"Baik Bu" ucap setiaji sambil masuk kedalam rumah.
Melihat sosok ibunya yang selalu pucat karena penyakit yang di deritanya, kadang membuat Setiaji menangis, ibunya harus menahan sakit karena keterbatasan biaya membuatnya tidak dapat berobat ke rumah sakit dan hanya bisa menahan sakit serta meminum obat dari warung.
Setiaji adalah anak berusia 10 tahun yang sedang duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, ia hidup bersama ibu dan adiknya yang berusia 3 tahun, Ayah nya meninggal karena kecilakaan di tempat kerjanya saat Setiaji berusia 7 tahun.
Ia tinggal di gubuk kecil pinggir sungai Citarum, samping kota Bandung, rumah yang ia tempati tidak cukup besar, juga didalamnya hanya terdapat tiga ruangan, satu di depan untuk tempat ia dan ibunya tidur, dua di tengah sebagai dapur dan tiga di belakang dapur terdapat ruangan kecil sebagai kamar mandi yang pembuangan air nya langsung ke sungai Citarum.
Gubuk yang usang, bolong-bolong tersebut sebenarnya mirip seperti tempat yang tidak layak huni. Namun apakah daya, dia dan keluarganya bukan orang yang memiliki harta berlimpah yang lebih perih lagi ia tidak mempunyai sosok ayah yang seharusnya dapat menafkahi keluarganya.
Di usianya yang masih kecil ia menjadi tulang punggung keluarga, karena ibunya sering sakit-sakitan sehingga tidak dapat bekerja terpaksa Setiaji banting tulang mencari uang agar ia dan keluarganya bisa makan.
Sesekali ia mendapat bantuan dari relawan, warga, ataupun pemerintah bantuannya berupa sembako, pakaian atau pun yang lainnya. Namun ia sama sekali tidak mengharapkan bantuan seperti itu, ia lebih senang memberi daripada menerima. Dia lebih senang berusaha daripada harus meminta-minta.
Sangat miris sekali di usianya yang bisa terbilang bukan usia untuk bekerja. Dimana anak seusianya asik bermain sementara setiaji harus menanggung beban yang sangat berat dengan kondisi tubuh yang sangat kecil mungil.
Ia sering melamun, kadang sering juga terlihat kelelahan. Dengan postur tubuh yang kecil juga pemikiran yang belum luas, ia dipaksa memikul beban yang sangat berat, yang tidak pantas ia pikul, disela-sela kesedihannya ia sering teringat sesosok ayah yang selalu mengajaknya bermain dan menemaninya belajar.
Sesekali Setiaji menangis karena beban yang ia derita apalagi ketika ia melihat anak seusianya bermain di taman kota bersama ayah dan ibunya, batin Setiaji menjerit. air mata turun dari matanya yang kecil dan ia seraya berdoa kepada yang maha kuasa agar senantiasa ia di kuatkan menjalani ujian hidup yang ia jalani.
Namun ia tak pernah menyerah, meskipun sesekali ia menangis, setiaji tetap semangat pantang menyerah menjalani hidup. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari uang agar kebutuhan keluarganya terpenuhi.