Mohon tunggu...
Aji Nurwahid
Aji Nurwahid Mohon Tunggu... Lainnya - SMAN 1 Padalarang

XII MIPA 3

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Setiaji

4 April 2021   17:16 Diperbarui: 4 April 2021   17:31 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Senja yang berlabuh menandakan hingar-bingar nyala lampu kota. Disertai rintik hujan yang turun dan kendaraan yang ramai lalu-lalang semakin menambah keramaian suasana kota yang sebagian orang menyebutnya kota kembang.

Ya. Kota tersebut adalah kota bandung, kota yang sangat indah juga menyimpan banyak kejadian sejarah, dan banyak kenangan indah setiap sisi nya terdapat sebuah pesan yang hanya bisa di artikan oleh logika.

Beralih ke salah satu sisi di kursi yang dekat dengan tugu kota, terlihat seorang anak kecil yang menggigil kedinginan karena hujan sore tadi yang sampai malam masih belum berhenti.

Tak henti-hentinya ia berteriak "koran-koran". Dengan nada suara yang agak serak bercampur dengan nada kedinginan menghasilkan suara yang sangat mengiris hati apalagi ketika melihat orangnya yang masih kecil, polos dan tidak tau apa-apa.

Setiaji namanya. Seorang anak yang memakai baju usang sambil memegang surat kabar menggigil. Rupanya ia adalah seorang penjual surat kabar, ditengah gerimis ia tetap menawarkan surat kabar yang berisi berita-berita terbaru.

Surat kabar yang ia pegang belum terjual karena hujan yang tidak berhenti-henti sejak sore sampai malam hari, surat kabar sore yang ia jual terpaksa dijual malam. ia hanya bisa pasrah dan terdiam dengan tatapan kosong.

Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam, namun hujan pun tak kunjung reda, ia memutuskan untuk pulang tak lupa uang hasil jualan tadi ia belikan beras dan juga ikan asin karena uangnya tidak cukup. Ia pun berjalan pulang menyusuri jalanan kota yang diramaikan oleh banyaknya kendaraan yang lalu lalang.

Sesampainya ia dirumah ia mengetuk pintu sambil mengucapkan salam
"Assalamualaikum",

"Waalaikumsalam, sudah pulang kamu nak", jawab ibunya dengan nada lirih seperti orang sakit

"Bu ini beras sama lauknya, dagangan hari ini cuman sedikit yang dapat terjual karena hujan dari tadi sore", ucap setiaji sambil memberikan keresek hitam.

"Tidak apa-apa nak, yang penting hari ini kita bisa makan. Sekarang cepat bersih-bersih dan istirahat", jawab ibunya.

"Baik Bu" ucap setiaji sambil masuk kedalam rumah.

Melihat sosok ibunya yang selalu pucat karena penyakit yang di deritanya, kadang membuat Setiaji menangis, ibunya harus menahan sakit karena keterbatasan biaya membuatnya tidak dapat berobat ke rumah sakit dan hanya bisa menahan sakit serta meminum obat dari warung.

Setiaji adalah anak berusia 10 tahun yang sedang duduk di bangku sekolah dasar kelas 4, ia hidup bersama ibu dan adiknya yang berusia 3 tahun, Ayah nya meninggal karena kecilakaan di tempat kerjanya saat Setiaji berusia 7 tahun.

Ia tinggal di gubuk kecil pinggir sungai Citarum, samping kota Bandung, rumah yang ia tempati tidak cukup besar, juga didalamnya hanya terdapat tiga ruangan, satu di depan untuk tempat ia dan ibunya tidur, dua di tengah sebagai dapur dan tiga di belakang dapur terdapat ruangan kecil sebagai kamar mandi yang pembuangan air nya langsung ke sungai Citarum.

Gubuk yang usang, bolong-bolong tersebut sebenarnya mirip seperti tempat yang tidak layak huni. Namun apakah daya, dia dan keluarganya bukan orang yang memiliki harta berlimpah yang lebih perih lagi ia tidak mempunyai sosok ayah yang seharusnya dapat menafkahi keluarganya.

Di usianya yang masih kecil ia menjadi tulang punggung keluarga, karena ibunya sering sakit-sakitan sehingga tidak dapat bekerja terpaksa Setiaji banting tulang mencari uang agar ia dan keluarganya bisa makan.

Sesekali ia mendapat bantuan dari relawan, warga, ataupun pemerintah bantuannya berupa sembako, pakaian atau pun yang lainnya. Namun ia sama sekali tidak mengharapkan bantuan seperti itu, ia lebih senang memberi daripada menerima. Dia lebih senang berusaha daripada harus meminta-minta.

Sangat miris sekali di usianya yang bisa terbilang bukan usia untuk bekerja. Dimana anak seusianya asik bermain sementara setiaji harus menanggung beban yang sangat berat dengan kondisi tubuh yang sangat kecil mungil.

Ia sering melamun, kadang sering juga terlihat kelelahan. Dengan postur tubuh yang kecil juga pemikiran yang belum luas, ia dipaksa memikul beban yang sangat berat, yang tidak pantas ia pikul, disela-sela kesedihannya ia sering teringat sesosok ayah yang selalu mengajaknya bermain dan menemaninya belajar.

Sesekali Setiaji menangis karena beban yang ia derita apalagi ketika ia melihat anak seusianya bermain di taman kota bersama ayah dan ibunya, batin Setiaji menjerit. air mata turun dari matanya yang kecil dan ia seraya berdoa kepada yang maha kuasa agar senantiasa ia di kuatkan menjalani ujian hidup yang ia jalani.

Namun ia tak pernah menyerah, meskipun sesekali ia menangis, setiaji tetap semangat pantang menyerah menjalani hidup. Ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari uang agar kebutuhan keluarganya terpenuhi.

Gemerlap malam perlahan menghilang, digantikan dengan cahaya mentari yang perlahan makin terang, terdengar pula suasana kota yang hening perlahan menjadi ramai kendaraan yang entah untuk pergi bekerja, sekolah, maupun aktivitas lainya.

Setiaji bangun tidur dan pergi ke kamar mandi. Selepas mandi ia segera sarapan dengan nasi kemarin malam dan lauknya yaitu ikan asin. Ia tidak pernah manja dan ia bersyukur hari ini dia masih dapat makan. Setelah makan ia segera Merapihkan buku dan segera pergi ke sekolah.

Jarak dari rumah Setiaji ke sekolah tidak terlalu jauh, tapi ia tidak langsung ke sekolah, melainkan pergi kerumah Bu nenden terlebih dahulu, untuk mengambil dagangan, Bu nenden adalah seorang pembuat kue-kue kecil.

Dengan kata lain Setiaji menjual barang dagangan bu nenden agar ia mendapat upah ataupun keuntungan, bu nenden orang yang sangat baik terkadang ia memberi upah lebih kepada Setiaji karena bu nenden sering merasa kasihan kepada Setiaji.

Setelah dari rumah bu Nenden ia segera pergi ke sekolah, di sekolah ia belajar sambil berjualan, ia tidak malu oleh teman-temannya yang lain ataupun siswa-siswi yang lainnya, justru kadang ia mendapat dukungan, baik dari teman maupun guru sekolahnya.

Sepulang sekolah ia segera berganti baju dan pergi mencari rongsokan sebagai penghasilan tambahan, kadang ia berkerja apa saja yang penting dapat menghasilkan uang. Mulai dari kerja cuci piring, mencuci mobil, hingga menjadi kuli bangunan.

Sore harinya ia pergi ke percetakan surat kabar untuk mengambil surat kabar terbaru dan menjualnya dari pukul 4 sore sampai menjelang isya, kadang tidak menentu terkadang kalau surat kabar nya belum habis terjual ia dapat berjualan sampai pukul 9 malam.

Begitulah keseharian Setiaji seorang anak kecil yang belum tumbuh dewasa tapi sudah banyak merasakan kepahitan hidup melebihi orang yang lebih tua darinya, hidup di tengah keramaian kota yang begitu kasar dan keras yang kadang membuat mental nya tidak kuat.

Ingin sekali dia mendapatkan kehidupan yang lebih baik dari kehidupan yang ia jalani sekarang namun apa daya mungkin itu sudah takdir dari tuhan, ia terus semangat berusaha dan berusaha tidak lupa juga berdoa agar hidupnya senantiasa dimudahkan.

Dia bekerja siang malam tanpa mengenal cuaca bahkan ketika sakit juga ia masih tetap berjualan dan bekerja, karena jiga ia tidak bekerja bagaimana nasib keluarganya, sungguh malang nasibnya.

Kadang ia tidak mendapat belas kasihan dari orang lain, padahal ia tidak meminta tapi ia menjual tapi tetap saja ada orang yang berbuat jahat padanya, seperti mengusirnya, atau berkata kasar kepadanya, ia tetap tegar dan sabar menghadapinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun