Dia mengingat sebuah ucapan yang dia lupa buah pemikiran siapa,
" Makanlah disaat lapar, dan berhenti makan sebelum kenyang ".