"Paling masuk angin. Lagi pula ini malam ulang tahunmu, pertama kalinya untukku ikut merayakannya di antara kalian. Nggak apa-apa, Sayang, nanti juga sembuh,"
Sepanjang perjalanan menuju resto yang dituju, Ninin berkali-kali melirik ke arah Danang, memastikan kondisi suaminya. Ekspresinya begitu cemas.
Walaupun rasanya waktu tempuh begitu lambat, akhirnya mereka bertiga sampai di lokasi. Ninin memesankan makanan dan minuman untuk keluarga kecilnya, sementara Danang nampak masih berusaha menunjukkan dirinya baik-baik saja.
Makanan yang dipesan datang, Ninin memaksa Danang untuk menyantapnya.
"Kalau masuk angin, Mas harus banyak makan. Aku juga sudah bawa obat, habis makan nanti diminum obatnya,"
Sebagai suami yang baik, Danang menuruti saja arahan istrinya. Belum sempat mencicipi hidangan yang tersedia ternyata kondisi Danang justru semakin memburuk, keluhan tak lagi sebatas gangguan di perut, namun Danang juga mengeluhkan sakit di kepalanya.
Ninin memutuskan untuk segera melarikan Danang ke rumah sakit. Sebuah kartu kredit dititipkan pada seorang pelayan sebagai jaminan dan berjanji Ia pasti kembali untuk mengurus pembayaran. Dengan kondisi Danang yang semacam ini, Ninin harus bergerak cepat. Ia pun tak bisa membiarkan suaminya menyetir sendiri, perempuan itu mengambil alih tugas mengemudi.
Danang mengerang sepanjang perjalanan. Nabila ketakutan melihat Papa sambungnya mengalami kesakitan luar biasa.
"Ibu, ayo, cepat,"Â pinta Nabila sambil terus mengusap bahu ayahnya yang duduk di kursi samping kemudi.
"Kita nggak bisa terlalu cepat, jalanannya ramai."
"Tapi ini sepi, Bu."