Di tengah dinamika ekonomi global yang penuh tantangan, konsep ekonomi Islam semakin mendapat perhatian sebagai sistem ekonomi alternatif yang menawarkan solusi berkeadilan. Ekonomi Islam merupakan sistem yang berlandaskan pada ajaran Islam, yang tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan harta benda, tetapi juga hubungan manusia dengan sesama dan dengan Tuhannya. Dalam pandangan Islam, kegiatan ekonomi tidak semata-mata ditujukan untuk mendapatkan keuntungan material, tetapi juga mencakup dimensi spiritual dan sosial yang bertujuan untuk menciptakan keseimbangan, kemakmuran, dan keberkahan bagi semua makhluk. Prinsip-prinsip ekonomi Islam, yang diatur secara rinci dalam Al Qur'an dan Hadits, memberikan panduan yang jelas untuk menjalankan kegiatan ekonomi secara etis, adil, dan berorientasi pada keberlanjutan. Artikel ini akan mengulas prinsip-prinsip dasar ekonomi Islam yang menjadi landasan dalam membangun sistem ekonomi yang sesuai dengan nilai-nilai Islam. Berikut adalah prinsip-prinsip utama ekonomi Islam:
Prinsip tauhid merupakan dasar dari setiap bentuk aktivitas kehidupan manusia. Tauhid yang baik diharapkan dapat membentuk integritas yang akan membantu membentuk pemerintahan yang baik. Prinsip keimanan merupakan fondasi yang paling penting dan mendukung prinsip-prinsip lainnya. Kesadaran tauhid akan mengantarkan pada keyakinan dunia akhirat secara bersamaan, sehingga seorang pelaku ekonomi tidak mengejar keuntungan materi semata. Kesadaran tauhid juga akan mengendalikan seorang pebisnis atau pengusaha muslim untuk menghindari segala bentuk eksploitasi terhadap sesama manusia. Dari sini dapat dipahami mengapa Islam melarang transaksi yang mengandung unsur riba, pencurian, penipuan terselubung, bahkan melarang menawarkan barang kepada konsumen ketika konsumen sedang bernegosiasi dengan pihak lain. Dampak positif lain dari prinsip tauhid dalam sistem ekonomi Islam adalah antisipasi terhadap segala bentuk monopoli dan pemusatan kekuatan ekonomi pada seseorang atau kelompok.
2. Prinsip Keadilan
Di antara pesan-pesan Al-Qur'an (sebagai sumber hukum Islam) adalah penegakan keadilan. Kata adil berasal dari bahasa Arab/'adl yang secara harfiah berarti sama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, adil berarti sama berat, tidak berat sebelah, tidak memihak, berpihak kepada yang benar dan yang sepatutnya. Dengan demikian, seseorang dikatakan adil ketika ia tidak berat sebelah dalam menilai sesuatu, tidak memihak kepada salah satu pihak, tidak memihak kepada salah Tidak memihak salah satu pihak, kecuali keberpihakannya kepada siapa saja yang benar sehingga tidak akan bertindak sewenang-wenang.
Dalam operasi ekonomi Islam, keseimbangan memainkan peran yang sangat menentukan untuk mencapai falah (kemenangan, keberuntungan).
mencapai falah (kemenangan, keberuntungan). Dalam terminologi fikih, keadilan adalah menempatkan
sesuatu pada tempatnya dan memberikan sesuatu hanya kepada yang berhak serta memperlakukan sesuatu pada posisinya (wadh' al-syai` fi mahallih).Â
Implementasi keadilan dalam kegiatan ekonomi berupa aturan-aturan interaksi dan prinsip-prinsip transaksi yang mengharamkan unsur-unsur yang dilarang:
a. Riba
Riba merupakan salah satu rintangan yang sering kali menggiurkan banyak orang untuk mendapatkan keuntungan.
keuntungan. Dalam Al-Quran kata riba digunakan dengan berbagai makna, seperti tumbuh, bertambah,
menyuburkan, berkembang dan menjadi besar dan banyak. Secara umum, riba berarti bertambah baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Menurut etimologi, kata al-riba berarti zada wa nama yang berarti bertambah dan berkembang.
Islam melarang riba dalam segala bentuknya, karena bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan, persaudaraan dan kasih sayang. Banyak ayat dan hadits yang memberikan gambaran tentang maksud, tujuan, dan hikmah pelarangan riba dalam sistem ekonomi Islam, antara lain: al-Baqarah/2: 275 dan 278; Ali 'Imran/3: 130.
Penerapan prinsip muamalah bebas riba dalam sistem keuangan Islam mengharuskan uang tidak digunakan sebagai komoditas. Penggunaan uang sebagai komoditas merupakan instrumen penting dalam praktik bisnis riba yang diharamkan dalam sistem keuangan Islam.Â
Pelarangan riba dapat diartikan sebagai penghapusan praktik ekonomi yang menyebabkan ketidakadilan atau ketidakadilan. Jika Islam memerintahkan keadilan, maka Islam juga melarang ketidakadilan. Jika keadilan harus ditegakkan maka implikasinya adalah kezaliman harus dihilangkan. Baik kezaliman yang merugikan diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan, baik jangka pendek maupun jangka panjang.
b. Maysir
Secara bahasa, maisir identik dengan 'qimar', yang berarti perjudian, yang merupakan segala bentuk perilaku spekulatif atau untung-untungan. Islam melarang segala bentuk perjudian. Larangan ini dikarenakan perjudian dalam segala bentuknya mengandung unsur spekulasi dan menimbulkan mudharat yang sangat besar. Tindakan yang dilakukan biasanya dalam bentuk permainan atau kompetisi. Larangan terhadap perjudian dapat ditemukan dalam sejumlah ayat Al-Qur'an dan teks-teks hadis Nabi SAW. Di antara ayat-ayat al-Qur'an yang melarang praktik perjudian adalah al-Baqarah/2: 219, al-Maidah/5: 90.
c. Gharar.
Secara bahasa, gharar berarti bahaya atau risiko. Dari kata gharar juga terbentuk kata 'tagrir' yang berarti
memberi peluang terjadinya bahaya. Dalam istilah fiqh muamalah, gharar bisa memiliki konotasi yang beragam. Namun, satu hal yang pasti dan dapat disimpulkan secara sederhana adalah bahwa gharar berkaitan dengan ketidakpastian sesuatu dalam transaksi.
d. Haram
Menurut ulama Hanafiyah, larangan dalam hukum Islam terdiri dari dua kategori, yaitu larangan material (materi, zat, atau benda) dan larangan yang disebabkan oleh faktor eksternal. Larangan yang bersifat materi disebut haram li dzatih dan larangan yang disebabkan oleh faktor eksternal disebut haram lighairih. Sebagai contoh, larangan kategori pertama adalah haramnya daging babi, riba, dan lain sebagainya. Sedangkan larangan kategori kedua, misalnya, menjual barang halal dari hasil curian. Pada dasarnya barang tersebut halal dan tidak haram untuk dijual, namun karena sistem atau cara (operasional) mendapatkannya tidak benar, maka menjualnya menjadi haram.
3. Prinsip Maslahat
Hakikat maslahat adalah segala bentuk kebaikan dan kemanfaatan yang berdimensi integral antara duniawi dan ukhrawi, material dan spiritual, serta individual dan sosial. Aktivitas ekonomi dianggap memenuhi maslahat apabila memenuhi dua unsur, yaitu ketaatan (halal) dan bermanfaat serta membawa kebaikan (thayyib) pada semua aspek secara integral. Dengan demikian, aktivitas tersebut dipastikan tidak akan menimbulkan kemudharatan.
4. Prinsip Ta'awun (saling membantu)
Ideologi manusia yang berkaitan dengan kekayaan yang disimbolkan dengan uang terdiri dari dua kutub ekstrim;
materialisme dan spiritualisme. Materialisme mengagungkan uang, mengabaikan Tuhan, dan menjadikan uang sebagai tujuan hidup serta mendewakannya. Kutub lainnya adalah spiritualisme (misalnya Hindu Brahma, Budha di Cina, dan monastisisme Kristen) yang secara mutlak menolak kelimpahan uang, kesenangan, dan harta benda.
Islam, di sisi lain, berdasarkan beberapa teks yang berkaitan dengan uang dan padanannya, menunjukkan bahwa Islam berada di jalan tengah di antara kedua kutub ini. Firman Allah dalam surah al-Qashash/28:77:
"Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di akhirat, dan
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) di akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu.
Dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi, sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan."
Allah, sebagai pencipta, pemilik dan pengatur semua kekayaan, menjadikan bumi, laut, sungai, hutan, dan sebagainya sebagai amanah untuk manusia, bukan milik pribadi. Selain itu, Al-Quran juga mengakui adanya kepemilikan pribadi. Dengan demikian terdapat sintesis antara kepentingan individu dan masyarakat. Hal ini sangat berbeda dengan sistem ekonomi komunis dan kapitalis. Selain itu, ada hal yang sudah lazim dalam ekonomi Islam, yaitu sedekah, baik yang wajib maupun yang dianjurkan.
Sedekah pada dasarnya adalah sebuah sistem yang berfungsi untuk memastikan distribusi pendapat dan kekayaan masyarakat yang lebih baik. Dengan kata lain, zakat merupakan salah satu instrumen dalam ajaran Islam untuk melindungi kaum yang lemah dan sarana untuk berbagi rasa dalam suka dan duka di antara sesama manusia yang merupakan saudara seiman, sehingga mereka tidak tega untuk mengambil kepentingan dari saudaranya, tidak menipu, dan lain-lain.
Ekonomi Islam memandang bahwa uang harus berfungsi untuk memenuhi kebutuhan pokok, sekunder, dan penunjang (daruriyah, hajiyah, dan tahsiniah) dalam rangka meraih ridha Allah secara individu maupun komunal. Selain itu, uang juga berfungsi untuk menguji Allah apakah seseorang bersyukur atau kufur. Fungsi sosial harta dalam Al-Quran adalah untuk menciptakan masyarakat yang beretika dan egaliter.
Berdasarkan pandangan di atas, mencari keuntungan atau kontrak komersial dengan berbagai kegiatan ekonomi merupakan sesuatu yang terpuji dalam ajaran Islam. Namun demikian, kegiatan ekonomi tersebut diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi masyarakat dan tidak ada pihak yang tertindas. Instrumen untuk mencapai tujuan ini adalah berbagai kontrak, transaksi atau akad. Sebaliknya, jika cara-cara untuk memperoleh harta menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka akad tersebut menjadi batal, dan penggunaannya yang tidak etis dan tidak egaliter akan membuat individu yang bersangkutan tercela dalam pandangan syarak.
5. Prinsip Keseimbangan
Konsep ekonomi Islam menempatkan aspek keseimbangan (tawazun/equilibrium) sebagai salah satu pilar pembangunan ekonomi. Prinsip keseimbangan dalam ekonomi Islam mencakup berbagai aspek;
keseimbangan antara sektor keuangan dan sektor riil, risiko dan keuntungan, bisnis dan kemanusiaan, serta pemanfaatan dan pelestarian sumber daya alam.Â
Sasaran pengembangan ekonomi syariah tidak hanya diarahkan pada pengembangan sektor korporasi tetapi juga pengembangan sektor usaha kecil.
Sasaran dalam pengembangan ekonomi syariah tidak hanya diarahkan pada pengembangan sektor korporasi saja tetapi juga pengembangan sektor usaha kecil dan mikro yang sering kali luput dari upaya pengembangan sektor ekonomi secara keseluruhan.
Sebagai sebuah sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai-nilai Islam, ekonomi Islam menawarkan pendekatan yang holistik dan berkeadilan dalam mengelola sumber daya. Prinsip-prinsipnya, seperti tauhid, keadilan, maslahat, ta'awun, keseimbangan, tidak hanya bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan material, tetapi juga menjaga keseimbangan spiritual dan sosial. Dengan menolak praktik-praktik yang merugikan seperti riba, gharar, maysir, dan haram, ekonomi Islam mendorong transparansi, etika, dan tanggung jawab dalam setiap transaksi.
Selain itu, ekonomi Islam juga mendorong redistribusi kekayaan melalui zakat, infak, dan sedekah, yang merupakan mekanisme sosial untuk mengurangi kesenjangan ekonomi dan memastikan kebutuhan masyarakat yang kurang mampu terpenuhi. Dengan penerapan prinsip-prinsip tersebut, ekonomi Islam tidak hanya menjadi solusi bagi umat Islam, tetapi juga relevan untuk diterapkan dalam konteks global sebagai sistem ekonomi yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.
Di era modern yang seringkali didominasi oleh sistem ekonomi kapitalis yang cenderung individualis, kehadiran ekonomi Islam memberikan harapan baru. Dengan mengintegrasikan nilai-nilai moral dan spiritual dalam setiap aspek perekonomian, sistem ini berpotensi menciptakan masyarakat yang tidak hanya sejahtera secara materi, tetapi juga bahagia dan damai dalam menjalani kehidupan. Ekonomi Islam menjadi bukti bahwa aktivitas ekonomi dapat menjadi jalan untuk mencapai keberkahan dan saling menguntungkan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H