"Jadi, kau akan menikah dengannya? Dia miskin, apa yang kau harapkan?"
"Ya, sebagai pilihan terakhir. Tapi aku tetap membutuhkan bantuanmu, suatu hari nanti, entah kapan. Profesimu masih bermanfaat untukku. Namun, sebagai seorang laki-laki, kau tidak berguna. Kau menempatkanku di status terendah seorang perempuan, menjadikanku hanya sebagai simpanan."
                                                               ------ * -------
Seperti biasa, Karta duduk di teras depan sebelum berangkat kerja. Lelaki pekerja keras itu terlihat tak bersemangat pagi ini. Ninin yang melihat ketidakbiasaan suaminya itu lantas menegurnya dengan halus, "Ayah, kenapa?" tanyanya.
"Katanya bulan depan di kantor mau ada pengurangan karyawan, yang di kantor kena, di lapangan juga kena. Kalau Ayah kena PHK, Ibu sama Adek, gimana, ya? Apa lagi Ibu mau ulang tahun."
"Sejak sama Ayah, Ibu jadi tahu spesialnya perayaan ulang tahun. Dulu, di panti asuhan, nggak ada perayaan. Ibu baru tahu tanggal lahir ya ... setelah keluar dari sana. Ternyata ulang tahun itu menyenangkan. Tapi kalau Ayah kena PHK, Ibu juga tahu diri. Jangan terlalu dipikirkan. Yang paling penting sekarang, Ayah selalu yakin jika ada kesulitan akan selalu diiringi dengan kemudahan, nanti juga dapat kerja lagi," jawab Ninin bijaksana.
Karta mengusap kepala istrinya, "Nggak gampang, Bu. Apalagi Ayah cuma pekerja tower. Kantor telekomunikasi juga banyak yang tutup. Ijazah Ayah cuma SMA. Pengalaman banyak juga percuma, lapangan pekerjaannya yang nggak ada," keluhnya.
"Tuhan tidak akan menciptakan manusia untuk menjadi sia-sia, Ayah. Ibu percaya, Ayah pasti bisa membahagiakan aku dan Nabila bagaimanapun caranya."
Mendapatkan perempuan sederhana namun begitu istimewa seperti istrinya adalah hal yang sangat Karta syukuri. Sebagai seorang yatim piatu, dan tumbuh di panti asuhan kecil, Ninin punya banyak sekali mimpi. Karta ingin selalu pulang dengan melihat senyum di wajah Ninin dan Nabila, buah cinta mereka.
Bersamaan dengan perbincangan yang setengah buntu itu, terdengar suara ponsel Karta berbunyi tapi sengaja tak diangkatnya, "Ayah jalan dulu, ya, Bu. Pak Agung udah telpon."
"Jangan lupa, dimakan tepat waktu," pesan Ninin sembari menyodorkan bekal makanan yang sudah disiapkan.
*
Nabila demam, walau tidak terlalu tinggi. Beberapa malam balita itu terus mengigau, memanggil mendiang ayahnya. Mungkin ia rindu. Karta meninggal dunia dua hari setelah perbincangan pagi itu dengan Ninin. Sebuah kecelakaan kerja merenggut nyawanya, tubuhnya tergelincir dari ketinggian 60 meter saat hendak turun dari tangga tower yang basah karena gerimis.
Bukan tak ingin memeriksakan Nabila ke dokter, namun apa daya, kematian Karta tak menyisakan apa pun selain luka. Perusahaan tempatnya bekerja hanya mengirimkan karangan bunga dan uang yang tak seberapa. Gaji terakhir tidak cair, dengan alasan kematian Karta akibat ulahnya sendiri yang tidak mengenakan perlengkapan keamanan sesuai standar yang ada. Berusaha mati-matian memperjuangkan haknya dan Nabila bagai anjing menyalak di ekor gajah, sia-sia.
Bantuan tetangga sudah sampai di akhir masanya. Ninin tak ingin bantuan berakhir dengan cibiran. Tabungan? Jangan diharapkan. Gaji Karta yang tidak seberapa hanya habis dipakai untuk membayar rumah kontrakan kecil dan makan sehari-hari. Sesungguhnya kedatangan Karta enam tahun yang lalu adalah sebuah anugerah. Walaupun hidup sederhana, pria itu benar-benar menyelamatkan hidupnya. Sayangnya takdir tak membiarkan senyumannya mengembang sedikit lebih lama. Ninin harus bangkit dari sebuah kehilangan. Nabila harus tetap bertumbuh dan tidak kekurangan kasih sayang.
Hari ini ulang tahunnya, jangankan kue ulang tahun untuk ditiup, sepiring nasi pun tak ada untuk dimakan. Wanita itu mengetuk-ngetuk jari-jari lentiknya di layar ponsel, menunggu kabar dari seseorang.
Seketika ponsel Ninin berdering. Sebuah suara dari ujung sambungan telepon mengabarkan sesuatu yang menggembirakan, terlihat mata Ninin terbuka lebar, berbinar, wajahnya berubah cerah juga sumringah. Asuransi jiwa mendiang suaminya berhasil cair, di ujung pembicaraan Ninin mengucapkan banyak terima kasih pada si penelepon. Akhirnya kepedihan ini akan menghilang.
Saat itu juga Ninin memesan sebuah kue ulang tahun secara online, juga beberapa makanan untuk merayakan malam ulang tahunnya. Nabila yang masih sedikit demam dibangunkan dengan ciuman hangat, mereka berdua duduk di meja makan dan meniup lilin bersama. Ingatan tentang kehilangan Karta sementara disingkirkan.
*
Tepat tiga tahun berlalu ...
Sudah tak ada lagi rumah kontrakan, tak ada lagi kekhawatiran dengan kemiskinan. Sekali pun masih terlihat berpenampilan sederhana, Ninin yang cantik kini sudah hidup berkecukupan. Bermodalkan uang dari asuransi kematian Karta, Ninin bisa memiliki sebuah bisnis yang meraup keuntungan besar. Hal itu yang kemudian membawanya berkenalan dengan seorang pria mapan bernama Danang. Cukup dengan pendekatan selama tiga bulan, Danang meminang janda anak satu itu tanpa ragu.
Tepat pukul delapan, Danang pulang. Ninin dan Nabila yang sudah menantinya di meja makan menyambutnya dengan penuh cinta. Danang yang selalu berusaha menjadi sempurna berhasil membuat Nabila kembali ceria karena sempat kehilangan ayahnya.
Mereka bertiga kini sudah duduk di meja makan, dengan santapan yang sudah Ninin siapkan. Ninin mengisi piring suaminya dengan masakannya, sop ayam andalan yang selalu menuai pujian. Namun Danang terlihat heran melihat Ninin dan Nabila tidak ikut makan bersamanya.
"Sebenarnya aku dan Nabila ingin makan di luar. Tapi, Mas makan saja dulu," tukas Ninin.
"Baiklah, malam ini aku terpaksa nggak nambah makannya, biar bisa lanjut makan di luar," balas Danang.
*
Danang sudah selesai dengan santap malamnya lalu memastikan pada Ninin rencana mereka setelah ini.
"Jadi keluar, kan?" tanyanya pada anak dan istrinya. "Tapi ... sebentar, aku ganti baju dulu, sekalian ke kamar mandi, perutku nggak enak," ujar Danang.
"Kamu kenapa, Mas?"
Danang tak sempat menjawab, dia terlihat terburu-buru menuju toilet.
Dua puluh menit berlalu, Danang keluar kamar mandi dengan wajah agak pucat.
"Kalau kamu sakit, kita nggak perlu keluar rumah, Mas," ucap Ninin sambil mendekatkan diri pada Danang.
"Paling masuk angin. Lagi pula ini malam ulang tahunmu, pertama kalinya untukku ikut merayakannya di antara kalian. Nggak apa-apa, Sayang, nanti juga sembuh,"
Sepanjang perjalanan menuju resto yang dituju, Ninin berkali-kali melirik ke arah Danang, memastikan kondisi suaminya. Ekspresinya begitu cemas.
Walaupun rasanya waktu tempuh begitu lambat, akhirnya mereka bertiga sampai di lokasi. Ninin memesankan makanan dan minuman untuk keluarga kecilnya, sementara Danang nampak masih berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja.
Makanan yang dipesan datang, Ninin memaksa Danang untuk menyantapnya.
"Kalau masuk angin, Mas harus banyak makan. Aku juga sudah bawa obat, habis makan nanti diminum obatnya,"
Sebagai suami yang baik, Danang menuruti saja arahan istrinya. Belum sempat mencicipi hidangan yang tersedia ternyata kondisi Danang justru semakin memburuk, keluhan tak lagi sebatas gangguan di perut, namun Danang juga mengeluhkan sakit di kepalanya.
Ninin memutuskan untuk segera melarikan Danang ke rumah sakit. Sebuah kartu kredit dititipkan pada seorang pelayan sebagai jaminan dan berjanji Ia pasti kembali untuk mengurus pembayaran. Dengan kondisi Danang yang semacam ini, Ninin harus bergerak cepat. Ia pun tak bisa membiarkan suaminya menyetir sendiri, perempuan itu mengambil alih tugas mengemudi.
Danang mengerang sepanjang perjalanan. Nabila ketakutan melihat Papa sambungnya mengalami kesakitan luar biasa.
"Ibu, ayo, cepat,"Â pinta Nabila sambil terus mengusap bahu ayahnya yang duduk di kursi samping kemudi.
"Kita nggak bisa terlalu cepat, jalanannya ramai."
"Tapi ini sepi, Bu."
"Nabila, pakai headset-nya, fokus saja sama handphone-mu. Duduk dan diam."Â seketika Nabila bungkam.
*
Ninin tak pernah mengantar Danang ke rumah sakit, Wanita itu hanya membawanya berputar-putar di jalanan ibukota. Akhirnya pria itu meregang nyawa di mobil pribadi mereka. Sementara Nabila sudah kembali fokus pada handphone-nya.
Ninin nampak menghubungi seseorang dari ponselnya.
"Aconite-nya bekerja dengan baik. Sesuai arahanmu, begitu tepat waktu. Sama seperti yang sebelumnya, kucampurkan pada sop ayam yang istimewa. Dan dia di sebelahku sekarang. Satu jam lagi aku sampai di rumah sakit. Â Siapkan saja surat kematiannya seperti Karta, agar besok bisa langsung kuurus asuransi jiwanya. Sesuai kata-kata terakhirku waktu itu, bukan? Profesimu sebagai dokter masih bermanfaat untukku."
Setelah sambungan telepon dimatikan, Ninin menyetel lagu selamat ulang tahun di ponselnya. Senyumnya sumringah membayangkan bertambahnya pundi-pundi rupiah.
---selesai---
Aconite berasal dari tanaman monkshood. Racun ini dapat menyebabkan teganggunya fungsi jantung aritmia yang menyebabkan korban mati lemas. Keracunan dapat terjadi bahkan hanya dengan menyentuh daun tanaman tanpa mengenakan sarung tangan, karena sangat cepat dan mudah diserap. Karena sifatnya yang tidak bisa dilacak, racun ini telah menjadi salah satu yang populer digunakan untuk membunuh karena tidak meninggalkan jejak. Salah satu korban terkenalnya adalah Kaisar Claudius yang dikatakan telah diracuni oleh istrinya, Agrippina. (sumber : 10 Racun Paling Mematikan yang Pernah Digunakan untuk Membunuh Manusia)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H